Jumat, 20 November 2009

PRA - PERADILAN Patutkah Penahanan Mikhael Torang kelen Cs Dipraperadilkan



Pengantar
Istilah Pra Peradilan bukan menjadi istilah baru dalam kamus hukum. Istilah itu menjadi baru bagi masyarakat awam, masyarakat yang belum memahami prosedur hukum yakni hukum perkara pidana. Terutama masyarakat yang jauh dari hingar bingar arus informasi semacam daerah pedesaan termasuk daerah kampung halaman Dungbata Lewoingu Sarabiti waihali. Oleh karena itu tulisan ini bermaksud untuk saling berbagi pengetahuan dengan sesama saudara, agar kita lebih banyak belajar dan mengerti serta memahami prosedur hukum. Bahkan kita dapat memiliki pemahaman sebagai payung hukum, manakala kita dihadapkan pada satu pilihan untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam sebuah proses hukum yang dihadapi. Dengan demikian persamaan dan keadilan dihadapan hukum menjadi bagian dari diri kita sebagai warga bangsa dan warga negara.

Apa itu Pra- Peradilan

Istilah Pra-Peradialan bukan merupakan lembaga peradilan yang berdiri sendiri, bukan juga suatu instansi dalam tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberikan keputusan hukum tetap atas kasus hukum pidana. Pra-Peradilan berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada lembaga Pengadilan Negri dan hanya terdapat di Pengadilan Negri. Pra-Peradilan merupakan satuan tugas, mejadi devisi dari Pengadilan Negri. Maka dalam proses Pra Peradilan segala administrasi yustisial, personil, peralatan, tata laksana dan fungsi yustisialnya merupakan bagian dari Pengadilan Negri.

Bahwa proses penyidikan dalam perkara pidana, selalu ada tindakan berupa penangkapan, penahanan, penyitaan. Bahwa tindakan tindakan tersebut oleh aparat penegak hukum pada satu sisi dibenarkan oleh undang undang. Tindakan tersebut pasti memiliki unsur paksa karena dibenarkan oleh hukum. Defacto setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan bentuk perampasan terhadap kebebasan/kemerdekaan dan pembatasan terhadap hak asasi manusia terutama para tersangka. Sifat paksa dan perampasan disatu sisi sedangkan disisi lain kemerdekaan akan hak asasi memiliki sifat yang berbeda, maka perampasan terhadap kemerdekaan harus dilaksanakan secara bertanggunjawab menurut ketentuan hukum yang berlaku (due process of low). Dengan demikian dapat dipastikan bahwa tindakan paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum bertentangan atau dibenarkan oleh hukum. Bila bertentangan maka tindakan aparat penegak hukum harus dikatakan sebagai tindakan pelanggaran hukum. Maka menjadi jelas bahwa tujuan dari Pra-Peradilan adalah demi tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi para tersangka dalam tingkat penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penyidikan dan penuntutan.
Dari analisa ini maka tindakan melakukan Pra-Peradilan adalah hak para tersangka dalam kasus hukum pidana. Selain para tersangka, pihak keluarga, kuasa hukum dapat melakukan tindakan Pra-Peradilan. Tindakan itu dapat dilakukan apabila fakta membuktikan bahwa aparat penegak hukum bertindak melampaui batas kewenangan yang ditentukan oleh hukum. Menjadi lebih benar apabila dalam proses penyidikan aparat penegak hukum menggunakan cara cara kekerasaan untuk memdapatkan alat bukti hukum apalagi alat bukti ternyata palsu.

Pra-Peradilan Dalam Apresiasi Hukum

Dari nilai substantif Para-Peradilan dapat disimpulkan beberapa hal penting antara lain:

A. Tindakan untuk melakukan Pra-Peradilan adalah bagian dari hak para tersangka yang telah ditangkap, ditahan, diperiksa oleh aparat penegak hukum. Tindakan melakukan Pra-Peradilan adalah tindakan perlindungan hukum karena ada tindakan memaksa, atau tindakan kekerasan yang melampaui batas kewenangan dan melanggar hak asasi para tersangka. Artinya setiap orang yang disangka, kemudian ditangkap, ditahan, diperiksa tetap menghormati hak asasi pribadi, menghormati asas hukum praduga tak bersalah, sampai mendapatkan kekuatan hukum tetap melalui keputusan pengadilan. Apabila penangkapan dengan tanpa alasan atau kekeliruan dalam penerapan hukum atau karena alat bukti palsu, wajib dibebaskan sekaligus mendapatkan kepastian untuk bebas demi hukum. Kepada para tersangka yang telah diperlakukan secara tidak adil dengan menggunakan alasan alasan sebagaimana tersebut diatas wajib mendapat ganti rugi dan rehabilitasi. Dalam logika hukum positif, para tersangka yang telah dibebaskan demi hukum dengan alasan tidak ada alat bukti cukup, alat bukti yang ada adalah palsu, penerapan hukum yang salah, maka kepada pihak tersangka wajib mendapatkan Surat Pemberhentian Penyidikan Perkara ( SP3). Dilain pihak apabila tindakan aparat penegak hukum yang salah atau keliru dalam penerapan undang undang, menggunakan alat bukti palsu, atau alat bukti yang tidak dibenarkan oleh undang undang dan menyebabkan asas hukum dilanggar, maka dapat dituntut melalui Pra -Peradilan. Hal itu berarti aparat penegak hukum tidak berada pada posisi kebal hukum.

B. Uni Puisance is Terible Parmi Les Hommes
Asas hukum ini mau menyatakan bahwa dalam proses penangkapan, penahanan, penuntutan tetap menghormati hukum dan tidak bertindak melampaui batas kewenangan yang ditentukan oleh undang undang. Pihak penegak hukum harus memiliki kepastian dalam membuat analisa hukum terhadap kasus pidana yang dihadapi. Artinya setiap tindakan aparat penegak hukum berpegang pada kaidah dan asas hukum pidana (premis major), dalam analisa causal kasus pidana terbukti tentang pelakunya (premis minor) patut ditangkap, ditahan dan dipidana ( kesimpulan). Prinsip ini mengandaikan bahwa penangkapan terhadap pihak tersangka karena berdasarkan bukti yang cukup. Disinilah letak analisa logika causal para penyidik untuk memastikan sebuah tindakan hukum dalam bentuk penangkapan dan penahanan dibenarkan oleh hukum dan undang undang. Disini pula pertanggunjawaban hukum apara penegak hukum dapat dinilai sebagai benar atau tidak benar menurut hukum. Disinilah ruang lingkup Pra-Peradilan dapat dilaksanakan.

C. Condition Sine Quo Non
Aparat penegak hukum memiliki kewenangan dalam memberikan interpretasi atau penafsiran terhadap berbagai keterangan yang diperoleh. Semua keterangan yang diterima harus diuji kebenarannya berdasarkan ketentuan hukum dan perundang undangan. Berbagai informasi yang diterima bukan berada pada posisi sebagai kebenaran, tetapi sebagai informasi dan data mentah. Data itu akan menjadi benar kalau telah duji oleh ketentuan hukum yang ada sehingga bisa diterima sebagai alat bukti. Pada fase inilah kebebasan aparat penegak hukum diperataruhkan, karena pada fase inilah berbagai pengaruh menyangkut kekuatan politis, ekonomi dan sosial seringkali turut terlibat dalam proses penyidikan. Pada fase inilah aparat penegak hukum dihadapkan pada berbagai pilihan; apakah bertahan pada sikap dan keluhuran martabat Hati Nurani atau tergoda untuk untuk mengambil bagian dalam nilai materialisme sesaat. Disilah tempatnya uang dan kekuasaan sering kali memainkan peranannya.

Patutkah Penangkapan dan Penangkapan Mikhael Torang Kelen Cs dapat Dipraperadilkan ?

Agar publik pembaca dapat menilai sebagai kepatutan atau tidak, maka saya ingin memulai dengan proses penangkapan sampai dikeluarkannya Mikhael Torang Kelen Cs dari tahanan.

Tanggal 12 Februari 2008 Mikhael Torang Kelen dkk mengajukan laporan kepada pihak Kepolosian Resort Flores Timur atas fitnahan dan tuduhan Rafael Raga Maran sebagai tindakan pencemaran nama baikdalam blok Ata Maran.

Tanggal 16 April 2008 dilaksanakan acara perpisahan dengan Kapolres FloresTimur sehingga pimpinan Polres Flores Timur untuk sementara dijabat oleh Waka Polres yakni Ignasius Teluma.

Tanggal 17 April 2008 Mikhael Torang Kelen, Yoakim Kumanireng, Yoka Kumanireng, Lorens Kumanireng dan Piter Koten dipanggil untuk dimintai keterangan yang berhubungan dengan laporan pencemaran nama baik. Fakta dalam proses pemeriksaan itu, semua pertanyaan tidak berhubungan dengan pencemaran nama baik tetapi berhubungan dengan kematian Yoakim Gresiktuli Maran. Bahkan dihadapan Mikhael Torang Kelen Cs ditayangkan juga hasil rekaman adegan kesurupan Flori Koten yang secara kasat mata menuduh Mikhael Torang Kelen Cs sebagai pelaku pembunuhan.

Tanggal 17 April 2008 pada sore harinya Mikhael Torang Kelen Cs minus Piter Koten kembali ke Eputobi. Malam hari Piter Koten diinterogasi oleh aparat kepolisian yang bernama Marsel dan Buang. Berdasarkan pengakuan Piter Koten, kedua oknum polisi ini menggunakan cara cara kekerasan agar ia dilibatkan dalam kasus pidana pembunuhan Yoakim Gresiktuli Maran sebagai saksi. Cara Kekerasaan Marsel dan Buang menjadi sangat ampuh karena tidak hanya menyeret Piter Koten sebagai saksi palsu tetapi juga berakibat Pieter Koten harus masuk UGD ( Unit Gawat Darurat) Rumah sakit Umum Larantuka. Fakta pemukulan dan peyiksaan oleh kedua oknum polisi ini juga telah disampaikan dalam dialog terbuka antara masyarakat Eputobi dengan pihak Kapolres Flores Timur tanggal 13 Nopember 2009.

Tanggal 18 April 2008 Mikhael Torang Kelen, Yoakim Kumanireng, Yoka Kumanireng, Lorens Kumanireng ditangkap secara paksa oleh aparat kepolisian Flores Timur. Disaksikan oleh kelompok masyarakat yang kontra dengan Mikhael Torang Kelen dalam Pilkades, mereka bagaikan pesakitan, dianggap penjahat dan pembunuh.

Tanggal 9 Mei 2008 Mikhael Torang kelen Cs ke Kupang.

Tanggal 11 Mei 2008 Mikhael Torang Kelen Cs menjalani pemeriksaan di Kupang. Menjadi aneh para penyidik adalah bukan dari Pihak penyidik Polda tetapi dari penyidik yang sama dari Polres Larantuka.

Tanggal 16 Mei 2008 Mikhael Torang Kelen Cs kembali ke Larantuka.

Tanggal 16 Agustus 2008 Mikhael Torang Kelen Cs di bebaskan.

Dari proses penangkapan ini muncul satu pertanyaan sederhana :
Atas dasar apa Mikhael Torang Kelen Cs pada tanggal 18 April 2008 ditangkap dan kemudian ditahan selama 120 hari ?

Dari proses penyelidikan sebelum penangkapan, fakta memperlihatkan bahwa aparat kepolisian tidak memiliki alat bukti apapun tentang kasus kematian Yoahakim G. Maran. Dalam saku para penyidik hanya ada keterangan berupa data dari tulisan Rafael Raga Maran dalam blok Ata Maran dan rekaman hasil kesurupan Flori Koten yang secara jelas menyebut nama dan menuduh Mikhael Torang Kelen Cs sebagai pelaku pembunuhan. Bahwa kedua sumber tersebut tidak dapat dijakdikan alat bukti hukum, maka aparat kepolisian membutuhkan keterangan saksi sebagai alat bukti yang diterima oleh undang undang. Untuk tujuan mendapat mendapatkan keterangan saksi sebagai alat bukti maka perlu ada cara baru dengan menyeret Piter Koten untuk masuk dalam kasus tindak pidana pembunuhan untuk menjadi saksi. Artinya ketika itu Pieter Koten karena terpaksa dan berada dalam tekanan harus memilih dengan menempatkan diri sebagai saksi. Oleh karena itu BAP tanggal 17 April 2008 dari saksi ( saksi palsu) harus disebut keterangan palsu. Dari keterangan palsu inilah yang kemudian menyeret Mikhael Torang Kelen Cs untuk ditangkap dan ditahan selama 120 hari. Kepalsuan ini kemudian disadarinya sendiri sehingga tanggal 5 Januari 2009 Pieter Koten mencabut kembali BAP pertanggal 17 April 2008 dihadapan penyidik I Nyoman Karwadi dan Penasihat Hukum tersangka/saksi Yohanes Hera SH.

Dari fenomene penangkapan dan penahanan yang jelas dipaksakan ini memberikan jawaban kepada publik beberapa hal antara lain:

1. Penangkapan Mikhael Torang Kelen Cs dengan sengaja dipaksakan hanya untuk mengikuti skenario awal yang dimulai dan diciptakan melalui tulisan Rafael Raga Maran dalam Blok Ata Maran dan fenomena kesurupan Flori Koten berupa menuduh dan memfitnah Mikhael Torang Kelen Cs sebagai pelaku pembunuhan.

2. Penggunaan cara paksa bahkan kekerasaan terhadap Pieter Koten agar diperoleh keterangan palsu sebagai keterangan saksi untuk menangkap Mikhael Torang Kelen Cs menunjukan ketidakmampuan aparat kepolisian Resort Flores Timur dalam menguji berbagai keterangan agar menjadi alat bukti hukum.

3. Bahwa dengan menyeret Pieter Koten untuk menjadi saksi palsu, aparat Kepeolisian Resort Flores Timur berada pada posisi yang sangat tidak netral. Bahkan dengan mudah tergambar indikasi kuat adanya sikap keberpihakan oknum aparat penegak hukum kepada kelompok atau subyek tertentu. Bahkan ada indikasi lain oknum aparat penegak hukum turut masuk dalam konflik antar masyarakat desa Lewoingu dalam proses pemilihan Kepala Desa.

4. Bahwa penangkapan yang dipaksakan memberikan kepada publik indikasi kuat bahwa ada kepentingan lain yang turut serta dalam peristiwa penangkapan dan penahanan itu. Kepentingan yang dimaksud adalah kepentingan politis atau jabatan, kepentingan ekonomis atau karena uang dan sogokan, kepentingan sosial atau karena hubungan kekerabatan. Manakala indikasi itu menjadi fakta maka sikap netarlitas dalam proses penyidikan menjadi sangat kabur (absure libel).

5. Bahwa waktu penahanan selama 120 hari telah melampaui batas waktu yang ditentukan oleh undang undang. Menurut ketentuan hukum waktu normal dalam penyidikan adalah 60 hari dan diberi tambahan waktu selama 30 hari. Oleh karena itu diluar batas waktu normal dan waktu tambahan aparat kepolisian tidak memiliki hak apapun untuk menahan Mikhael Torang Kelen Cs. Artinya waktu 30 hari adalah tindakan sewenang wenang yang disebut sebagai bentuk pelenggaran hukum.

6. Bahwa berdasarkan KUHAP pasal 1 angka 27 huruf b. menyatakan 'keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti apabila saksi melihat sendiri, saksi mendengar sendiri, saksi mengalami sendiri dan saksi menyebutkan alasan atas pengetahuan itu. Maka semua keterangan palsu atau data dan tulisan pada blok Ata Maran dan hasil rekaman kesurupan Flori Koten serta data data pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari saksi Piter Koten tanggal 17 April 2008 sebagai keterangan palsu harus gugur demi hukum.

7. Bahwa berdasarkan bukti dari keterangan saksi dalam BAP tanggal 5 Januari 2009, saksi makota yakni Pieter Koten telah mencabut kembali BAP tanggal 17 April 2008 dihadapan dan ditanda-tangani oleh penyidik I Nyoman Karwadi dan Penasihat Hukum tersangka dan saksi Yohanes Hera SH. Atas dasar itu maka BAP atas nama saksi pertanggal 17 April 2008 dengan sendirinya gugur demi hukum. Atas dasar itu proses penyidikan selanjutnya harus berdasarkan BAP yang baru yakni berdasarkan BAP pertanggal 5 Januari 2009.

8. Berdasarkan hasil dialog antara Kapolres Flores Timur dan masyarakat Eputobi tanggal 13 Nopember 2009, ada beberapa keterangan yang bisa kita peroleh antara lain: Pertama Kapolres tidak pernah menerima keterangan pencabutan BAP tanggal 17 April 2008. Kedua Kapolres tidak pernah memiliki hasil rekaman kesurupan Flori Koten dan dalam proses penyidikan pihak peyidik tidak pernah menggunakan hasil rekaman itu sebagai petunjuk.
Dari dua keterangan Kapolres ini, maka proses penyidikan kasus kematian Yoakim G. Maran telah menempatkan polisi Flores Timur pada posisi yang sangat dilematis. Pertama; Fakta BAP tanggal 5 Januari 2009 ada adalah satu bukti hukum. Bahwa ketidaktahuan pihak kapolres tentang BAP tanggal 5 Januari 2009 bukan sebagai bentuk melegalkan kembali BAP dari pihak saksi pertanggal 17 April 2008. Ketidaktahuan adalah kesalahan dalam koordinasi dan itulah kelemahan aparat kepolisian di Kabupaten Flores Timur. Kedua Bahwa Penyataan Kapolres tentang kesurupan bukan menjadi pentunjuk yang dibenarkan secara hukum adalah penyataan benar. Menjadi sangat dilematis ketika pelaku kesurupan kemudian dipanggil untuk dimintai keterangan. Disinilah letak sikap keragu-raguan, sikap tidak reliable, tidak reaseonable dari aparat penyidik dalam melakukan proses penyidikan bahkan dalam semua proses itu dipertanyakan dimana kemampuan dan profesionalisme aparat kepolsian Flores Timur.

Penutup

Berdasarkan analiasa kronologis penangkapan dan penahanan , maka dapat dengan muda kita mengatakan bahwa adalah sangat adil dan memiliki kepatutan hukum apabila tindakan penangkapan dan penahanan Mikhael Torang kelen Cs selama 120 hari oleh aparat kepolisian dapat dipraperadilkan. Tindakan dengan menggugat pihak kepolisian Flores Timur dapat dilaksanakan untuk mendapatkan kepastian hukum, tidak hanya menyangkut rehabilitasi dan pemulihan nama baik tetapi juga menyangkut proses penyelidikan jilid dua agar dapat berjalan secara lebih akurat, benar dan dapat dipercaya. Bahwa SP3 adalah hak para tersangka yang telah dibebaskan demi hukum bukan sebuah harapan utopis. Bahwa aparat penegak hukum harus dapat memberikan kepastian pada hidup seseorang, bukan menggadaikan hidup orang pada ketidakpastian.

Diakhir tulisan ini saya persembahkan sebuah puisi buat Pak Polisi

Sahabatku................
di topimu terukir lambangmu
karena engkau penegak hukum
bukan kebal hukum

Diatas bahumu
lencanamu bersinar
karena engkau penegak keadilan
bukan pemain sinetron

Seragammu nan indah
nyatalah pesonamu
karena memiliki kekuatan memaksa
bukan memaksa tanpa dasar

Di balik seragam nyatalah karaktermu
karena engkau alat negara
bebas-merdeka bagai jerami bergoyang

jangan engkau terjebak
jangan engkau diracuni
oleh keegohan
oleh kepentingan

Karena ribuan bahkan jutaan masyarakat
menanti keadilanmu

Salam........................

Marsel Sani Kelen.

Minggu, 18 Oktober 2009

TRAGEDI BLOU DAN PROSES PEMBUKTIAN

Tulisan ini saya sajikan dihadapan publik bukan ingin untuk terlibat dalam perdebatan kasus Blou, tetapi ingin terlibat secara rasional untuk membantu pihak penyidik dalam melakukan proses penyidikan. Maka dalam tulisan ini dengan sengaja saya menyadurkan beberapa sumber hukum sehingga memiliki kekuatan hukum sebagai pertimbangan hukum dalam tulisan ini. Salah satu kunci dalam keputusan perkara pidana adalah alat bukti maka pertimbangan hukum yang menjadi fokus dalam tulisan ini adalah alat bukti dan pembuktian. Dengan tulisan ini saya berharap agar proses pnyidikan kasus Blou secepatnya mendapatkan kepastian hukum untuk menangkap para pelaku kejahatan yang saat ini sedang nikmat menghirup udara bebas.

A. Pertimbangan Hukum Tentang Pembuktian
Tujuan pokok dalam perkara pidana adalah menemukan kebenaran sejati atau kebenaran materil, bukan sekedar kebenaran formal. Dalam bahasa hukum kebenaran sejati itu sering disebut dengan istilah materiil warheid, atau ultimate truth, atau absolute truth. Pembuktian menjadi titik sentral dalam pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pebuktian adalah ketentuan yang berisi berbagai penggarisan atau pedoman tentang cara cara yang dibenarkan oleh undang undang, yang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Dengan demikian pembuktian menjadi ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Menjadi nyata bahwa pihak penyidik, penuntut umum, hakim, terdakwa dan penasihat hukum harus terikat pada ketentuan, tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang undang. Artinya penyidik, penuntut umum dan hakim jika hendak meletakan kebenaran, maka kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti. Bahwa para penegak hukum harus berdiri diatas kekuatan pembuktian (berwijs kracht) yang melekat pada alat bukti yang ditemukan. Dengan demikian hukuman atau sangsi tepat sasaran. Orang benar harus dibebaskan dan penjahat harus ditangkap dan diadili.

1. Alat bukti dan pembuktian.
Pasal 184 ayat (1) KUHP ( Kitab Undang Undang Hukum Pidana) menyatakan bahwa alat bukti terdiri dari : Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, surat Surat, Petunjuk, Keterangan Terdakwa. Pernyataan undang undang ini telah membatasi proses pengadilan untuk menentukan bahwa hanya ada lima jenis alat bukti yang sah. Diluar itu tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Dalam proses peyidikan, pada umumnya menempatkan keterangan saksi sebagai unsur sentral selain 4 jenis alat bukti yang lain. Oleh karena itu perlu diperjelas kekuatan pembuktian dari keterangan saksi tersebut. Menurut Pasal 1 Angka 27 Dalam KUHAP( Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana) menyatakan bahwa
a. Ketarangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti apabila saksi melihat sendiri, mendengar sendiri, mengalami sendiri, dan saksi menyebut alasan dari pengetahuan itu.
b. Keterangan saksi diambil didahului dengan sumpah atau janji menurut pasal 160 ayat 3 KUHAP.
c. Keterangan saksi harus diberikan dihadapan sidang pengadilan
d. Keterangan seorang saksi tidak cukup.
e. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tidak dapat diterima senagai alat bukti.

Dari pernyataan hukum itu dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Setiap keterangan saksi, diluar apa yang didengarnya, diluar apa yang dilihatnya, diluar apa yang dialaminya dalam peristiwa pidana atau diluar pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Pendapat atau rekaan dari saksi bukan alat bukti. Batas minimum alat bukti sekuarang kurangnya 2 alat bukti yang sah. Dengan perkataan lain paling minimum kesalahan terdakwa harus dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah. Bahwa tidak dibenarkan dan dianggap tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa jika hanya dengan satu alat bukti. Artinya hukum tidak membenarkan pembuktian kesalahan terdakwa dengan satu alat bukti yang berdiri sendiri. Maka dapat dipastikan bahwa keterangan seorang saksi tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepedanya. Satu saksi tidak merupakan saksi ( unus testis nulus testis).

2. Teori Sistem Pembuktian.
Dalam sistem hukum dan peradilan dikenal beberapa teori tentang sistem pembuktian, antara lain :
a. Conviction in Time
Teori ini memberikan posisi hakim menjadi sangat sentral. Artinya untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa semata mata ditentukan oleh keyakinan hakim. Dengan lain perkataan keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Teori ini sangat bersifat subyektif, karena tergantung pada hakim dan pasti teori ini menyimpan banyak kelemahan.

b. Conviction Raisonee
Teori ini tetap berdasarkan pada keyakinan hakim atas alat bukti yang ada. Tetapi hakim berkewajiban untuk menguaraikan dan menjelaskan alasan alasan yang mendasari keyakinannya atas berbagai alat bukti untuk membuktikan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa. Jadi keputusan hakim harus dilandasi dengan reasoning atau dasar dan alasan yang jelas. Reasoning harus reasonable, artinya alasan yang dapat diterima secara akal sehat.

c. Pembuktian Menurut Undang undang Secara Positif
Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat bukti yang ditentukan oleh undang undang. Jadi keputusan hakim sangat tergantung pada alat bukti yang sah menurut undang undang. Sistem ini memenuhi prinsip penghukuman berdasarkan hukum artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata mata tidak diletakan dibawah kewenangan hakim tetapi diatas kewenangan undang undang, yang berdasarkan pada asas seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepedanya benar benar terbukti berdasarkan cara dan alat bukti yang sah menurut undang undang.

d. Pembuktian Menurut Undang Undang Secara Negatif
Teori ini merupakan teori perpaduan (Konvergensi) atau teori keseimbangan antara pembuktian menurut undang undang secara positif, cinviction in time, conviction raisonee. Jadi dalam menentukan bersalah atau tidak seorang terdakwa selalu ada tiga komponen antara lain : Pertama; pembuktian harus dilakukan menurut cara cara yang dibenarkan oleh hukum dan dengan dasar pada alat bukti yang sah menurut undang undang. Kedua; keyakinan hakim harus didasarkan pada cara cara yang dibenarkan oleh hukum melalui alat bukti yang sah menurut undang undang. Ketiga; keyakinan hakim dalam menetapkan sebuah kepastian hukum berdasarkan alat bukti yang sah harus disertai dengan penjelasan yang rasional sehingga dapat diterima, baik secara formal maupun secara materil. Melalui tiga komponen ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam proses pembuktian menurut undang undang secara negatif memadukan unsur subyektif dan obyektif dalam menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa. Jelas bahwa teori ini lebih lengkap sehingga sering dipakai dalam setiap negara hukum termasuk Indonesia.

3. Sistem Pembuktian yang Dianut Dalam KUHAP

Berdasarkan bunyi pasal 183 KUHAP " Hakim tidak boleh menjatukan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya".
Dari Pasal tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepadanya harus kesalahannya terbukti dengan sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah dan diatas keterbuktian dengan sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana bebar benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya.

B. Tragedi Blou dan Kekuatan Pembuktian

Bila kita menengok tulisan dalam blok Ata Maran tentang tragedi Blou, maka yang kita dapatkan adalah sebuah cerita kronologis tentang tragedi Blou disampaikan begitu gamblang dan transparan. Bahwa dari tulisan itu khalayak pembaca dapat menyimak tentang sebuah pengetahuan yang luar biasa tentang tindakan pidana yang menurut penulis dilakukan oleh kelompok Mikael Torang kelen cs. Penulis dalam Blok itu seolah olah menjadi pihak yang terlibat dan turut menyaksikan tergedi berdara di Blou. Kronologis peristiwa, waktu dan tempat dari penderitaan pada stasi pertama sampai pada satasi terakhir disebelah deker parit Blou, begitu rinci, lengkap dan sempurna. Bahkan teriakan dan jeritan kesakitan yang terlontar dari mulut almarhum YGM didengar dan disampaikan pula dalam tulisan itu. Menjadi pertanyaan apakah penulis hadir dalam peristiwa itu ? pasti tidak, karena penulis Rafael Raga Maran adalah orang yang berKTP Jakarta dan tinggal di Jakarta. Ia tidak berada di Eputobi ketika tragedi Blou terjadi. Menjadi sangat tidak mungkin seorang kakak yang hadir dalam sebuah tragedi berdarah dari adik kandungnya sendiri. Artinya bahwa dalam diri penulis pada blok itu ada sumber x yang telah menjadi pemberi informasi.

1. Analisa kronologis ceritra sumber x

Kronologi tragedi Blou barangkali menjadi starting point dalam proses penyidikan. Ceritra yang begitu rinci, jelas dan bisa saja menjadi ceritra yang akurat telah menempatkan sumber x sebagai seorang saksi dalam tragedi berdarah di Blou. Artinya sumber tersebut dianggap sebagai keterangan saksi dan sebagai bernilai sehingga menjadi alat bukti adalah upaya penegak hukum untuk mencari data dan fakta pembuktian di lapangan. Hal itu berarti sumber x yang menjadi nara sumber dalam tulisan pada blok Ata Maran harus diamankan. Pengamanan terhadap sumber x ini menjadi penting agar proses penyidikan pihak aparat penegak hukum dapat dilaksanakan secara lebih efektif. Dengan pengamanan terhadap sumber x, pihak penegak hukum dapat melakukan proses penyidikan untuk menemukan berbagai keterangan lanjutan di lapangan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa apakah sumber x adalah pihak yang terlibat langsung dalam tragedi berdarah di Blou atau sebaliknya hanyalah sebuah rekayasa. Bila sumber itu adalah sumber resmi dan dianggap sah maka ceritra tragedi Blou menjadi satu bagian dari keterangan saksi dan bernilai sebagai alat bukti. Bila sebaliknya ceritra tragedi Blou adalah rekayasa, maka menimbulkan pertanyaan ada apa dengan rekayasa itu.

Fakta dalam proses penyidikan yang telah dilakukan pihak penyidik, menunjukan bahwa keterangan yang diperoleh dari berbagai pihak tidak menempatkan seorangpun sebagai saksi di lokasi kejadian. Kondisi tersebut seharusnya menimbulkan pertanyaan "ada motivasi apa dibalik dibalik semua itu sehingga harus menjebloskan Mikael Torang Kelen cs itu" ?

Bila kematian YGM berada pada satu posisi dan konflik dalam pemilihan kepala desa berada pada posisi lain lalu memunculkan persepsi yang mengatakan bahwa kematian YGM menjadi akibat dari konflik terbut adalah analisa yang sederhana dan menyesatkan. Logika sederhana seperti itu tidak memenuhi standar dalam logika konflik karena proses pemilihan kepala desa sudah berlangsung dan Mikhael Torang Kelen sudah menjadi kepala desa terpilih, sehingga logika causalitas dalam konflik tidak terpenuhi.

Bahwa sumber x melalui penulis pada blok Ata Maran begitu berani, dengan meninggalkan asas hukum praduga tak bersalah dan prinsip hukum condition sine qua non dengan mengandalkan rationale interptretatie, telah menempatkan Mikhael Torang Kelen cs sebagai pelaku pembunuhan adalah bagian yang wajib untuk diselidiki oleh pihak penyidik. Artinya keberanian seperti itu minimal memiliki dasar dan keyakinan sehingga menjadi sumber yang wajib dan harus diselidiki. Penyidikan itu menjadi penting untuk mendapatkan kepastian bahwa informasi itu adalah resmi dan menjadi keterangan saksi lalu menjadi alat bukti atau hanya sebatas rekayasa dan kebohongan.

Dengan berpegang pada fakta bahwa tidak ada seorangpun menjadi saksi di lokasi kejadian, maka keterangan yang ada hanyalah berupa testimonium de auditu yang menyatakan bahwa keterangan itu diperoleh dari pihak lain dan pihak lain itupun bukan saksi sesungguhnya, maka semua keterangan itu harus disebut palsu. Karena itu sebagai palsu maka dibalik kepalsuan itu hanya ada rekayasa. Karena itu rekayasa maka logika penyidikan tidak lagi sekedar mendengar, membaca, melihat, keterangan yang bisa dibaca, didengar dan dilihat tetapi semua fakta dan keterangan yang belum sempat untuk dibaca, belum sempat untuk didengar maupun yang belum sempat dilihat. Kunci dari semua proses penyidikan itu adalah mengamankan sumber x sehingga para penyidik dapat dengan leluasa mencari dan memahami apa motivasi dibalik semua rekayasa dalam cerita dalam blok Ata Maran itu.

2. Analisa Fenomena Kesurupan Flori Koten

Fenomena kesurupan yang dengan sengaja direkam dan kemudian menjadi modal dalam proses penyidikan menjadi fenomena yang aneh. Mengapa menjadi aneh ? Dalam negara hukum sebagaimana negara Republik Indonesia tidak ada undang undang yang mengatur tentang kesurupan sebagai salah satu petunjuk apalagi alat bukti dalam perkara pidana. Apalagi kesurupan yang terjadi pada Flori Koten adalah sebuah kesengajaan karena diatur dan direncanakan oleh orang orang tertentu. Bisa dapat dikatakan sebagai kesengajaan karena semua kejadian itu direkam dan diproyeksikan dihadapan pihak penyidik sehingga dianggap sebagai petunjuk atau alat bukti dalam perkara pidana tragedi Blou.

Adegan kesurupan Flori Koten adalah bagian dari grand strategi rekayasa. Adegan itu adalah bagian lain dari sumber x dalam ceritra koronologi penderitaan YGM. Bahwa dalam proses penyidikan dengan menghadirkan Piter Koten sebagai saksi ternyata juga tidak dapat menghasilakan apa apa karena Piter Koten sendiri tidak pernah melihat, mendengar apalagi menyaksikan adegan jalan salib penderitaan YGM. Proses penyidikan dengan menghadirkan Flori Koten juga akan menjadi sia sia manakala pemanggilan itu hanya mengarah pada peristiwa kesurupan. Ketidaksadaran Flori Koten tidak mampu untuk menempatkan semua keterangannya sebagai petunjuk apalagi sebagai alat bukti. Menjadi efektif hanya apabila pemanggilan itu diarahkan kepada siapa sesungguhnya pelaku rekayasa dalam peristiwa kesurupan. Artinya oknum yang menjadi otak untuk menghadirkan sebuah adegan kesurupan memiliki motivasi tersendiri. Oknum onum tertentu yang dengan sengaja menghadirkan kesurupan karena ada kekuatan data dan fakta sehingga ada hasrat untuk melalukan adegan tersebut, atau setidak tidaknya oknum tersebut perlu dihadirkan dihadapan pihak penyidik untuk dimintai keterangan, karena dibalik itu ada yang dirahasiakan. Ada beberapa kemungkinan yang dapat ditarik dari peristiwa kesurupan itu: Pertama; ada keinginan untuk melampiaskan rasa dendam kepada Mikhael Torang Kelen cs, dengan menyeret peristiwa Blou sebagai akibat dari konflik pemilihan kepala desa. Kedua; Ada motivasi untuk menghilangkan pelaku tragedi berdarah di Blou yang sebenarnya, dengan cara menyeret konflik pemilihan kepala desa, karena konflik itu dianggap paling ideal, apalagi sudah terbuka secara publik. Ketiga ada pribadi atau kelompok tertentu yang dengan sengaja menghilangkan identitas sebagai pelaku pembunuhan YGM karena konflik hubungan pribadi, dengan membuat rekayasa atau alibi melelui kesurupan Flori Koten untuk kemudian menuduh Mikhael Torang Kelen cs, sebagai pelaku pembunuhan, karena konflik pemilihan kepala desa dan konflik adat dianggap sebagai alasan yang paling tepat.

Penutup

Dari analisa ini, muncul asumsi bahwa ketika kematian YGM adalah karena pembunuhan maka pelaku pembunuhan YGM adalah orang orang yang tidak jauh dari keseharian hidup almarhum YGM, pelaku adalah orang yang hidup dan kesehariannya bersama dengan YGM. Bahwa ketika cerita kronologi perjalanan salib penderitaan dari stasi pertama sampai wafatnya di Blou sebagai kebenaran, maka sumber x dalam cerita itu adalah bagian yang tak terpisahkan dengan kematian YGM di Blou.

Bahwa rasa tidak puas dalam proses pemilihan kepala desa dan karena defacto nominator Mikhael Torang Kelen sebagai kepala desa terpilih adalah sebuah fakta dendam. Fakta dendam itu harus bisa dibalas, bagaimana proses untuk membalasnya, hanya orang yang memiliki dendam yang tahu. Tetapi logika penyelidikan melalui analisa causalitas dapat memberikan kita jawaban. Maka kita akhirnya kembali berharap kepada para penegak hukum untuk membuktikan itu.

Tragedi berdarah Blou membutuhkan proses penyelidikan yang falit dan akurat, membutuhkan isnting dan naluri inteligen yang juga kuat dan bernyali. Apalagi proses penyidikan sudah berjalan dan hanya karena apresiasi inteligen yang salah, telah menyebabkan proses penyelidikan dalam penyidikan menjadi salah tangkap. Analisa inteligen yang jitu dan kekuatan nyali menjadi hal penting, karena proses penyelidikan telah melibatkan emosi dan perasaan, tidak hanya aparat penegak hukum, tetapi anggota keluarga yang ditinggalkan, pihak yang dituduh dan semua anggota keluarganya, bahkan hampir semua masyarakat Lewoingu terseret dalam tragedi Blou dan proses penyidikan. Oleh karena itu semua berharap proses penyidikan jilid kedua tidak lagi mengalami salah tangkap, salah tahan apalgi kemudian harus dipenjara.

Dari Jakarta saya berharap semoga para penjahat bisa secepatnya menikmati hasil kejahatannya

Salam.................................................................................. Marselinus Sani Kelen.
































Sabtu, 17 Oktober 2009

Lango Limpati

1. Pengantar

Rumah Limpati atau lasim disebut Lango limpati oleh masyarakat Lewoingu diangkat dan menjadi judul dalam tulisan ini tidak hanya sekedar menanggapi tulisan Rafael Raga Maran dengan judul 'Lango Limpati dan Manu Jago' pada blok Ata Maran tetapi juga ingin mengajak masyarakat Lewoingu untuk memahami lebih jelas tentang siapa sesungguhnya suku yang lebih berhak atas keberadaan rumah tersebut. Secara pribadi sebetulnya saya tidak ingin untuk berdebat dengan penulis dalam blok itu, karena argumentasi dalam perdebatannya tidak lagi mencerminkan dirinya sebagai insan akademis yang menjujung tinggi sifat ilmiah, tetapi lebih memperlihatkan diri pribadi yang sedang mencari identitas diri untuk menjadi penguasa adat lewotanah. Sebagaimana dalam tulisannya dengan judul ' Lango Limpati dan Manu Jago' logika penulisan tidak berdiri diatas fondasi akar sejarah yang kuat sehingga tulisan yang disajikan lebih merupakan rekayasa dan provokasi untuk menciptakan permusuhan baru dalam kehidupan masyarakat di lewotanah. Bahkan ketika ia mengklaim diri dengan mengatakan bahwa Ata Maran sebagai pemilik Lango Limpati, serta merta ia telah memperlihatkan ketidakdewasaan dirinya dalam menggunakan kemampuan intelektual, untuk membuktikan bahwa Lango Limapati sebagai miliknya. Logika dan pertanggungjawaban intelektual yang kosong telah menempatkan Rafael Raga Maran bukan lagi sebagai seorang figur akademisi tetapi telah mengalami degradasi/penurunan sehingga menjadi seorang bocah ingusan yang merengek dan meminta bahkan ingin mencaplok sepotong roti yang bukan miliknya.

Dasar Kepemilikan

Agar pemahaman tentang kepemilikan lango Limpati menjadi jelas, saya akan menyajikan satu persatu fakta sejarah dalam perjalanan sejarah lewotanah yang berhubungan langsung dengan Lango Limpati.

1. Nuhung Teme Tewong Alo Boleng Boto
Fenomena ini, berkali kali saya sajikan sebagai dasar untuk menunjuk kepada figur siapa sesungguhnya Raga itu. Oleh karena itu, kali ini saya sengaja kembali mengulangi agar khalayak Lewoingu dapat memastikan siapa itu Raga leluhur dari Rafael Raga Maran itu.

a. Tindakan asusila oleh Hule terhadap Kulu Kene anak Dalu (Doweng) menyebabkan Kulu Kene hamil. Kehamilam itu kemudian melahirkan seorang anak yang diberi nama Raga. Jelas Raga adalah anak Hule dari keturunan Metinara ( Ile Hingang) dan bukan anak Sani.

b. Ubi societas Ibi justicia ( dimana ada masyarakat pasti ada hukum) Kekuatan Gresiktuli dan turunannya memberikan hukuman terhadap Hule dan semua anggota keluarganya, bahkan semua anggota keluarga Metinara yang bermukim di Ile Hingang. Fakta inilah yang kemudian disebut dengan ungkapan Ile Hingang tawa kese ka, gere lereka, kae. Semua keturunan Ile Hingang lari meninggalkan kampung halamannya bahkan juga membawa dengan segala kekuatannya ( hungeng noong ile ka) . Dari fenomena ini, maka ada ungkapan Ile hingang leting boleng pepak ado girek.

c. Atas petuah orangtuanya Gresiktuli, maka Sani harus menyelamatkan fenomena prahara itu agar jangan sampai menyebar luas kepada suku yang lain. Mo rae tobo tibang tukang, abo maang one nai, koda maang wanang nai, gurung noong riang gawing noong wetak, pota ile-hone woka. Atas petuah itu Sani membangun rumahnya, sebagai tempat ia tinggal. inilah rumah yang sampai hari ini disebut 'Lango Limpati'.

d. Perhatian Gresiktuli kepada anaknya Sani yang tinggal di rumah Limpati juga menyangkut keberadaan Sani sebagai pribadi bujang. Petuah Gresiktuli ' lika lurang moeng apiing mateng, gurung moong Kulu Kene, nele lika lurangneng mori, apeeng hode blola. Karena Ketika itu Kulu Kene sedang hamil tua, maka Sani belum menerima KuluKene di rumahnya. Kulu kene yang hamil tua tinggal bersama orangtuanya Dalu/Doweng. Setelah Kulu Kene melahirkan Raga dan mulai lepas susu dari ibunya maka, Raga akhirnya ikut dan dibesarkan oleh pamannya Dalu/ Doweng dan menetap di riang Kung. Bapak Sani melaksanakan petuah orangtuanya dengan memanggil Kulu Kene untuk tinggal di rumahnya.

e. Sani kemudian menikahi Kulu Kene dan melahirkan Boli dan kedua saudarinya yang bernama Edo dan Geyon. Mereka tinggal di rumah Limpati sebagai rumah tinggalnya. Kedua saudari perempuan Boli ini menikah dengan orang Leworok dari suku kebeleng Koten ( Koten Padun). Fakta ini dapat diterima dan menjadi benar karena sampai hari ini Kebeleng Koten Padun Leworok menjadi bine ana weruing dari suku Kebeleng Kelen.

2. Rie Limang Wanang Koke Dungbata
Nilai dan hakikat rie limang wanang pada koke Dungbata sebagai tiang utama adalah simbol pemimpin. Rie limang wanang mulai dari awal pendirian sampai hari ini adalah milik Boli dan diwariskan kepada keturunanya yaitu suku Kebeleng Kelen. Keberadaan Rie limang wanang koke Dungbata berhubungan langsung lango Limpati. Dalam gatak mantra Limpati dang pukeng gawe rage kenawe matang. (Rie limang wanang mapa'ng noong Lango Limpati).

Agar menjadi jelas kita boleh melihat jejak perencanaan dan pendirian Koke Dungbata.

a. Pengalaman dalam peperangan telah memberikan sang inspirator ( Boli) untuk membuat suatu rumah sebagai tempat yang dinilai lebih pantas untuk memulai dan merencanakan proses peperangan. Pengalaman itu juga menyangkut fakta tentang proses adat yang dinilai lamban dan tidak mendukung peperangan Boli di medan laga. Dari fakta inilah niat untuk membangun koke baru menjadi semakin nyata.

b. Peralatan ' laba blewe' tidak dimilikinya. Semua peralatan itu disimpan di Koke Dungtana. Boli pun tidak memintanya, ia membuat peralatannya sendiri. Tempat ia membuat dan menyediakan semua peralatan itu akhirnya dikenal sampai hari ini sebagai 'dua roh'keng', tempat itu berada di riang belen'ng dekat 'meran' suku Kebeleng Kelen, 'merang wato tangen, merang larangtukang, sili lolong bala, raya Sili Kiki, tuang raya meang, tepat di pinggir jalan raya menuju desa Leworok/ Leraboleng.

c. Proses akhir dari penyediaan peralatan kerja atau lasim disebut ' hewo' ada beberapa pernyataan Boli yang diucapkan ' Gong gike heri deing, beta piing go kang kakang wolo, kaan ubu'un tawa, bura gere blola haka, go Boli.

d. Proses pengadaan semua elemen bangunan, juga disiapkan oleh Boli sendiri, proses 'toking laba' juga dikerjakannya sendiri. Ada ucapan sebagai rasa tidak puas, karena ia tidak didukung oleh semua saudaranya yang lain ' go toking laba waha, rona ruba hala, kia goteta bapaang, go belo kakang.

f. Ketika dilaksanakan pendirian koke itu, Boli memanggil semua suku yang menetap disekitar tempat itu, untuk menerima peran dan hak masing masing. Abo maang one' nai koda maang wanang nai, gurung koon suku matang pulo kaeng gawa koong wokole lema kae. Dalam proses pemasangan itu ternyata masih ada yang tidak cocok, proses 'seba lirong' memberikan jawaban bahwa Raga yang ketika itu tinggal di Riang kung juga perlu dipanggil. Raga yang hadir pada waktu itu tidak memiliki hak apapun, karena kewenang tiang atas koke yang awal nya berjumlah 6 tiang sudah dibagi oleh Boli kepada suku yang ada. Oleh karena itu Boli menyerahkannya hak Ulu Wai.
Raga yang hadir ditandai dengan permintaan dan tangisan sehingga muncul gatak Gena gele' Raga wanga'.

g. Kehadiran Raga dengan ketakutan, tangisan dan permintaan maka ia masuk rumah Limpati bukan dari depan tetapi dari belakang ' maso raang lau horowutung dai'. Fakta ini terus dihayati sehingga dalam proses ahi Lango Limpati, 'baku' Ata Maran selalu masuk dari belakang. Ada juga gatak lain yang menjelaskan bahwa Boli dan Raga bukan saudara kandung yakni 'dong tou lurang rua' . Dalam proses ahi lango Limpati Ata Maran tidak punya kewenangan apapun, karena mereka tidak punya apa apa di dalam Lango Limpati.


h. Tentang ada rie Ata Maran dan perubahan menjadi 8 tiang pada Koke Dungbata baru pada Fase ' klupuk tawa namang tukang pria gobung nuba', pada fase Pehang ( Kelen) dan Puru ( Maran) dan itunpun baru ada ketika bapak Nara yang dibunuh di 'Belohomeng' oleh orang yang tidak dikenal dan bapak Bolo masih kecil. Defacto tidak ada orang yang bisa mengelola Koke Dungbata. sehingga muncul Pehang dan Puru sebagai klake klama. Keberadaan Puru sebagai kelakeheng sebetulnya ditolak karena 'anak kenowa' oleh beberapa suku termasuk seorang klake klamak dari suku Lamatukang yang kemudian pindah ke Lewokluo.

3. Preamble Gatak Ahi Lango LImpati

" Dunia lera wulang latala tanah ekang
teti wang pulu pito lali wade pulu lema
teti esang leing lodo, lali sorong limang gere
lodo hau tobo tukang, gere haka pae bawa
denge koda baing khiring, denge umeng baeng lamak

Kuru Sani Sedu Doweng
maung Boli Duru Moko
Tobo pi Limpati dang pukeng
pae pi gawe rage kenawe matang
Gurung koon suku matang pulo kaeng
gawa koon wokole lema kae.

Saya tidak perlu memberi penjelasan atas tulisan gatak mantra itu, karena Sani-Boli-Duru- Moko yang tinggal dan menetap di Lango Limpati adalah para leluhur suku Kebeleng Kelen, bukan Ata Maran.

Penutup

Diakhir tulisan ini saya ingin mengajak Rafael Raga Maran, agar sebagai seorang insan akademis, perlu menghargai sifat ilmiah dalam proses perdebatan ini, artinya jangan hanya sekedar membuat klaim. Karena klaim tanpa dasar hanya menjadi bentuk provokasi yang dapat menciptakan permusuhan di antara kita suku Kebeleng Kelen dan Ata Maran.
Bahwa Rafael Raga Maran juga harus ingat, suara yang tak bersuara yaitu semua suku lain yang memdiami lewotanah juga memiliki sejarah sendiri. Merekapun tahu betul sejarah Lango Limpati dan siapa sesungguhnya pemilik sah atas Lango Limpati.
Anda juga perlu ingat bahwa ceritra, rekayasa, dan klaim yang anda beberkan dalam dunia alam maya, tidak pernah akan merubah pemahaman anak lewotanah tentang kepemilikan Lango Limapati. Ceritra rekayasa dan klaim anda adalah benih ketidakpercayaan, sehingga pada hari ini dan seterusnya orang akan mengenang anda sebagai pribadi penipu. Karena anda tukang tipu. Klaim anda tentang Lango Limpati sebagai milik Ata Maran, apa sesungguhnya pusaka Ata Maran yang tersimpan disana ? ....TIDAK ADA. Raga yang hadir di rumah Limpati hanya membawa kaki dan tangan serta tangisan dan permintaan.

Salam
















Jumat, 11 September 2009

Dari Rumah Limpati Menuju Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali

Mohon maaf...... karena berbagai kesibukan, saya baru bisa mengunjungi Blog saya.


Diskusi tentang sejarah Lewotanah terutama tentang konstruksi sosial awal Lewoingu semakin tak berkesudahan. Persepsi dan sudut pandang yang berbeda untuk menempatkan siapa tokoh utama dalam sejarah Lewoingu, telah menempatkan masing masing pihak untuk mencari pembenaran terhadap setiap tulisannya. Medan diskusi dalam dunia elektronik ternyata terbatas. Rana diskusi yang bersifat maya karena terbatas pada dunia maya hanya mampu menampung berbagai argumentasi dan belum dapat menempatkan penulis cerita, entah siapapun secara obyektif diterima semua elemen masyarakat Lewoingu sebagai pemilik kebenaran. Hal itu berarti setiap penulis dalam diskusi tentang sejarah Lewoingu untuk tidak sekedar berargumentasi tetapi ditantang untuk membuktikan berbagai argumentasi itu dalam acara atau ritual adat di kampung halaman terutama di Lango Limpati atau di Koke Dungbata. Penegasan ini menjadi penting karena ketika kita berbicara dan menulis tentang sejarah, kita tidak hanya berbicara tentang masa lalu tetapi juga tentang implikasi dan konsekwensi yang akan kita terima hari ini. Oleh karena itu tulisan ini hanya secara implisit menanggapi tulisan saudara Rafael Raga Maran. Sedangkan secara eksplisit mau mengantar khalayak pembaca terutama anak generasi Lewoingu untuk semakin jelas memahami konstruksi sosial Lewoingu dari awal mulanya sampai dengan hari ini.

Sejarah tidak hanya sekedar mencatat hasil penuturan yang diwariskan secara lisan dari generasi ke negerasi tetapi juga menyangkut berbagai peran yang diwariskan, menyangkut berbagai artefac dan gatak tentang perjalanan sejarah, serta korelasi tentang apa yang dituturkan dengan semua peran yang dimiliki oleh setiap suku hari ini. Kali ini saya ingin menyajikan satu indikator dalam penelusuran sejarah Lewoingu yakni sair atau gatak dari marang mukeng yang acapkali diperdengarkan dihadapan publik masyarakat beradap di lewotanah. Gatak atau sair marang mukeng memiliki bermacam ragam. Keragaman itu tergantung pada tujuan atau niat dari berbagai upacara adat yang dijalankan. Agar khalayak pembaca anak generasi Lewoingu tetap terfokus pada sejarah konstruksi sosial awal Lewoingu dan keberlangsungan hidup bersama yang harmonis sampai hari ini, maka ada dua ragam gatak yang saya sajikan sebagai ranah yang memudahkan kita untuk terlibat dalam diskusi.

A. Gatak/ sair marang mukeng untuk ahi Lango Limpati.

Dunia lerawulang latala tanah ekang
teti wang pulu pito, lali wade pulu lema
teti esang leing lodo, lali sorong limang gere
lodo hau tobo tukang, gere haka pae bawang
denge' koda baing khiring, denge' umeng baeng lama'k.

Kuru Sani Sedu Doweng, maung Boli Duru Moko
tobo pi lango Limpati dang pukeng, pae pi gawe rage kenawe matang.
Gurung koong suku matang pulo kaeng, gawa koon wokole lema kae
dst.....................................

Berangkat dari dua sair dalam upacara adat ahi Lango Limpati, dapat kita apresiasi sebagai berikut: Pertama; Bahwa dari awal, peletak sejarah Lewoingu mengakui akan kekuasaan Sang Pencipta. Pengakuan tentang Sang Khalik yang transenden, Allah yang jauh tetapi juga tentang Sang Pencipta yang imananen, karena Sang Pencipta adalah Bapa yang dekat, hadir dan hidup dalam kebersamaan dengan manusia melalui berbagai tanda tanda jaman. Pujian dan sembah bakti, kurban dan persembahan hanya untuk Sang Pencipta. Rasa ketergantungan kepada Yang Maha Kuasa secara utuh dan sempurna dimanifestasikan dalam preamble sair itu. Kedua; Sair/gatak menyebutkan tokoh tokoh pemilik Lango Limpati antara lain Sani (Sedu Doweng) maung Boli, Duru, Moko. Penyebutan nama Sedu dan Doweng adalah wujud penghormatan terhadap kakak dan sekaligus terhadap orangtua serta kakek atau moyang mereka yakni Gresiktuli. Sani, Boli, Duru, dan Moko adalah para leluhur dari suku Kebele'ng Kelen. Sani, Boli, Duru, dan Moko adalah pemilik rumah Limpati, oleh karena itu rumah Limpati adalah milik suku Kebele'ng Kelen. Rumah Limpati adalah rumah dan tempat dimana berbagai ide dan gagasan untuk merencanakan bangunan sosial Lewoingu mulai dimunculkan. Ketiga; Untuk mewujudkan gagasan itu dibangunkanlah rasa kebersamaan " gurun koo'ng suku matang pulo kae'ng gawa koo'ng wokole lema kae". Bahwa untuk menjadi satu perkampungan dibutuhkan kehadiran berbagi suku suku yang sudah menetap di wilayah sekitarnya, yang sedari awal mereka adalah sekutu dalam peperangan melawan Paji dan lebih dari itu mereka telah hidup berdampingan secara damai, karena saling menghormati harkat dan martabatnya masing masing. Menjadi nyata bahwa Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali adalah sebuah kontrak sosial yang dimulai dari rumah Limpati.

B. Marang mukeng untuk glete gluo karena ekang pelate ( Sair untuk kesejukan dan ketentraman kampung halaman).


Dunia lerawulang latala tanah ekang
teti wang pulu pito, lali wade pulu lema
teti esang leing lodo, lali sorong limang gere
lodo hau tobo tukang, gere haka pae bawang
denge' koda baing khiring, denge' umeng baeng lama'k.

Kame tobo lewo pae tana, pi Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali.
Raya Koten noong Kelen, tuak Huri" noong Maran.
Metinara kopong todo buge Hule belawa bura.
Kuru Sani Sedu Doweng, Maung Boli Duru Moko
Tobo lewo pae tanah, wekang noong riang dawing noong wetak.
Eputobi roungbao, tobi lolong resa, keladu lolong wayong.
Kuma noong Tukan, pepak noong keri
Ebelakabeang, kelisari Buga gelaka arang
Subang pulo ratu noe, Subang wara brahang tanah
Pusi bera Lalang geo, Poduli mage bawa.

Tobo lewo pae tanah, duga rehang tanah pelate, ape noong lera
duga noong uring, tenge pana wahang, pehaka hogo pana
Gute kaang witi sora, pile kaang wawe wayong.
Edeng deing merang sadi, sugi sogo tanah ekang
Ratu Tuang Lerawulang lodo tenge
Buleng nubung goeng gere diaya-aya, barang goeng tawa didene-dene
Huleng bua, tronga blola
Beta ditobo lewo pae tanah, tobo lango pae uma
poe nulung newang aya, pau ale' ama'a mala deka
Helo ama weli nolo, hupang bapa rae nene'

Pragraf pertama adalah preamble dari semua ragam gatak lewotanah, oleh karena itu wajib untuk diucapkan dalam setiap upacara adat apapun. Paragraf kedua menyebutkan pelaku sejarah yang mewujudkan bangunan sosial Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali. Raya Koten noong Kelen, tuak Huri' noong Maran. Metinara adalah penduduk asli yang menetap di ile Hinga. Tetapi kelanjutan kehidupan di Ile Hinga menjadi hilang karena kopong todo buge Hule belawa bura. Fenomena itu juga mau menjelaskan bahwa prahara nuhung teme tewong alo boleng boto adalah fakta. Ile Hinga leting boleng pepak ado girek juga adalah fakta. Dalam gatak itupun tidak menyebutkan siapa sesungguhnya tokoh tokoh sejarah yang mewakili Raya Koten. Fakta ini semakin jelas ketika kita menelusuri sejarah keturunan Metinara. Dalam pelarian itu ada keturunan Metinara yang tinggal di Lewomuda dan dikemudian hari dipanggil pulang oleh suku Kumanireng dan memberikan kepada mereka etang/ newa di Wolore'eng untuk menetap. Ada juga yang tinggal di Lewokung. Mereka hidup dan tinggal di Lewokung, kawin mawin atau nawo bine sehingga mendapat tanah atau newa nura Tegere' eba'ang. Dikemudian hari merekapun dipanggil pulang oleh suku Wungu Kwen. Pemanggilan untuk kembali ke kampung halaman dan bersama sama terlibat dalam adat adalah karena kearifan Boli. Semua itu adalah fakta. Dapat disimpulkan Pertama bahwa Raya Koten itu berlaku hanya mengikuti fenomena budaya Lamaholot yang juga di akui oleh masyarakat Lewoingu, bukan karena perannya sebagai pemimpin di lewotanah pada masa lampau. Kedua Keberadaan Raya Koten di lewotanah juga karena kearifan untuk hidup bersama dan kearifan itu berangkat dari rumah Limpati. Tanpa kearifan lango Limpati, maka ceritanya akan berbeda.

Pada pragraf ketiga mau menjelaskan bahwa Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali adalah kontrak sosial. Lewoingu adalah kesepakatan yang bermula dari rumah Limpati, direspons dan didukung sepenuhnya oleh riang dan wetak, sehingga menjadi Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali. Fakta ini dikukuhkan dengan keberadaan Koke Dungbata, dengan 8 tiang ( awalnya ada 6 tiang baru kemudian hari ketika " kelupu' tawa namang tukang, pria gobung nuba" baru menjadi 8 tiang ) yang mewakili 8 suku, dengan tiang utama atau rie limang wanang adalah milik Boli. Rie limang wanang pada koke Dungbata adalah simbol dari keberadaan Lango Limpati.

Paragraf yang keempat adalah gatak yang berisi tentang isi dan tujuan dari sebuah proses upacara adat yang sedang dijalankan. Ragam dan farian dari gatak tergantung pada tujuan dan jenis upacara yang mau dijalankan.

Diakhir tulisan ini saya hanya mau menyampaikan satu pertanyaan untuk saudara Rafael Raga Maran. Beliau dalam tulisannya yang berjudul " Gelombang Ngawurisme........ menyatakan bahwa " Saudara Marselinus Sani Kelen terlibat dalam diskusi tentang sejarah Lewoingu hanya ingin mencari satus sosial". Pertanyaan saya adalah " Apa status sosial yang ingin saya cari ?
Maaf........
Marselinus Sani Kelen punya satus sosial. Kalau yang anda maksudkan dalam peran adat dan budaya lewotanah, maka 2 gatak mantra marang mukeng sudah menjawab semuanya.

Saya menunggu anda di rumah Limpati dan Koke Dungbata di tahun 2010 (ahi lango dan ahi koke).










Senin, 24 Agustus 2009

JUJURLAH MENJADI DIRI SENDIRI

Kalimat judul ' Jujurlah Menjadi Diri Sendiri' sengaja saya sajikan sebagai judul dari tulisan ini, dengan maksud mengajak lawan debat saya Rafael Raga Maran untuk tidak menghindari berbagai fakta sejarah untuk menjadi seorang figur lain, selain pribadinya sendiri. Rafael Raga Maran mulai gelagaban dan tidak mampu mempertahankan berbagai tesis dalam penulisan sejarah dan bertindak sebagai seorang ahli bahasa untuk mencari kesalahan dalam pengetikan. Pada posisi ini, saya tidak ingin berdebat dengannya karena saya dan lawan debat saya, bukan ahli bahasa. Lawan debat saya bukanlah seorang ahli bahasa sekelas Sutan Takdir Alisabana, atau Goris Geraf ataupun Mohamad Yamin sehingga dalam perdebatan itu dapat ditemukan letak dan cara penulisan yang dianggap paling tepat. Lawan debat saya hanyalah seorang Rafael Raga Maran sebagai seorang individu serba terbatas.

Dalam tulisannya yang berjudul ' Ngawurisme Diantara Dongeng dan Sejarah' ia berusaha dengan keterbatasan energi, dengan daya yang serba kurang, ingin memberikan tanggapan atas tulisan saya, tetap berada pada posisi yang tidak dapat dipertanggunjawabkan secara akademis. Ketidakmampuan itu terletak pada analisanya tentang sejarah hasil imajinasi dongengnya, berada diatas dongeng lain. Apabila cerita dongeng menjadi sebuah argumentasi untuk mempertahan tesis (dongeng yang ada), maka syllogisme dari analisa itu tetap pada posisi dongeng. Dengan kalimat yang lebih sederhana, apabila seseorang yang sering berbohong maka pribadi seperti itu harus disebut penipu atau pembohong.

Ada beberapa tulisan sebagai tanggapan atas tulisan Rafael Raga Maran dalam tulisannya Ngawurisme......antara lain:
Pertama; Rafael Raga Maran menyatakan : go gersik tana tawa, belia gere go gere, belia lesa go lesa sebagai gatak dari Gresiktuli sendiri. Tapi fakta bahwa gatak seperti itu begitu asing untuk masyarakat Lewoingu dari dahulu sampai hari ini. Lepas dari rasa keterasingan itu, saya sepakat bahwa bahasa gatak adalah gaya bahasa metafora. Tetapi menjadi kelemahan lawan debat saya ini, adalah ia mengatakan bahwa karena itu adalah gaya metafora maka tidak dapat diartikan. Ia tidak memahami bahwa penggunaan bahasa metafora sebagai satu cara untuk menjelaskan sesuatu, karena pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti sebenarnya melainkan sebagai lukisan dan konotasi yang berdasarkan pada persamaan atau perbandingan. Hal itu berarti gatak dengan gaya metafora atau personifikasi tetap dapat diartikan karena memiliki makna. Bung Rafael Raga Maran....tidak ada kata atau kelompok kata yang tidak memiliki makna. Tetapi pada tahapan inilah khalayak pembaca bisa mengukur kemampuan seorang Rafael Raga Maran. Bahwa untuk melengkapi dongeng yang ada, ia menempatkan gatak karangan atau versinya, tetapi ia sendiri tidak mampu memaknainya. Rafael Raga Maran begitu sibuk dan berambisi untuk menulis sejarah tetapi ia tidak mampu memaknai berbagai simbol dalam sejarah itu. Maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Kasihan..................................................................................................

Kedua; Rafael Raga Maran yang berniat untuk mempertahankan tesisnya tentang kehadiran seorang pribadi yang anonim, dari koda khiring kiwaneng mo diamun'ng kae go mehaken hena, go pana tiro lera gere, dengan menyebut seseorang yang bernama Keropong Ema. Kali ini ia menyebutkan bahwa orang yang bernama Keropong Ema adalah adik Gresiktuli. Untuk mepertahankan tesis itu, ia mengajak saya melakukan penelitian dan verifikasi di Hewa. Baru kali ini, saya mendengar bahwa untuk mempertahankan sebuah tesis, pribadi yang bersangkutan menyuruh pihak lawan dalam perdebatan itu, membuktikan tesisnya. Bung Rafael Raga Maran..... yang benar itu adalah anda melakukan penelitian dan verifikasi, data dan hasil yang anda peroleh dikaji lebih jauh sehingga menjadi dasar dari tesis itu. Apabila anda yakin akan kebenaran itu, maka anda sampaikan dan pertanggunjawabkan kepada publik. Bung Rafael Raga Maran sebagai insan akademis
maka gunakan nalar dan cara berpikir yang sehat, jangan terbalik. Saya mengingatkan anda karena cara berpikir anda terbalik, karena cara berpikir seperti itu, sama seperti Alo Emar (alm) di Lewolaga dan Muku Gening (alm) di Riangduli.

Ketiga; untuk mempertahankan tesis ' go gresik tana tawa, belia gere go gere, belia lesa go lesa dan mo di amu'ung kae, go mehakeng hena, go pana tiro lera gere, lawan debat saya serta merta menghadirkan seorang yang bernama Keropong Ema.Pada fenomena ini Rafael Raga Maran telah membantah tulisannya sendiri, karena pada satu sisi ia mengatakan koda kiwaneng (kalimat bahasa daerah ) ini adalah gaya metafor dan tidak dapat diartikan. Tetapi dengan menempatkan pribadi anonim itu dengan sebuah nama Keropong Ema, Rafael Raga Maran bertempur melawan imajinasinya sendiri. Antara prmis yang pertama ' gatak tidak dapat diartikan' dan premis kedua ' mo diamu'ung kae...dst diartikan sebagai ada figur yang bernama Keropong Ema, mati dalam peperangan di Hewa, saling membantah bahkan saling meniadakan. Logika dan alur berpikir lawan debat saya ini sesungguhnya sedang bertempur dengan dirinya sendiri dan akhirnya terkapar tak berdaya.

Keempat
;diatas cerita tentang Gresiktuli yang berasal dari Jawa dan dalam perjalanannya menuju Lewokoli ia melalui beberapa tempat antara lain pulau Bali, pelabuhan Bajo, ile khue, Hewa, ia serta merta menempatkan Gresiktuli dan turunannya adalah Demong Pagong. Defacto istilah dan makna Demong Pagong, sangat bertentangan dengan dongeng versinya itu. Logika analisanya menjadi tambal sulam, kontrol akal yang sangat terbatas, sehingga setiap pernyataan sebagai premis, satu sama lain saling bertentangan dan saling meniadakan.

Kelima; ketika ia menanggapi rasa keterasingannya dengan daerah yang disebut lewopao yang berdekatan dengan daerah sumber mata air sedukokere'ng, ia serta merta menyatakan bahwa keluarganya adalah pihak yang paling berjasa dalam menghadirkan instalasi air bersih di kampung halaman. Lawan debat saya ini mengatakan : Bapanya Sani Maran adalah tokoh yang menanda-tangani proposal yang dikirim ke Belanda dalam upaya pencarian dana dan adiknya Yoakim Gresiktuli Maran adalah orang yang sering memperbaiki kerusakan pipa, dengan biaya perbaikan itu adalah hasil dari urunan Yoakim Gresiktuli Maran dan kawan-kawannya. Supaya kebohongan Rafael Raga Maran dapat kita saksikan maka berikut ini, saya ingin menceritakan sejarah adanya penyediaan air bersih sebagai komuditas vital di lewotanah Eputobi.

Kehadiran air bersih di lewotanah Lewoingu dimulai dari kehadiran awal Pastor Van de Burg SVD. Keberadaan Pastor Van Den Burg adalah untuk menggatikan Pastor Anton Stop SVD sebagai pastor paroki Lewolaga. Perhatian dan kepedulian tentang adanya air bersih menjadi hal utama. Ia mulai dengan membangun bak penampungan di gereja Eputobi. Pembuatan bak penampungan itu dilaksanakan oleh tukang dari missi Larantuka berjumlah 2 orang dan dibantu oleh masyarakat Eputobi selama 11 hari kerja. Pembuatan bak penampungan itu pertama tama untuk menampung air hujan. Karena ketersediaan air tidak cukup, maka ada upaya lain dengan mencari sumber mata air yang berpotensi untuk dialirkan sampai ke Eputobi. Pilihan ketika itu adalah mata air dari sedukokereng dekat areal lewopao di belakang ile ( gungung) Boleng. Untuk meyakinkan niat itu, Pastor Van Den Burg SVD. menghadirkan seorang tenaga ahli dari Belanda bernama Ir. Murrer. Berdasarkan analisa Ir. Murrer bahwa sumber mata air Sedukokere'ng mampu dialirkan sampai jauh ke Eputobi maka niat luhur itu mulai direncanakan. Perencanaan itu dilakukan bersama 4 desa yaitu Desa Leraboleng, Desa Tuakepa, Desa Tenawahang, dan Desa Lewoingu dibawa koordinasi Pastor Van Den BUrg SVD.

Pada waktu itu yang menjadi ketua stasi Eputobi adalah Bapak Gregorius Geroda Kwen (alm) dan yang menjadi kepala desa Lewoingu adalah Bapak Yohanes Ola Kumanireng, dibantu oleh sekertaris Dominikus Doweng Kelen dan Pamong Desa Bapak Yosep Torang Kelen (alm) dan Bapak Koli Koten. Karena kelima orang itu adalah tokoh lokal baik dari aspek pemerintah Desa Lewoingu dan Stasi Euptobi, maka mereka terlibat secara nyata. Kerjasama untuk mengadirkan air bersih ini, selalu dilaksanakan secara bersama dari keempat desa dibawah koordinasi Pastor Van Den Burg SVD. Untuk pembuatan proposal dibuat oleh Partor Van Den Burg dan dilengkapi dengan beberapa foto sebagai dokumen dan lampiran. Tokoh lokal yang mewakili masyarakat Lewoingu dalam penandatanganan proposal itu adalah Bapak Yohanes Ola Kumanireng selaku Kepada Desa. Bahkan untuk komunikasi dari Belanda lewat surat menyurat juga ditujukan kepada Bapak Yohanes Ola Kumanireng. Dana bantuan dari Belanda berjumlah Rp 24.000.000 ( dua puluh empat juta rupiah).

Partisipasi masyarakat dari keempat desa itu adalah tiap kepela keluarga diwajibkan mengumpulkan uang sebesar Rp. 5.000 ( lima ribu rupia) sehingga total terkumpul dari tiap desa sebesar Rp. 2.000.000.(duajuta rupiah) dikalikan dengan empat desa menjadi Rp. 8.000.0000 ( delapan juta rupiah). Partisipasi yang kedua adalah tiap kepala keluarga dari kepempat desa tersebut adalah mengumpulkan 2 blik gaba. Untuk pengumpulan uang di desa Lewoingu adalah Bapak Dominikus Doweng Kelen dan gabah dikumpulkan oleh Bapak Yosep Torang Kelen dan Bapak Koli Koten. Gabah yang terkumpul ditempatkan dibale desa, dari masing masing desa. Penanggunjawab dalam penerimaan instalasi air bersih berupa pipa di dermaga Larantuka adalah Bapak Yohanes Olah Kumanireng.

Ketika instalasi air bersih itu tiba di dermaga Larantuka, Bupati Larantuka Bapak Monteiro memanggil Bapak Yohanes Olah Kumanireng dan menanyakan proyek apa yang sedang dikerjakan. Penjelasan secara rinci disampaikan oleh Bapak Kepala Desa ketika itu membuat Bupati Larantuka ingin terlibat dalam memberikan dukungan. Dukungan dan bantuan Bapak Bupati Larantuka ketika itu adalah 110 batang pipa berukuan 31/2 din. Ketika bantuan instalasi air bersih itu tiba di Eputobi, maka gabah dan uang yang terkumpul dari keempat desa diserahkan kepada missi di Larantuka.

Tentang pemasangan pipa air bersih dari Sedukokere'ng sampai di tiap desa dilaksanakan oleh seorang teknisi yakni Bapak Aku Desantos ( Om Aku) dibantu masyarakat dari keempat desa dimaksud. Akhirnya niat luhur itu terwujud dan kita perlu bersyukur bahwa upaya dan perjuangan yang begitu besar membawa hasil dan sampai hari ini, kita semua terutama keempat desa itu bisa menikmati air bersih. Perjuangan untuk terus menjaga dan memelihara ketersediaan air bersih terus dilaksanakan. Untuk tugas pemeliharaan itu adalah tanggunjawab dari masyarakat keempat desa. Tanggunjawab itu dalam pelaksanaan dibagi secara adil oleh aparat desa masing masing. Apabila itu menjadi tanggunjawab masyarakat Desa Lewoingu, maka tanggunjawab itu akan dibagi menurut dusun atau berdasarkan kelompok kerja masing masing sampai hari ini. Apabila kerusakan itu parah dan membutuhkan biaya besar maka tanggunjawab pendanaan adalah pemerintah desa.

Sejarah pengadaan air bersih ini, dengan sengaja saya sampaikan dihadapan publik agar publik bisa menilai, siapa tokoh tokoh di Lewoingu harus dianggap sebagai pihak yang paling berjasa dalam hali ini. Sekaligus saya bermaksud untuk menjawab pernyataan Rafael Raga Maran yang mengatakan Bapaknya Sani Maran dan adiknya Yoakim Maran sebagai orang-orang yang sangat berjasa. Untuk membantu khalayak pembaca menilai apakah pernyataan Rafael Raga Maran itu sebagai sebuah kebenaran, maka ada beberapa pertanyaan penuntun berikut: Apa dasar Bapak Sani Maran membubuhkan tanda-tangan diatas materai dalam proporsal itu ? Apakah sebagai ketua stasi Eputobi ? Apakah sebagai kepala Desa Lewoingu ? Apakah betul hanya seorang Yoakim Maran yang sering memperbaiki kerusakan air itu ?

Kiranya jelas bahwa problem kejujuran seorang Rafael Raga Maran sedang dipertaruhkan. Semakin ia terlibat dalam diskusi ini, semakin nyata ia menunjukan kekuarangan dalam analisanya. Semakin sering ia berargumentasi untuk mempertahankan tesis dalam penulisan sejarah, ia semakin konyol, bahkan semakin sering ia berbohong. Dengan energi dan kemampuan yang serba terbatas ia bermegah diatas argumentasinya, tetapi akhirnya ia pun jatu oleh argumentasinya sendiri. Di dalam jurang keterbatasan itu, ia menangis karena dongeng sejarahnya tidak mampu mengubah pemahaman publik tentang sejarah Lewoingu.

Kini publik bisa mengiventarisasi kebohongannya:
Pertama; Kebohongannya tentang sejarah Gresiktuli yang berasal dari Jawa dan terdampar di Lewokoli, tetapi ia akhirnya membantahnya sendiri dengan mengatakan bahwa Gresiktuli dan keturunannya adalah Demong Pagong.
Kedua;Rafael sibuk membela dirinya dengan mengatakan bahwa Raga bukan anak Hule, tapi publik Lewoingu tidak pernah melupakan prahara nuhung teme tewong alo boleng boto.
Ketiga; Rafael Raga Maran yang menyatakan bahwa rie Limang wanang yang dimiliki oleh Bapak Boli dan keturunannya adalah bentuk pewarisan dari budaya masyarakat Lewotala. Tetapi ketika kebohongan itu dimentahkan, ia merubah pernyataanya menjadi 'rie limang wanang adalah pemberian Kesowari Bereamang. Ternyata Rafael Raga Maran begitu mudah memutarbalikan fakta. Tapi disitulah letak kebohongannya.
Keempat; Pengingkaran tentang kejadian di tahun 1974 yakni ketika dihadapan para pemuka adat Bapa Sani Maran ingin melecehkan kedua orangtua kami Yosep Gega Kelen dan Yosep Torang Kelen, sebagai sesuatu yang tidak pernah terjadi, padahal fakta itu masih teringat jelas dalam benak kita semua.
Kelima; kebohongan tentang peran orangtuanya dalam pengadaan instalasi air bersih dengan menandatangani proposal untuk dikirim ke Belanda dan adiknya Yoakim Maran sebagai orang yang sering memperbaiki pipa air dengan menihilkan peran orang lain, ternyata dapat dimentahkan begitu mudah.

Kini masih ada fakta lain yang kita harapkan dari kejujuran seorang Rafael Raga Maran !

1. Dimana meriam tempo dulu ( pesa) itu berada ?
Kembalikanlah artefac itu karena itu milik umum, bukan milik pribadi atau keluarga.
2. Ada peristiwa apa dengan masyarakat Tenawahang, terutama suku Open ?
Mengapa masyarakat Eputobi harus denda dengan satu gading ?
3. Siapa biang kerok, sehingga koke Dungbata dibakar oleh Belanda ?
Siapa penyebab Baleng Emar mati sia-sia karena dinjak oleh Kompeni ?
Siapa biang kerok yang berakibat Dalu Kumanireng cs. dipenjara di Kupang oleh Kompeni ?

Menjadi sangat arif, bila kita tetap dan terus menunggu, karena mungkin lawan debat saya ini lupa, tetapi bila dengan sengaja ia melupakannya, itu tidak menjadi masalah karena toh publik Lewoingu juga sudah mengetahuinya. Tetapi berpikir positif itu adalah kearifan, sehingga kita terus berharap semoga pada tulisannya yang akan datang, ia dapat mengatakannya dengan jujur, sehingga semua kebohongan yang telah dilakukannya bisa diampuni.


Biarkanlah pohon ara itu bertumbuh, karena dihari esok pohon ara itu masih bisa berbuah.

Salam...............................untuk Sdr Rafael Raga Maran

Dari Marselinus Sani Kelen......... Jakarta.








Kamis, 20 Agustus 2009

SIAPAKAH RAGA ITU ?

Untuk sdr. Rafael Raga Maran

Laga ae niku kola
Huke kia baru buko
Balo kia baru napang
Wato pitang tanah bori

Saya mengawali tulisan ini dengan meletakan empat baris koda khiring sebagai bentuk nasihat yang semestinya dipegang teguh dalam kebersamaan hidup di lewotanah. Koda khiring dalam bahasa daerah yang ditulis dalam empat baris memiliki makna. Tiga baris pertama adalah bagian pengantar yang menyatakan bahwa dalam setiap penuturan atau penulisan sejarah perlu ada prioritas terhadap setiap tahapan sejarah, karena materi sejarah tersebut bernilai/bermanfaat, dipihak lain ada materi sejarah yang perlu ditempatkan pada prioritas kedua atau ketiga karena tidak bernilai/bermanfaat. Ketiga baris pertama mau menjelaskan berbagai momen sejarah mana yang diutamakan dan mana yang perlu dikesampingkan atau perlu dihilangkan karena berhubungan dengan nama baik atau demi keluhuran martabat pelaku sejarah itu. Sedangkan baris keempat adalah nasihat agar setiap aip atau perilaku para pelaku sejarah yang dinilai dan dianggap mengurangi hakikat dan keberadaannya sebagai pemimpin. Momen sejarah berupa aib itu, terus menerus ditutup-tutupi atau dirahasiakan karena menyangkut keberadaan diri para pelaku sejarah sebagai raja, penguasa atau kebele'ng dll.

Dari leluhur sampai pada orangtua kita, aip itu selalu ditutupi agar kebersamaan mereka terus berada dalam bingkai kehidupan yang satu sama lain saling menjaga harkat dan martabat sehingga disana ada sikap untuk saling menghormati. Waktu yang terus berjalan, ternyata ada pihak pihak tertentu, ingin menggunakan fenomena nasihat itu untuk menuturkan sejarah dengan versi yang berbeda. Dengan berlindung dibalik nasihat nan arif, pribadi pribadi seperti Rafael Raga Maran ingin memutar balik fakta sejarah dengan maksud agar mereka diakui sebagai penguasa adat dan kebele'ng raya'an. Tetapi mereka lupa bahwa aib yang dengan sengaja ditutupi oleh leluhur, diceritakan secara internal dalam keluarganya masing-masing sesungguhnya untuk menjaga nama baik keturunan bapak Gresiktuli terutama suku Ata maran. Tetapi sudahlah, nasihat yang semestinya harus kita jaga ternyata keturunan Bapak Raga sendiri ingin agar aib itu dibongkar dan diketahui publik, maka saya pun bersyukur karena tindakan saya dengan berbagai tulisan ini hanya membantu saudara saya Rafael Raga Maran untuk selalu ingat dan tahu diri.

Rafael Raga Maran begitu sibuk membela diri untuk mempertahankan dirinya sebagai kebele'eng rayaha'n atau sebagai Raya Lewowerang karena ia adalah keturunan bapak Raga. Bahwa Bapak Raga adalah anak kandung dan anak sulung dari bapak Sani, sehingga tak henti-hentinya ia mempertahankan diri sebagai weruing ( hak kesulungan). Melalui doktrin tentang sejarah palsu dari kakeknya Nuba Maran dan bapaknya Bapanya Sani Maran, Rafael Raga Maran seakan-akan berdiri diatas foundasi Raya Lewowerang dengan segala atribut sebagai kebele'ng. Ia tidak menyadari bahwa sejarah palsu yang diwariskan itu telah menempatkan dirinya sebagai Raya Lewowerang dan kebele'ng yang kering kerontang. Tidak ada dalam kamus masyarakat Lamaholot termasuk masyarakat Lewoingu mengenal Maran sebagai Kebele'ng rayaha'ng atau Raya Lewowerang, justru yang dikenal adalah "ATA MARAN".

Kembali pada judul ' Siapakah Raga Itu ?
Kali ini, saya tidak lagi ingin menulis sejarah tentang asal-usul Bapak Raga karena lewo gole roiro kae ( publik Lewoingu sudah mengetahuinya) apalagi pada tulisan tulisan terdahulu cerita itu sudah disampaikan. Dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan beberapa hal, sebagai bentuk tanggapan atas tulisannya dengan judul: Suara Siapakah Itu ?

Pertama, untuk mempertegas dan meyakinkan pembaca akan status dan posisi Bapak Raga, Rafael Raga Maran Mengajukan tiga buah pertanyaan:
Masa' kalau Raga itu anak Hule, dia bisa menjadi Raya Lewowerang ? Masa' dalam urusan yang berkaitan dengan kekuasaan pada masa itu, seorang adik yang memberi legitimasi tradisional bagi kekuasaan kakaknya ? Masa' dalam budaya patriarkat yang menekankan hak sulung (weruing) atas kekuasaan adat, seperti yang berlaku di Lamaholot termasuk di Lewoingu, seorang adik berhak mengatur-ngatur kakaknya dalam urusan adat yang demikian penting itu ? Untuk menjawab pertanyaan Rafael Raga Maran yang begitu sederhana ini. saya pun menjawabnya dengan tiga buah pertanyaan antara lain: Apakah seorang anak 'kenowa' bisa jadi Raya Lewowerang ? Apakah anak tiri dapat mewariskan kekuasaan seorang bapak (bukan bapak kandung) dan melupakan anak kandungnya sendiri ? Apakah budaya patriarkat menempatkan anak dari hasil perselingkuhan atau hasil dari 'titipan' orang lain dalam urusan adat istiadat yang demikian penting itu ?
Supaya Rafael Raga Maran bisa tahu diri, bahwa sejarah kelam yamg menghadirkan seorang Raga sudah menjadi milik publik. Apabila kita berbicara atau menulis dalam versi yang berbeda maka yang muncul adalah cemoohan dan celotehan. Bahkan menjadi sangat terhina apabila celotehan celotehan itu melekat pada diri kita karena dianggap sebagai penipu.

Kedua; Rafael Raga Maran yang terus mengingkari prahara ' nuhung teme' tewong, alo boleng boto' dengan mengandaikan ada prahara lain. Prahara versi Rafael Raga Maran adalah peperangan di antara Gresiktuli dan sekutunya melawan Paji dan adanya entitas dalam sekutu Gresiktuli saling mengadu kekuatan ilmu. Apabila kita telusuri dua prahara versi Rafael Raga Maran ini, maka kita akan menemukan alur dan pola berpikirnya yang tak terarah. Ketika ia menempatkan prahara pertama sebagai peperangan dengan Paji yang berati bahwa perlu ada kekuatan bersama dan utuh dari semua penghuni lewotanah, tetapi dipihak lain ia juga menyatakan bahwa dalam kebersamaan itu ada permusuhan. Logika analisanya dengan dua premis yang ada satu sama lain saling bertentangan, bahkan saling meniadakan. Menjadi nyata bahwa Rafael Raga Maran sedang bertempur dengan dirinya sendiri dan akhirnya luntur mejadi sebuah cerita dongeng belaka.

Ketiga
; dalam tulisan yang sama, lawan debat saya mengatakan '
..... dan disitu barulah mereka berpindah ketempat yang lebih ideal, tempat yang kemudian disebut Dungtana. Perkampungan yang dibangun disitu disebut Lewoingu tetapi dipihak lain dari penulisan itu ia juga mengatakan '... mereka yang tadinya bermukim di puncak Ile Hingangpun merasa perlu turun dan bergabung dengan para demong yang lainnya di Lewowerang-Lewoingu (Dungbata-Lewoingu). Bila kita telusuri isi cerita ini, ternyata Rafael menunjukan beberapa kekurangan dari pemahamannya tentang sejarah. Rafael Raga Maran serta merta merangkai istilah Dungtana sebagai padanan dengan Lewoingu tetapi pada sisi lain ia juga merangkai Lewoingu pada kata Dungbata sehingga menjadi Dungbata-Lewoingu. Fakta sejarah menyatakan pendirian dua koke bale itu, terlaksana pada fase yang berbeda. Kedua koke juga menjelaskan diferensiasi fungsi dan peran yang berbeda dari suku yang ada baik di Dungtana maupun Dungbata. Dalam kegelapan analisannya itu ia mengandaikan bahwa di Lewowerang sudah ada yang tinggal dan menetap disitu. Analisa yang begitu gelap, berakhir pada sebuah pengandaian.

Rafael Raga Maran yang bermaksud ingin meyakinkan publik tentang sebuah fakta sejarah, ternyata hanya sampai pada suatu sikapnya yang berupa pengandaian. Bila lawan debat saya ini mengandaikan besok matahari terbit itu adalah kepastian, tetapi kalau ia mengandaikan besok akan turun hujan, itu bernilai kemungkinan. Tentang peristiwa yang terjadi kemarin atau tentang sejarah yang terjadi pada masa lalu bukanlah sebuah pengandaian tetapi kepastian. Saya hanya ingin berpesan bahwa anda salah kalau anda berdebat dengan saya, apalagi tentang sejarah, karena anda bukan siapa-siapa. Perbanyaklah referensi anda dengan demikian anda bisa diterima sebagai teman diskusi yang sepadan.


Salam ...........dari Marselinus Sani Kelen .... buat saudaraku Rafael Raga Maran.









Senin, 10 Agustus 2009

MERETAS BATAS DIANTARA TERSANGKA DAN TERPIDANA

Pengantar

Kasus kematian alm. Yoakim Gresiktuli Maran ( YGM) menjadi sebuah fenomena menarik untuk terus dikaji. Proses hukum yang terus berlanjut dengan membebaskan para tersangka, dan pemanggilan oknum lain menjadi satu fenomena baru dan menarik perhatian tidak hanya pihak para penegak hukum atau pihak keluarga tetapi juga pihak lain yang beremphaty atas kasus kematian tersebut. Emphaty itu muncul karena ada harapan bagi terlaksananya sebuah proses hukum yang berkeadilan, menganngkat harkat dan martabat manusia sebagai makluk Tuhan. Kondisi ini mengundang saya untuk turut terlibat dalam proses diskusi yang sedikit banyak berpijak pada aspek hukum, sehingga ada proses sharing diantara kita dalam mencari penyelesaian hukum yang benar benar menyentuh rasa dan nilai keadlan itu.

Ketika kita harus terlibat dalam diskusi tentang fenomena pidana dan tersangka, maka orientasi pemikiran kita akan diarahkan kepada aspek hukum pidana. Maka pemberlakuan hukum pidana seharusnya memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, harkat dan martabat manusia, sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Artinya acara pidana bertujuan agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing masing kerarah tegakmantapnya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum, demi tegaknya Republik Indonesia sebagai negara hukum sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Maka menjadi nyata pemberlakuan suatu hukum pidana kepada setiap orang mengandaikan adanya perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan hukum. Bahwa setiap orang yang disangka ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan hukum yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap (Asas praduga tak bersalah). Demikianpun kepada setiap orang yang ditangkap ditahan, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya, atau hukum yag diterapkan, wajib diberi ganti rugi dan rehabilitasi sejak ditingkat penyidikan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaian menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, maka wajib dituntut, dipidana, dan atau dikenakan hukum administrasi.

I. Fenomena Kematian YGM dan Para Tersangka.

Bila analisa kita diarahkan kepada kematian YGM dan para tersangka, maka ada fenomena yang harus dikaji lebih serius. Benarkah tindakan penangkapan dan penahanan kepada Mikhael Torang Kelen Cs ? Dalam UU No 8 tahun 1981 tentang kitab Hukum Acara Pidana pada pasal 1 butir 14 dinyatakan bahwa tersangka adalah orang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku. Pada pasal 17 Bukti permulaan yang dianggap cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindakan pidana ( sesuai pasal 1 butis 14). Bukti permulaan yang dipakai dalam penangkapan Mikhael Torang Kelen Cs adalah didasarkan pada karena keadaan hubungan konflik terbuka yang terjadi dalam prsoses pemilihan kepala desa. Keadaan itu kemudian diperkuat dengan sebuah kerasukan yang seolah olah menjelaskan tentang siapa sesungguhnya pelaku pembunuhan itu. Menjadi pertanyaan apakah penangkapan dengan bukti awal itu seperti itu dapat diterima dalam konteks negara hukum ? Dalam konteks hukum yang berlaku dalam negara hukum seperti Negara Republik Indonesia fenomena kerasukan bukanlah kategori bukti awal tetapi sebagai petunjuk awal. Karena masih sebatas petunjuk awal maka para penyidik tidak berhak untuk menangkap apalagi menahan dan menganggapnya sebagai tersangka. Dalam batasan itu penyidik berkewajiban mencari keterangan lanjutan sehingga menjadikannya sebagai bukti awal yang dianggap cukup. Pihak pihak yang kepadanya dianggap sebagai tersangka dan ditahan hanya apabila ada bukti awal dari keterangan saksi, keterangan tersangka, ada hasil fisum, ada hasil laboratorium, ada alat bukti, dan ada pengakuan tersangka yang semuanya mengarahkan penyidik pada pihak pihak yang harus ditangkap dan ditahan. Menjadi jelas bahwa penangkapan terhadap Mikhael Torang Kelen Cs menjadi salah satu kelalaian dan kekeliruan pihak penyidik yang semestinya perlu dipertangunjawabkan secara hukum.
Mengapa pihak Mikhael Torang Kelen Cs kemudian dibebaskan dan dikeluarkan dari tahanan ? Pasal 29 butir 6 UU No 8 Tahun 1981 menyatakan setelah waktu 60 hari walaupun perkara belum selesai diperiksa atau belum diputuskan tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Menjadi pertanyaan mengapa pihak penyidik menggunakan pasal undang undang ini sehingga mengeluarkan pihak Mikhael Torang Kelen Cs dari tahanan dan apakah status mereka tetap sebagai tersangka atau bebas demi hukum ? untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dipahami lebih dahulu syarat yang seharusnya ada bila seseorang harus dipidanakan: Pertama Unsur actus reus yaitu perbuatan pidana ( criminal act) yaitu tindakan yang melawan hukum. Kedua Unsur strafbaarfeit yakni telah terbukti yang dilakukan oleh pihak tersangka sebagai tindakan pidana. Ketiga; unsur strafbaarheid yakni ada kesimpulan dari proses penyidikan itu dipertimbangkan bahwa pihak tersangka itu bersalah. Keempat; Unsur Mens rea, menyangkut unsur pembuat delik hukum diberlakukan kepada pihak tersangka, antara lain kemampuan beranggujawab pembuat delik dan kesalahan melawan hukum sebagai niat, sadar / sengaja akan kepastian dari delik hukum yang ada, sengaja/sadar akan kemungkinan terjadinya perbuatan pidana.

Dari unsur unsur pemidaan ini, maka dapat dianalisa bahwa ketika kematian YGM sebagai tindakan pembunuhan maka telah ada perbuatan pidana. Menjadi persoalan siapa subyek pelakunya ? Proses penyidikan oleh aparat penegak hukum untuk mendapatkan bukti terhadap orang yang telah ditangkap dan ditahan telah berjalan dan dalam proses itu tidak tebukti bersalah. Kepada keempat tersangka tidak diketemukan unsur unsur perbuatan pidana oleh karena itu tidak patut untuk dipidanakan. Fakta bahwa pihak pengadilan menolak berkas perkara menunjukan bahwa pengadilan tidak mungkin akan membuktikan adanya kesalahan jika pihak pengadilan telah mengetahui dari berkas itu tidak ada perbuatan pidana dari para tersangka. Menjadi jelas tanpa kejahatan maka pidanapun tidak ada( nulla poena sine crimine) dalam diri tersangka. Maka menjadi jelas bahwa dibebaskannya keempat tersangka itu adalah bebas demi hukum

Fenomena hukuman sosial yang terus berlanjut dengan menyatakan Mikhael Torang Kelen Cs sebagai penjahat, pembunuh bagi saya adalah sikap kekanak-kanakan. Sifat yang keluar dari ketidakpahaman tentang hukum yang berlaku. Penafsiran tentang delik hukum pidana bukan milik umum, tetapi bersifat condition sine qua non artinya terbatas dan hanya dikuasai oleh para penyidik, penuntuk umum dan hakim. Penafsiran dalam kasus hukum pidana bukan rationale interpretatie yang dapat dilakukan oleh semua orang karena ia merasa bisa melakukan itu. Bahkan lebih tajam lagi Montesquieu dalam bukunya L' EspritDes Lois (1748) menyatakan bukan hakim dan para penegak hukum yang berwewenang menentukan suatu delik perkara, tetapi undang undang. Sehingga peradilan pidana menjadi une puissance is terible parmi les hommes yaitu tidak ada sikap sewenang wenang. Pengadilan dan semua aparat penegak hukum harus beregang secara ketat ( strict) pada undang undang yang berlaku. Dengan demikian keputusan semata mata harus un texte precis de la lois ( berdasarkan kepastian hukum). Pemikiran aparat penegak hukum harus tertuju pada satu syllogisme, artinya kaidah undang undang pidana menjadi premis major, peristiwa yang terbukti menjadi premis minor dan patut dihukum atau dipidananya seseorang menjadi kesimpulan. Maka menjadi sia sia kita menghujat orang karena kita akirnya terjebak dalam perbuatan dosa kaum farisi karena hanya bisa melihat orang lain tanpa melihat dan mengoreksi diri sendiri.

II. Analisa sebab - akibat ( causaliteit) kematian YGM.

Ada hal menarik yang perlu direspons positif, ketika pihak penyidik membuka proses penyidikan melebar, tidak terbatas pada pihak yang disangkakan selama ini. Tindakan penyidik semacam ini menjadi salah satu bentuk dari sebuah proses analisa causalitas terhadap delik hukum pidana, artinya demi penyelesaian proses hukum itu maka ruang lingkup penyidikan harus diperluas. Untuk terlibat dalam diskusi causalitas ini, ada beberapa teori mejadi dasar pijakan kita.

A. Teori Van Buri ( M. Van Buri 1873)
Bahwa semua syarat, semua faktor yang turut serta bersama sama menyebabkan suatu akibat dan tidak dapat dihilangkan begitu saja, dari rangkaian faktor yang bersangkutan adalah sebab dari akibat itu. Dari konsep teori yang ada, maka kasus kematian YGM perlu dilihat berbagai faktor yang menyebabkan akibat kehilangan nyawanya. Artinya berbagai fenomena yang telah dilalui oleh alm. YGM perlu diteliti dan diselidiki. Setiap kebersamaan dengan YGM enta hubungan yang bersifat konflik terbuka atau konflik tersebung bahkan hubungan pertemanan biasa sekalipun turut diselidiki. Atas dasar teori ini maka semua bentuk kebersamaan yang ada adalah faktor yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja, bahkan dari faktor yang secara kasat mata tidak ada konflik didalamnya terpacung konflik yang luar biasa.

B. Teori Mengindividualisir ( Birk Meijer 1885)
Inti teori ini menyatakan bahwa dari rangkaian faktor yang diterima sebagai causa (sebab) maka perlu dicari faktor yang dipandang paling berpengaruh atas terjadinya akibat yang ada. Berdasarkan teori ini maka orientasi penyidikan harus diarahkan kepada salah satu causa dari kebersamaan dengan alm. YGM, artinya kebersamaan itu lebih berpotensi terjadinya sebuah akibat. Dalam logika konflik sebab akibat, ketika konflik menyeret kelompok masyarakat, maka menjadi kecil kemungkinan untuk membangun kebencian antar pribadi, itu berarti menjadi sangat kecil kemungkinan untuk memberikan sebuah bentuk ancaman secara pribadi apalagi pada tindakan pembunuhan. Dalam konteks ini para penyidik mulai terlibat untuk menganalisa berbagai bentuk kerjasama ataupun bentuk usaha apapun yang melibatkan alm YGM yang didalamnya tersimpan konflik secara personal.

III. Yurisprodensi Hukum Pidana

Dalam Yurisprodensi hukum pidana ada tiga teori yang dapat dipakai dalam analisa tentang kematian YGM.

A. Teori Perbuatan Materil ( Leer van de lichamelijke daad)
Teori ini berfokus pada delik hukum ( locus delicti) adalah tempat pembuat melakukan segala sesuatu yang kemudian dapat mengakibatkan delik hukum. Artinya tempat dimana sebuah akibat dari sebab, berhubungan dengan faktor kebersamaan alm YGM dalam keseharian hidupnya. Atau faktor kebersamaan lain entah berupa kerjasama apapun yang berdekatan dengan akibat kematian tu.

B. Teori alat yang dipergunakan ( Leer van het instrument).
Teori ini menjelaskan sebuah delik hukum bermula dari alat yang dipergunakan dan telah menyelesaikan sebuah akibat. Dengan perkataan lain yang menjadi pusat penyidikan adalah alat yang dipergunakan ( uitwaking) itu ditemukan. Atas dasar teori ini maka penyidikan kasus kematian YGM dapat dimulai dari dimana alat itu ditemukan ? siapa yang menemukan ?, mengapa alat tersebut disebut alat bukti ? dan atas dasar apa alat bukti itu diyakini sebagai alat bukti ? Pertanyaan pertanyaan itu seharusnya menjadi pusat perhatian untuk mengarahkan penyidikan kepada subyek yang sesungguhnya.

C. Teori Akibat ( Leer van het gevolg)
Teori akibat memusatkan perhatian pada akibat dari perbuatan itu terjadi. Berdasarkan teori ini maka fokus perhatian penyidik tidak lagi terbatas pada informasi yang ada, tetapi mulai melebar membuka ruang penyidikan pada rangkaian faktor sebagai sebab dan berakibat berdekatan dengan kebersamaan dari faktor yang ada. Karena dari faktor yang ada, dengan akibat yang berdekatan secara teritorial, memiliki hubungan causalitas lebih bersifat langsung. Artinya konflik yang mungkin terpendam dalam setiap kerjasama antara alm YGM dengan siapun tidak bisa diabaikan begitu saja, justru dalam kerjasama yang bersifat personal itu memiliki sisi konflik dengan tingkat determinasi yang bersifat dominan dan sangat memungkinkan terjadinya akibat.

Penutup
Tulisan ini bukanlah pendapat hukum tapi lebih sebagai apresiasi terhadap sebuah proses hukum yang ada. Apresiasi ini juga bertujuan untuk memperkaya kasana kita dalam melihat dan membantu proses hukum dari kematian alm. YGM, dengan demikian proses hukum ini tidak mengalami kondisi yang stagnan, tetapi terus menerus berjalan secara jujur dan berkeadilan. Lebih dari itu tulisan sederhana ini juga sebagai persembahan doa buat alm YGM semoga jiwanya diterima disisi Tuhan. Sekaligus berharap agar para pelaku kejahatan yang menghabiskan hidup YGM. mendapat hukuman yaang berat, tidak hanya diakhirat tetapi juga di dunia yang fana ini.
Buat semua saudaraku yang selama ini menempatkan saya sebagai pembela Mikhael Torang Kelen, saya menitipkan salam............
Saya bukan bermaksud membela siapun, yang saya bela adalah kebenaran, dan pembelaan itu demi keadilan hukum bagi semua pihak.

Membela penjahat adalah penjahat juga..................
membangun opini publik sehingga orang lain yang tak bersalah dianggap sebagai penjahat adalah penjahat juga............
Dengan ratio dan nalar yang konyol, melakukan pembusukan karakter pribadi orang lain adalah sebuah kebusukan juga..................
Yang benar adalah.........................
Berikan kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan kepada ALLAH apa yang menjadi milik ALLAH...................
Yang benar adalah....................
Ketika itu delik hukum pidana maka semua penafsiran adalah condition sine qua non dan bukan rationale intrepretatie.....................

Salam .....................Marselinus Sani Kelen............................ Jakarta.