Minggu, 28 Juni 2009

GRESIKTULI SANG DEMONG PAGONG

Bukan karena sikap subyektif sebagai anak cucu Gresiktuli yang karena faktor kepentingan ingin menempatkan leluhurnya sebagai pihak yang harus dihormati, tetapi karena sejarah telah membuktikannya sebagai keniscayaan. Bukan dari singgasana kesombongan untuk menempatkan leluhurnya sebagai pihak yang dihargai tetapi karena fakta sejarah dan sastra marang mukeng lewotanah, membuat saya bangga punya sosok leluhur seperti itu. Bukan dari menara demong pagong sebagai kebelen'g agar dipatuhi keinginan, tapi dari kesahajaan, saya ingin menempatkan diri sebagai anak pewaris sejarah agar satu sama lain kita saling menghormati. Keniscyaan dan kebanggaan ini tidak serta merta menihilkan peran leluhur ata suku yang lain, tetapi tetap dalam semangat persaudaraan, menghargai semua pihak yang telah menorehkan sejarah lewotanah kita tercinta. Saling menghormati adalah sikap dasar dalam hidup kita hari ini, sebagaimana leluhur tempo dulu, yang selalu menjadikannya sebagai ciri-ciri dan jati diri dari kehidupan mereka.

Lewoingu tempo dulu bukanlah kerajaan, Lewoingu tempo dulu adalah hasil dari kontrak sosial, artinya lewoingu dibangun oleh sekian entitas suku yang memiliki karakter dan kepribadian. Entitas entitas itu adalah pilar, dibangun menjadi satu unit sosial yang belakangan kita kenal dengan istilah Lewoingu ( Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali ). Konstruksi bangunan sosial ini meniscayakan adanya kewibawaan yang menjadi perekat, ketauladanan yang menjadi daya pengikat dan kekuatan yang mempersatukan. Dalam bingkai pemahaman kita semacam ini, maka bukanlah sikap gegabah, bila saya mengatakan bahwa pengikat, perekat dan daya pikat itu adalah Gresiktuli. Bahwa dari keluhuran martabat dirinya, ia telah meretas batas riang menjadi tali kasih persaudaraan. Bahwa dari kewibaan dirinya, ia telah membuka sekat sekat kesukuan menjadi opung paing, kakang aring. Bahwa dari kekuatan karakter dan ketegaran jiwanya, ia telah membawa masyarakat lewotanah tempo dulu untuk hidup dalam alam kebebasan, bebas dari monster kanibalis atau leviathan kaum Paji.

Kehebatan sang tokoh telah berlalu, hari ini dijaman teknologi serba digital, jaman yang menempatkan ilmu dan teknologi sebagai dewa, ada hasrat untuk kembali mengenang sejarah masa lalu dalam bentuk penulisan sejarah lewotanah. Patut untuk direspon, karena dalam dirinya pencetus gagasan ini, memiliki rasa hormat terhadap sejarah, hormat kepada para leluhur. Penulisan sejarah menjadi sangat efektif bila kita memiliki bukti peninggalan berupa artefak dan berbagai tatanan sosial, karena dari foundasi itulah kita dapat berapresiasi untuk mempertahankan sebuah argumen. Sejarah yang diwariskan hanya melalui tradisi lisan ( bahasa tutur) menyimpan berbagai kelemahan, karena lemahnya ingatan dan faktor subyektif yang cendrung melekat pada diri sang penutur. Diatas serpihan cerita yang luntur, sejarah kehilangan ruhnya, sejarah sekedar catatan kehidupan karena tidak dilandasi pada akar dan nilai-nilai historis yang sesungguhnya. Disinilah arena perdebatan itu dimulai, termasuk didalamnya perdebatan tentang siapa itu Gresiktuli sesungguhnya.

A. Fenomena Awal Kehadiran Sang Demong Pagong

Mungkin kita harus sepakat, bahwa kehadiran awal Gresiktuli dimulai dari tempat yang sampai dengan hari ini kita namakan "Dua Tanah Beto". Pemberian nama terhadap wilayah/areal hutan rimba ini pasti punya sejarah tersendiri, karena nama memberi makna tentang sebuah fakta, nama menjelas berbagai nilai yang melekat padanya. Aspek sejarah yang melekat didalamnya dihayati sehingga areal itu tetap terpelihara dan tidak akan pernah untuk ditebang dan dijadikan areal pertanian atau perkebunan. Persolan sekarang bagaimana kehadiran awal Gresiktuli ini harus dijelaskan ? saya kira tidak ada cara lain selain kita membangun interpretasi, mengolah kemampuan hermeneutik atas bahasa/sastra dari mantra (marang mukeng) yang sering diucapkan dan didengar anak lewotanah.
" Demong pe'eng beto yang rae koting bala pukeng, pagong pe;eng burak rae wato tonu lolong. Beto lali tanah haka burak lali ekang gere, beto na'ang ba'i eha'ang, burak na'ang beda soka toya"
Vonem dari mantra ini memberikan padanan kata yang saling menjelaskan; bahwa ada figur demong pagong yang keluar dari tanah sebagai seorang bayi. Tetapi yang dimaksud bukanlah bayi tak berdaya, melainkan bayi yang memiliki kedigdayaan, ia hadir dengan membawa kekuatan kekuatan yang luar biasa "ikekwa'a wato tonu-tonu wuyo" dan diatas kekuatan itu ia bertumbuh menjadi besar. Tanah tempat ia hadir telah memberikan perubahan yang sekoyong koyong bukan sekedar bayi lagi. Kehadiran awal demong pagong ini disambut oleh penghuni alam semesta disekitarnya, wekak keak teti pai, wodong gorek lali dai, lusi gileng teti pai lako hayang lali dai. Menjadi jelas bahwa kehadiran demong pagong ini disambut dengan kegembiraan. Ekosistem dengan segala komunitas yang ada didalamnya menerima kehadirannya. Ini menjadi semakin nyata bahwa dari kehadiran awal, ia telah ditakdirkan untuk menjadi pemimpin.

Pada penggunaan mantra lanjutan "Tawa beleka'a na'ang hogo beta, nubung gere na'ang mereng rua, terdapat padanan vonem yang menjelaskan eksistensi demong pagong ini dari waktu kewaktu. Pertumbuhan dan perkembangan sang demong pagong terjadi tidak sebagaimana biasanya tetapi terjadi dalam hitungan hari. Ada percepatan dalam pertumbuhan atau bisa saja dimaknai ada loncatan waktu yang hanya dialami oleh sang demong pagong ini. Perubahan ini, memberikan jawaban bahwa sang Demong Pagong dipelihara oleh kekuatan kekuatan lain yang tidak dapat ditangkap oleh orang pada jamannya. Kekuatan kekuatan itu adalah bawaan dan kekuatan alam yang telah menyatu dengan dirinya.

Penggunaan mantra yang dipakai oleh nana yadi tra'h Lewohari " Inang go beta bewa....herung no'ong ba'i eha'ang, one'eng huk matik sare, deing nala bote ba'i sadik, nala dukong nubung, nete tiro niang lewo lau hari lama rebo, niang lau rebo lama lina, opanele tuho dukong lela liwu... nele tawa beleka'a na'ang hogo beta, nele nubung gere blolaya'a na'ang mereng rua...
Ada hal menarik untuk diteliti lebih jauh, dari aspek penggunaan bahasa Go inang Bota Bewa menempatkan ema Bota Bewa sebagai subyek, tetapi dalam padanan bunyi mantra selanjutnya dengan penggunaan pola kata kerja yang dipakai ...herung no'ong....one'eng huk... penggunaan vonem no'ong dan one'eng ( beda ko'ong dan onek'eng) seolah olah telah berubah dan menempatkan Ema Bota Bewa menjadi obyek.
Untuk menjaga proses berpikir dan logika awal kita tetap pada maenstrimnya maka, frase mantra yang terakhir ini harus dimaknai dalam konteks yang berbeda. Artinya kita harus menempatkan Ema Bota Bewa dan sang Demong Pagong sebagai pribadi dengan kondisi keberadaan satu sama lain berbeda. Ema Bota Bewa yang diliputi oleh rasa kegembiraan dan emphaty terhadap bayi yang ia hadapi, dengan tidak ada pemahaman tentang siapa sesungguhnya bayi tersebut. Sifat kelembutan dan ketulusan menutupi segala prasangka, sehingga yang harus dilakukan selanjutnya adalah membawanya ke tempat dimana ia bersama suaminya Nuho Rehing tinggal. Frase lanjutan " tuho dukong lela liwu" yang secara lugas berarti Ema Bota Bewa menyusui bayi demong pagong. Kalau kita menggunakan arti lugas seperti itu berarti kita mengingkari sebuah fakta, karena Ema Bota Bewa ketika itu tidak sedang dalam keadaan memiliki air susu untuk menyusui, Ema Bota bewa belum punya anak. Padanan bunyi tuho dukong lela liwu dimaknai sebagai bentuk emphaty, perhatian mereka sebagai orang tua asuh (bua burang, tekan tenung, hebo baha dll) terhadap demong pagong itu. Bila kita menelusuri frase berikutnya " nele tawa beleka'a na'ang hogo beta, nele nubung gere blolaya'a na'ang mereng rua.. maka dapat dimaknai bahwa kebersamaan sang Demong Pagong di Lewoharipun tidak begitu lama, mengikuti pertumbuhan yang secara cepat itu. Dari fenomena ini maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa jarak waktu dari kehadiran pertama di Tanah Beto sampai ia memberikan nama pada dirinya tidak membutuhkan waktu yang lama tetapi dalam waktu yang singkat, sesingkat dan secepat proses pertumbuhan yang ia jalani.

B. Mengapa Menjadi Bayi Di Tanah Beto
Figur yang hadir di Tanah Beto, bukan figur anonim tetapi ia adalah Demong Pagong. Mengapa kehadiran sang Demong Pagong ini harus dari bayi, adalah bagian lanjutan untuk memahami siapa sesungguhnya pribadi yang misteri ini. Kedigdayaan sebagai seorang bayi dengan segala ikekwaa ditopang restu dan penerimaan alam dan kehadiran yang membawa kegembiraan bagi semua ekosistem dan komunitas didalamnya, maka saya memberanikan diri untuk menyatakan bahwa "Demong pe'eng beto yang rae koting bala pukeng, pagong pe;eng burak rae wato tonu lolong. Beto lali tanah haka burak lali ekang gere, beto na'ang ba'i eha'ang, burak na'ang beda soka toya" adalah wujud dari sebuah "kehadiran kembali" Bahwa ada figur anonim yang sebelumnya pernah hadir, dan pada waktunya ia kembali menghadirkan diri sebagai Demong Pagong di Tanah Beto. Mungkin khalayak menuduh saya sebagai orang gila, yang karena kegilaannya kabe labe seenaknya, tapi ketika anda membaca Sang Kuriang yang mencari Ibunya Dayang Sumbi, ternyata ia harus mengalami kehadiran berulang ulang kali ditempat yang berbeda, atau kalau anda membaca riwayat Syeh Sitie Djenar andapun termangu ternyata beliau harus hidup dan mati berkali kali. Mengapa.... ? karena mereka memiliki kelebihan yang luar biasa. Sang Demong Pagong yang di Tanah Beto juga luar biasa, karena logika normal kita tidak pernah menerima bahwa ada sel telur dan sperma yang tercecer didalam tanah, mengalami proses pembuahan menjadi zygot dan menjadi bayi Demong Pagong itu.

Bahwa kehadirannya sebagai bayi mempunyai alasan, bahwa dalam dirinya sang Demong Pagong memilki sikap dasar. Pertama; Sang Demong Pagong menyadari tempat dimana ia harus hadir adalah wilayah baru, dengan kosmologi serba baru. Maka yang dibutuhkan adalah adaptasi dan penerimaan untuk menjadi bagian dari keteraturan/kosmos yang ada. Kehadiran itu membutuhkan restu, kehadiran membutukan pengakuan tidak hanya terbatas pada manusia tetapi oleh keseluruhan ekosistem dan komunitas yang ada. Kedua; Bahwa untuk dapat diterima ia harus menyatu, menjadi bagian dari semesta, tanah adalah dirinya, tanah adalah hidupnya, tanah adalah segalanya bagi Sang demong Pagong. Tanah memberikan ia jadi diri, wato tonu mengukir karakternya dan tonuwuyo menjadikannya sebagai pemimpin. Ketiga ; Kehadirannya dari tanah menunjukan sang Demong Pagong adalah tanah ihike'ng, tanah ataha'ng, ana'ak nimun, matik sare. Sang Demong Pagong bukan populasi tena mao Keempat; Demong Pagong yang hadir di Tanah Beto adalah koting bala pukeng, bahwa ia adalah pemimpin. Menjadi pemimpin harus mendapatkan legitimasi, yang tidak hanya terbatas dari manusia tetapi dari alam semesta. Tanah dimana ia hadir mengenalnya, Kekuatan tanah menunjuknya, kedasyatan alam mendukungnya dan kedigdayaan semesta merestuinya menjadi pemimpin.

Penutup
Membuka tabir misteri kehadiran Gresiktuli adalah bagian yang tidak muda bagi anak generasi sekarang ini. Analisa lingguistik dan tafsir hermeneutik, melalui permenungan dan meditasi tetap saja meninggalkan misteri. Jangankan anak kontemporer hari ini, Ema Bota Bewa dan Bapak Nuho Rehingpun sampai pada hajat dikandung badan, tetap tidak mengenalnya secara utuh. Cukuplah kita mengenalnya sebagaiman ia telah memperkenalkan diri........sehingga dari keabadian alam baka, ia boleh tersenyum........
" bilarlah selimut misteriku tetap menjadi misteri, karena hidup itu sendiri adalah misteri.....

Mungkin menjadi lebih arif..... mari kita semua serahkan kepada Sang Pengatur...
cukuplah kita berserah pada Yang Kuasa dan memohon..............

eltada predonador los mas hermesos, nombres de Allah...

Salam Marsel Sani Kelen ................... Jakarta.

















Senin, 22 Juni 2009

SEJARAH LEWOINGU ADALAH SEJARAH BOLI

Tulisan yang berjudul Sejarah Lewoingu Adalah Sejarah Boli ini sengaja saya masukan untuk memberikan ketegasan dalam memisahkan periode dan tahapan tahapan sejarah yang benar benar memiliki dasar dan akar sejarah yang kuat. Tahapan ini menjadi penting karena Boli sebagai salah satu pribadi dalam fase sejarah Lewoingu menciptakan moment penting dengan memprakarsai bangunan lewoingu yang kita kenal dengan Dungbata. Saya harus memisahkan tahapan Boli dari orangtuanya Sani atau juga kakeknya Gresiktuli agar fokus pembicaraan kita tentang sejarah Lewoingu menjadi lebih jelas dan terinci. Apalagi Dungbata sebagai Koke Aring dibangun jauh sesudah adanya Kake Kakang Lewolein dan Doweng one'ng. Khalayak pembaca terutama anak generasi Lewoingu merasa kaget, karena tulisan ini dianggap tendesius, silakan ( mari kita diskusi atau kita perdebatkan), tapi saya harus menyampaikan ini supaya dalam proses penelusuran sejarah Lewoingu memiliki dasar pijakan jelas, dengan fakta sejarah yang aktual dan terpercaya.

Gresiktuli memang kakek Boli, bahkan secara genetis Boli mewariskan kekuatan luar biasa dari kakeknya, tapi Gresiktuli bukan orang yang bertindak langsung untuk mengkonstruksikan bangunan sosial yang namanya Lewoingu. Bahwa tokoh Gresiktuli menjadi begitu fenomenal itu ...ya. Bahwa ia bersama dengan ketiga anaknya membangun Koke Kakang Dungtana dengan pembagian fungsi dan peran itu jelas dan pasti. Bahwa Gresiktuli adalah orangtua Sani dan kakek dari Boli yang berarti ada mata rantai dari semua proses konstruksi sosial adalah benar dan tidak dapat disangkal. Tapi ketika kita ingin membuka tabir sejarah Lewoingu, maka fase Gresiktuli menjadi modal, untuk meletakan siapa anak cucu Gresiktuli yang lebih berperan yang dalam perjalanan hidupnya dan menjadi figur utama dalam menentukan perjalanan sejarah Lewoingu. Ini menjadi penting, karena dalam nukilan sejarah pada diding Eputobi net, nama Boli tidak disinggung atau mungkin dianggap tidak ada, maka dalam forum ini saya harus mengatakan, bahwa itu merupakan bentuk manipulasi publik terhadap sejarah lewotanah.

Dalam tahapan tahapan sejarah inilah saya menempatkan Boli sebagai salah satu tokoh penting dalam meletakakan foundasi bangunan sosial yang kita kenal dengan Lewoingu. Lalu siapa itu Boli ?, Apa peran yang ia lakukan ? Mengapa Boli menjadi orang penting dalam sejarah Lewoingu, apalagi sejarah Boli menjadi titik awal sejarah Lewoingu ? Barangkali ini pertanyaan yang menggugah kita untuk masuk dalam proses penelusuran sejarah lebih lanjut.

Ketika Sani anak Gresituli bertumbuh menjadi besar, menjadi keropong mamung, ada masalah yang melanda keluarga besar Gresiktuli, masalah itu dalam nenek moyang mengistilahkan dengan dengan sangat halus Nuhung teme tewong , alo boleng boto. Fenomena ini telah menyebabkan konflik horisontal yang menyebabkan kelompok Metinara kopong todo meninggalkan kampung halamannya di ile hingang, Kepergian kelompok Metinara ini tidak hanya pribadi fisik tetapi segala ike'e kwaka yakni dengan membawa Ile hingang leting boleng woka pepag ado girek. Kekosongan di Ile hingang dengan istilah nenek moyang /orangtua , Ile hingang tawa kese' gere lere' ka kae harus diselamatkan, maka ada amanah dari Gresiktuli kepada anaknya Sani dengan pesan Mo rae tobo, tobo rae tibang tukang abo maang one nai, koda maang wanang nai, tutu maang oneke tou. Amanah dilaksanakan oleh Sani yang ketika itu masih keropong mamung. Ada dua tugas yang harus diembang oleh sani anak Gresiktuli ini, yakni Uluwai mati sela dan pota ile hone woka, tugas ini bermakna sebagai memberikan kenyamanan, ketenangan, glete gluo, untuk kondisi yang pada saat itu agak mencengankan.Sani harus mengusai medan yang ditinggalkan Metinara, penguasaan ini juga menyangkut menguasai dan memadamkan kekuatan kekuatan Metinara yang tertinggal supaya tidak menimbulkan konflik berkepanjangan, inilah tugas yang disebut pota ile hone woka. Konsewensi dari amanah ini mengharuskan Sani untuk mendirikan rumah sebagai tempat ia menetap, tempat ia melakukan berbagai rencana dan strategi. Sani mendirikan rumah, dan rumah itu kemudian dikenal dengan sebutan Lango Limpati.

Prahara yang menimpa kelurga Gresiktuli karena perilaku Metinara harus diselamatkan, maka Sani atas saran orangtuanya menikahi keponakannya sendiri yaitu Kene, anak Doweng. Perkawinan inset atau perkawinan dalam keluarga bukan kerena pilihan tetapi karena sebuah bentuk tanggunjawab Sani untuk menyelamatkan keluarga Besar Gresiktuli saat itu. Hasil perkawinan Sani dan Kene melahirkan Boli. Dirumah Sani, Lango Limpati tinggalah bersama Sani dan istrinya Kene dan anak mereka Raga dan Boli, sehingga sampai dengan detik ini Lango Limpati ada dong rua, Raga menguasai bagian belakang berhadapan dengan lango Lewolein dan Doweng oneng dan Boli menguasai bagian depan menghadap pintu atau Mada ( mada bele'eng dan mada kene'eng). Disinilah substansi dari Limpati dang pukeng gawe rage kenawe matang. Dari isi mantra ini menjelaskan Pertama, Lango Limpati menjadi dasar/ foundasi ketika kita harus melangkah lebih jauh untuk berbicara tentang Dungbata Lewoingu. Kedua Lango Limpati menjadi pintu masuk, ketika kita ingin mengenal sejarah Dungbata Lewoingu. Ketiga Limpati menjadi sumber informasi dan berbagai kebijakan. Keempat Limpati dang pukeng dan kenawe matang adalah hak Boli.

Fenomena sejarah Ile hingang tawa keseka' gere lereka' kae membuat kekuatiran beberapa suku yang pada saat itu yang tinggal bersama dengan keturunan Gresiktuli, sehingga ada keinginan untuk kembali keriang, ketempat asalnya masing masing. Kondisi ini membuat Sani harus mengambil sikap arif untuk menyelamatkan lewotanah, tetapi fakta Sani tidak cukup kuat untuk mengambil peran ini, maka ia memberikan kewenangan itu pada Boli sebagai anak kandungnya; Mo Boli, mo ana' nimun mo tanah ihikeng, korokeng ma'ang bele, limang ma'an blaha, abo maang oneke tou, koda maang wanang nai. Pesan ini diberikan kepada Boli karena Figur Boli memiliki kekuatan warisan dari Gresiktuli Iku hege lema'ng ba'a, sing detang dading gai secara sempurna. Arah dan orientasi pesan ini adalah untuk melanjutkan pesan Gresiktuli Pota ile hone woka. Amanah besar ini wajib untuk dilanjutkan Boli, maka Boli bertindak arif untuk membangun kebersamaan Sewe nuki'i tukaa' lua habang elu, abo'o riang hode koda, demi pota ile hone woka. Boli mengajak suku suku yang tinggal disekitarnya, wungung kwen, lamatukang, sogemakin, kumanireng dll, untuk membangun rumah besar, Koke Dungbata sebagai rumah bersama, dengan tugas dan tanggunjawab masing masing. Maka kemudian dibangunlah koke aring yang dikenal dengan nama Dungbata, yang pada awalnya hanya terdiri dari 6 tiang, karena kelompok Metinara belum dipanggil dan belum datang. Kedatangan kelompok Metinara baru pada fase berikutnya yaitu pada fase Meko (anak Duru, cucu pertama Boli). Meko cucu Boli ini bertindak arif dengan melanjutkan peran uluwai mati sela, me nerima kembali kelompok Metinara yang di Lewokung dipanggil pulang oleh Wungung Kwen dan dari Lewomuda dipanggil pulang oleh Kumanireng. Karena Boli adalah pemilik Limpati dang pukeng gawe rage kenawe matang, maka Boli menjadi pemilik atas tiang utama ( rie limang wanang) sampai dengan saat ini. Ada beberapa kesimpulan yang perlu dicermati : Pertama Boli adalah inspirator yang merencanakan dan membangun koke Dungbata. Kedua Pembagian peran suku atas rie, berdasarkan hasil musyawarah, dan pemimpinan musyawarah adalah Boli. Ketiga Boli sebagai pemegang rie lemang wanang pada koke Dungbata menunjukan bahwa Boli adalah figur utama/ pokok dalam sejarah lewoingu. Keempat; untuk menelusuri sejarah Lewoingu maka sejarah Boli menjadi dasar pijakan dalam penelusuran tersebut.

Sejarah Boli adalah dasar sejarah Lewoingu, oleh karena itu sejarah Boli menjadi indikator bagi kebenaran dalam penulisan sejarah tersebut. Penulisan sejarah lewoingu yang meninggalkan peran Boli adalah kemunafikan, kebohongan dan manipulasi. Sangat beresiko bila kita ingin melakukan berbagai kebohongan, karena reaksi sekecil apapun dari anak turunan Boli akan membawa akibat pada penderitaan bahkan kematian dan itu bisa saja terjadi hari ini atau kapan saja. Tetapi bila masih ada yang tetap memperdebatkan ini, maka mari kita diskusikan atau biar kebenaran itu menjadi nyata, maka mari..... kita duduk di Lango Limpati atau sekalian diatas kuburan Sang Boli kita mengambil sumpah.

Go pukeng ataha'ang
Go tana ihike'ng
Go pohe paga iku garang
Go peheng goeng lima'a ba'a
Go rekung goeng sing getang
Pramun goeng dading gai
Go supik aleng hodek koten
Demong go usu asa
Pagong go reng gama
Go rehing ata, ata sama rehing go halak.

Sira Demong Pagong Molang...... Go Gresiktuli Keropong Ema

.........Kalau mau coba ...... mari berhadapan dengan saya.... Go Boli.....

Salam............................................................................... Dari jakarta.

Kalau tidak ada halangan maka ada dua artikel yang akan menyusul :
1. Sejarah Pemegang Rie rie Koke Dungbata
2. Mengapa Dungbata dirangkai dalam padanan lengkap Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali













Sabtu, 20 Juni 2009

DUNGBATA JATIDIRIKU YANG TERABAIKAN

Bukanlah sikap pesimistis dan wujud kepasrahan saya, ketika meletakan kalimat ini sebagai judul bagi khalayak pembaca, tapi sebaliknya dalam hati saya ada dendam optimis yang luar biasa untuk mengantar refleksi anak generasi Lewoingu menuju perdamaian. Terutama meletakan hirarki, pola dan orientasi berpikir pada bingkai kehidupan lewotanah yang tentaram, lewotanah yang damai, lewotanah yang lohjinawi. Hirarki pemikiran untuk menempatkan eksistensi Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali tempo dulu, dan seharusnya hari ini sebagai kelompok masyarakat yang bermartabat, memiliki jati diri yang jelas, arif- bijak- cerdik dan pandai.

Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali adalah "kontrak sosial". Kontrak sosial yang dibangun dan diberi nama super heroik karena bermula dari hasil perjuangan. Berjuang untuk menempatkan diri sebagai kelompok masyarakat dengan jati diri, dengan keluhuran martabat ditengah kelompok kanibalis Paji dengan segala sekutunya. Dengan perjuangan dan sumpah (baya) mereka mengorbankan diri untuk mewujudkan sebuah cita cita bagi negeri impian "Dungbata". Apakah nilai dan spirit yang melandasi perjuangan tokoh-tokoh sebut saja Gresituli, Dalu (Doweng) Sedu, Sani, Boli, Werong Hegong dll. Pertama, Kemerdekaan adalah hak segala umat manusia. Maka kemerdekaan itu harus diperjuangkan, kebebasan itu harus dimiliki karena dari hak dasar inilah setiap insan manusia tanpa rasa takut melakukan berbagai aktifitas. Perjuangan untuk melepaskan diri dari kelompok masyarakat Paji yang tidak berperikemanusiaan. Kedua, Unity /kebersamaan. Bahwa demi kemerdekaan itu diperlukan kebersamaan, diperlukan kekuatan yang lebih besar. Berbagai sikap primordial, bingkai bingkai dan sekat kelompok (riang) ditinggalkan. Disanalah semangat demokrasi mereka letakan, dengan pola diferensiasi fungsi dan peran yang jelas dalam tatanan adat dan budaya. Hak dan kewajiban terhadap newa nura belohowe, edeng elang begitu tertata rapi, pola hubungan sosial, kakang aring dihormati dan dihargai. Ketiga, Religius dan berperikemanusiaan. Dunia lerawulang tanah ekang dalam setiap mantra lewotanah menjadi wujud rasa ketergantungan itu. Kesadaran akan adanya kekuatan super natural yang melampaui batas kemampuan, bahwa oleh karenanya segala proses usaha dan keberhasilan hanya berkat yang kuasa. Segala usaha dan jeripaya adalah aktifitas manusiawi untuk menggapai harapan tetapi segala proses dan hasil akhir diserahkan pada kehendak Sang Pengatur. Keempat, Keadilan, the people of dream masyarakat Dungbata adalah masyarakat yang berkeadilan. Masyarakat yang memiliki visi, cita cita dan harapan, harapan. Keadilan untuk memberi dan menerima apa yang menjadi hak bagi setiap pribadi, kelompok suku yang mendiami lewotanah. Demi keadilan itulah maka ada pembagian tugas dan peran, demi keadilan segala batas kewenangan dipastikan. Keadilan menjadi foundasi bagi perdamaian, ketenangan, ketentraman.

Ternyata spirit perjuangan itu telah memberikan jawaban bahwa para penggagas dan pendiri Dungbata memiliki keluhuran martabat, hatinurani, karena Dungbata tempo dulu sangat religius, menghormati kebebasan, menghormati kebersamaan dan demokrasi, menghormati keadilan dan perdamaian. Kita termangu, ternyata nenek moyang kita jauh lebih pinter, lebih bermartabat dan punya jati diri. Nenek moyang kita memiliki akal, budi dan nurani. Dari sinilah, generasi kontemporer Dungbata harus belajar, belajar untuk menemukan jati diri yang terabaikan bahkan hilang, sehingga dari keagungan paradiso surga, mereka boleh seyum bahagia, karena mereka tidak sia sia.

Kembali pada konflik di lewotanah, saya kira sudah saatnya kita menempatkan diri dengan aim (tujuan) jati diri dan chamistry pada bingkai yang sesungguhnya. Artinya kita berkonsentrasi pada pilihan tujuan bahwa konflik itu harus diselesaikan, disana... ditempat.... darah dan air mata tercurah...... harus ada perdamaian. Kita mulai untuk meninggalkan krikil krikil tajam yang kita ciptakan melalui tulisan untuk mempetahankan status quo konflik. Sikap dan cara pandang yang subyektif adalah sisi lain dari konflik yang sama. Sadar atau tidak, kita telah terprovokasi untuk menjadi pendukung dari polarisasi yang ada. Tanpa sadar energi kita terbuang sia-sia. Bahwa kebebasan adalah hak mutlak untuk menyampaikan pendapat, ide, gagasan dan harapan, tapi lebih bermartabat bila ide dan gagasan itu membawa khalayak pembaca terutama anak gerasi lewoingu masuk dalam nuansa penuh damai dan ketenangan.

Seruan para imam anak lewotanah, harus terus kita kumandangkan sehingga bergema dan menyentuh nurani. Pelita perdamaian itu terus kita jaga, biar menjadi obor yang mampu menerangi kehidupan lewotanah yang samar samar. Seruan itu seharusnya menjadi modal bagi kita untuk bersama mencari payung hukum yang berkeadilan. Payung hukum yang memberikan keadilan kepada kepada keluarga, terutama istri dan anak anak yang ditinggalkan. Payung hukum yang memberikan keadilan kepada keluarga, yang kepada mereka telah dituduh, ditahan, dan debebaskan karena alasan demi hukum. Disinilah tugas kita anak rantau untuk mencari solusi. Tawaran nong tuan Nard hayon ( maaf narang lengkap nong tuan go koi hala) untuk membentuk tim kebenaran dan keadilan perlu kita tindaklanjuti. Bahwa karena polarisasi yang begitu besar dan tim yang terbentuk harus memiliki tingkat legitimasi, maka perlu ada tangan lain yang terlibat. Maka berikut ini saya menawarkan beberapa pihak yang harus dilibatkan dalam tim tsb. Pertama; Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur. Dasar pertimbangan bahwa pemerintah memiliki tugas dan kewajiban untuk menciptakan dan memberikan keadilan bagi semua warga masyarakat. Pemerintah wajib memberikan perlindungan agar tidak terjadi pelanggaran atas hak setiap orang. Pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan publik sehingga ada kehidupan yang survive, tenang dan menyenangkan. Kedua; Polres Kabupaten Flores Timur; Bahwa kematian sdr Yoakim Maran, dengan melibatkan sdr Mikael Torang kelen selaku Kades bersama kelompoknya sebagai tertuduh dan ditahan, kemudian kemudian dibebaskan karena pertimbangan hukum yakni fakta dan dasar pembuktian tidak memenuhi logika hukum, seharus dipertanggujawbkan oleh pihak kepolisian. Kepolisian harus menjelaskan dasar dan proses hukum mulai mengapa pihak itu ditangkap, ditahan sampai akhirnya dibebaskan demi hukum. Ketiga; Gereja, Keuskupan Larantuka yang dianggap netral dan mempunyai kewibawaan Imamat. Tiga kelompok ini menjadi tim penegak kebenaran dan keadilan. Selain itu ada perwakilan yang terdiri dari para pemangku adat, suku suku rie matang, anak generasi Lewoingu yang dianggap netral. Setidaknya tim ini melahirkan memorandum sebagai tonggak awal bagaimana rekonsiliasi kita mulai, teknis pelaksanaan diserahkan pada bidang masing masing. Artinya menyangkut aspek hukum diselesaikan secara hukum, kalau behubungan dengan adat harus diselesaikan melalui proses adat. Saya kira perlu kita memulainya............................

Saya sadar melibatkan pihak lain dalam penyelesaian konflik di lewotanah hanya sebuah pola. Inti dari harapan perdamaian di lewotanah ada dalam pikiran dan hati, didukung oleh adanya kemauan untuk menyaksikan perdamaian itu atau tidak sama sekali. Janganlah seruan perdamaian itu menjadi redup karena kita membiarkan angin kecurigaan dan gelombang isu menerpanya. Jangan kita tergoda olehnya, karena isu dan kecurigaan itu lahir - besar dan pergi diantara gelap dan terang, 'mereka' adalah populasi abu abu, karena itulah dunianya. Saya yakin bahwa anak generasi Lewoingu adalah anak yang memiliki keluhuran martabat dan jati diri karena dalam hati mereka ada kebebasan, kebersamaan, keadilan, kedamaian.

Bolehlah semboyang ana' titeng Zeferinus Lewoema menjadi pegangan kita semua " Kalungkan kepercayaan dilehermu, selimutkanlah kasih dalam hatimu, lembutkanlah hatimu bagaikan kapas yang didalamnya penuh dengan kata maaf dan memaafkan.........



Jeritan anak rantau yang rindu akan perdamaian.....
Salam............................................................
Kota bumi 11 Jakarta Pusat.












Jangan kita biarkan konflik itu mengalam penyebaran difus / pembiasan yang tak arahnya.









Minggu, 14 Juni 2009

BUKANKANH KITA ORANG BERPENDIDIKAN.......? Sebuah Refleksi Untuk Orang Eputobi Yang Mengaku Berpendidikan

Membaca semua tulisan baik di Eputobi net atau blog anak Lewoingu terutama tentang penanganan konflik lewotanah dll, ada kekeliruan untuk menempatkan diri sebagai kaum itelektual yang punya akal dan kahrisma untuk menyelesaikan konflik itu. Bahkan secara kasat mata, kelompok intelektual bertindak sebagai 'pelaku' (maaf) konflik yang dengan caranya sendiri membangun propaganda dan image melalui berbagai tulisan dan analisa. Membaca semua tulisan itu saya sering bertanya dalam hati dimana letak kedewasaan intelektual yang mereka dewakan selama ini. Bahwa secara emosional ada pertalian dan hubungan darah yang mengikat sang penulis untuk mengapresiasi segala beban emosi yang ada pada dirinya, itu normal dan manusiawi. Tetapi ketika kaum intelektual membuat analisa dengan dasar pijakan dangkal sehingga melahirkan polarisasi dalam kelompok masyarakat; ada kelompok Jawa Barat...ada kelompok Jawa Timur..... dan ada kelompok Jalur Gasa, bahkan dengan sterotipe sebagai masyarakat beradab dan masyarakat tidak beradab, itu sangat keterlaluan.........

Dalam tulisan tulisan terdahulu, saya sempat menggunakan itu, tetapi sesungguhnya dalam hati ,saya menolak istilah itu sebagai sebuah fenomena di lewotanah yang kita cintai. Saya sangat tidak yakin, istilah blok Jawa Barat.... Jawa Timur... dan Jalur Gasa, itu lahir dari masyarakat Eputobi yang di lewotanah. Sadar atau tidak, bahwa pengelompokan masyarakat semacam itu telah melanggengkan konflik yang ada. Kaum intelektual ini, telah membangun sebuah foundasi konflik yang begitu kuat. Generalisasi masalah dan sterotipe atas kelompok masyarakat di lewotanah menimbulkan kesan kuat, bahwa konflik itu berkembang dan dilanggengkan karena ulah kita kelompok anak lewoingu yang mengatakan diri sebagai kaum intelektual. Atau apa memang itu yang kita harapkan....?

Saya membuat analisa ini bukan karena saya mau mengajar saudara saudara kaum intelektual..... sekali lagi tidak ada niatan seperti itu, tapi lebih sebagai sebuah panggilan nurani untuk mengajak kita semua untuk mencari jalan terbaik bagi penyelesaian fenomena konflik di lewotanah.

Kemarin setelah keluar dari kantor, saya mampir ke tokoh buku Gramedia di Citra land Jakarta Barat untuk mencari buku buku, barangkali ada yang baru. Setelah bolak balik mencari ,saya menemukan satu buku karangan AndrewLeigh dengan judul 'Kharisma Effect'. Semalaman saya membaca buku itu dan saya berpikir adalah sebuah keberuntungan kalau buku ini menjadi sebuah dasar refleksi kita. Bagi Andrew Leigh ada tiga domain penting untuk membangun sebuah kharisma dalam diri seseorang, antara lain: Tujuan ( aim) Jati diri ( be your self) dan chemistry. Menurutnya ketika ketiga domain ini dipadukan dengan baik akan sangat mempengaruhi pribadi seseorang. Memadukan ketiga unsur itu memberikan pengaruh dan kewibawaan, memberikan kesan kuat tentang emosi, fisik, intelektual, sikap dan perilaku seseorang. Komunikasi yang baik menjamin tujuan komunikasi lebih efektif. Kejelasan tentang tujuan adalah hal mendasar yang harus dibangun dari awal. Tujuan menjadi mudah dicapai manakala didukung oleh be your self/ jati diri atau tujuan awal menyatu dengan tindak tanduk kita. Maka secara alamiah mempercepat gerak gerik kita untuk mencapai suatu tujuan. Semuanya akan menjadi lengkap kalau kita secara tulus memberikan perhatian dengan rasa emphaty yang tinggi.

Lalu dimana korelasi kaum intelektual eputobi harus menempatkan diri dalam refleksi ini sehingga bisa terlibat secara intelektual dengan aim, be your self dan chemistry yang dimiliki agar benar benar dianggap sebagai intelektual yang dewasa dan dapat dipertanggunjawabkan kemampuan intelektualnya. Persoalan sekarang adalah seberapa jauh kita ingin terlibat dalam menyelesaikan masalah kita di lewotanah. Apakah kita berniat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi atau akan terus bertindak sebagai agen dari perjalanan konflik ini.

Bila kita semua sepakat untuk menyelesaikan konflik ini, maka kita telah meletakan aim, bahwa konflik itu harus kita selesaikan. Kemudian apa yang menjadi tugas kita selanjutnya, seperti apa kita dan bagaimana kita menempatkan jati diri kita (be your self) ? seperti apa tingkat perhatian dan ketulusan ( chamistry) kita dalam persoalan ini ? Niat luhur yang kita punyai akan secara efektif dan mudah kita raih, bilamana kita benar menempatkan pola pikir, pola sikap demi tujuan dimaksud. Itu berarti kita mulai terlibat lebih dewasa untuk menempatkan berbagai persoalan secara proporsional. Berpikir dan berbicara secara tepat untuk menempatkan setiap kasus sebagai masalah pribadi, masalah kelompok atau masalah hukum adat, masalah hukum positif. Menguraikan setiap masalah untuk menemukan akar masalah, konstalasi dan eskalasi dari masalah yang ada, berbagai dampak sosial yang terjadi dan mungkin akan terjadi, sehingga pilihan solusi memiliki tingkat akurasi yang memadai dan efektif. Supaya bisa diakui sebagai ' etedikeng sekolaha'ng' maka posisi kita menempatkan diri, posisi dimana kita harus berada menjadi sangat penting. Itu artinya etedikeng selolaha'ng sadar akan medan dimana ia melakukan apresiasi dan kolaborasi intelektualnya. Memberikan analisa dan pendapat hukum tentang sebuah proses hukum adalah wajar, menjadi tidak wajar kalau apresiasi berisikan hukuman sosial dengan berbagai penghinaan dan fitnah, karena itu bukan ranah intelektualnya. Itu lebih tepat sebagai pelacuran intelektual. Kecurigaan terhadap seseorang itu normal tapi baru menjadi premis awal, diperlukan berbagai premis lanjutan sehingga dapat menjadi data awal. Bagaimana data awal ini berkembang menjadi sebuah data hukum dan memenuhi logika hukum itu baru medan 'etedikeng sekolaha'ng', disinilah letak be your self.

Menyangkut chamistry yakni perhatian dan ketulusan kita untuk terlibat dalam penyelesaian konflik di lewotanah, bukan dinilai dari kwantitas atau berapa banyak kita mempublikasikan semua aktifitas dengan melakukan monitoring pejalanan hidup orang yang dianggap sebagai pelaku kejahatan. Memonitor perjalan hidup mereka perlu, tapi masih ada tindakan yang jauh lebih penting untuk menyelesaikan kasus hukum yang ada.
Keteguhan hati dan kebulatan tekad untuk membawa berbagai bentuk pelanggaran hukum positif sampai pada penyelesaian hukum secara defenitif adalah wajib. Membela kebenaran dan mencari keadilan hukum adalah tugas kita semua. Menjadi sangat absurd ketika fokus perhatian, tertuju hanya kepada pihak yang dicurigai selama ini, tetapi dipihak lain logika hukum belum menempatkan mereka sebagai terdakwa atau sebagai pelaku pembunuhan. Kita semua terjebak untuk turut menghukum atau menjadi pembela, terjadilah polarisasi.

Chamistry pribadi yang disebut 'etedikeng sekolah'ang' harus berada diluar bahkan diatas polarisasi itu. Ia harus mampu menganalisa dan membaca berbagai fenomena yang ada. Dalam ranah intelektualnya, ia menarik kasus konflik ini pada titik awal, membaca serpihan serpihan yang merekam jejak konflik. Merangkai serpihan itu menjadi sebuah cermin sehingga khalayak bisa melihat siapa wajah wajah yang menjadi biang kerok selama ini. Merangkai serpihan serpihan ini bukan berarti memindahkan kasus, menuduh atau fitnah atau melemparkan persoalan pada orang lain ( meminjam istilah Bp. Kornelis Kelen ; mencari kambing hitam) tentu saja tidak, tapi kita lebih terbuka dan leluasa untuk membaca berbagai fenomena yang ada. Mengapa saya harus mengatakan seperti itu karena polarisasi yang terjadi di lewotanah sudah begitu para, sehingga orang tidak lagi mampu melihat secara jernih adil dan berimbang. Melihat masalah, secara hitam atau putih, bahkan tidak lagi mampu melihat dan membedakan mana benar dan mana yang salah, melihat setan sebagai benar benar setan dan malaikat sebagai benar benar malaekat.

Saya kira kita semua sadar, bahwa setiap orang, tidak hanya berhak untuk hidup, tetapi juga berhak untuk hidup lebih tenang, berhak untuk hidup secara lebih tentram. Menghilangkan hidup seseorang adalah kejahatan kemanusiaan, tetapi mempengaruhi publik dengan membuat citra negatif kepada orang lain sebagai penjahat, pembunuh, kelompok masyarakat biadab, juga adalah kejahatan kemanusiaan. Saya kira sudah saatnya 'etedikeng sekolaha'ng' harus mulai menyadari tugas dan tanggunjawabnya, melihat dan mengalisa konflik dari perspektif yang lebih dewasa dan lebih arif. Saya bukan pribadi yang arif, tetapi belajar menjadi lebih arif adalah hal baik. Dari ketidaktahuan kita belajar untuk percaya, dari keyakinan kita belajar untuk terus berharap. Semoga aim, be your self dan chamistry, kita jadikan foundasi bagi harapan akan sebuah perdamaian itu.

Salam ........................

























Sabtu, 13 Juni 2009

TANGGAPAN UNTUK SEBUAH REKONSILIASI

Rekonsiliasi atau sebuah 'perdamaian' itu luhur, karena damai itu indah, damai itu menyenangkandan damai itu adalah harapan dari keutuhan dan kesempurnaan hidup. Tapi untuk mendapatkan fenomena perdamaian yang sejati seperti itu, akan sangat sulit ketika kita dihadapkan pada konflik di kampung halaman. Untuk menemukan sebuah rekonsiliasi maka input--- konversi-- output dari sebuah konflik harus jelas. Maka ada benarnya kalau Saudara Rafael Raga Maran menyampaikan syarat dari sebuah perdamaian itu. Tapi ketika satu persatu isi syarat itu dibacakan, maka harapan perdamaian itu menjadi utopia/harapan semu.

Berikut ini saya ingin menganalisa duduk persoalan masalah konflik di lewotanah.
Dari dulu ketika bapak saya masih jadi kepala kampung di Eputobi istilah pro-kontra sudah ada. Istilah itu berkebang terus sampai kematian saudara Yoakim Gresituli Maran dan muncul istilah baru Jawa Timur -Jawa Barat dan Jalur Gasa, jadi jangan dikira bahwa beni beni konflik itu baru muncul. Kalau dulu pola yang dipakai adalah merekayasa sejarah tentang newa nura sehingga banyak newa nura dari suku kelen yang diambil oleh pihak pihak tertentu (saya tahu betul newa yang mana). Pola yang berikut adalah dengan menjadi sutradara dalam sandiwara tentang peran adat lewotanah, dan ternyata juga berhasil. Terjadilah konflik newa nura dan hak belo howe antara Kumanireng dan Lamatukan disatu pihak, Ata maran dan Lewolein dipihak lain. Pola selanjutnya adalah menghilangkan hidup anak turunan Lango Limpati ( Yoakim Gresiktuli Maran) dan proses rekayasa selanjutnya adalah anak turunan Lango Limpati diadu dengan dituduh dan didakwanya saudara Mikael Torang Kelen dan kelompoknya sebagai pelaku. Vonis belum juga jatuh tapi sangsi sosial yang diterima sudah sangat luar biasa. Mereka ibarat mayat yang hidup, karena kampanye negatif terus disuarakan, mereka adalah penjahat, pembunuh dan sekian ribu istilah yang dianggap pantas. Dalam internal suku Kebele'ng kelen menjadi sangat dilematis, disini keleuarga , disanapun juga keluarga karena sama sama lahir dari rahim Lango Limpati. Yang terjadi kemudian adalah muncul pilihan pilihan pribadi untuk menjadi bagian dari salah satu blok. Saya yang jauh di rantau dan yang lahir dari rahim Lango Limpati bersyukur, kerana dengan begitu ruh dan spirit dari rumah kami Lango Limpati tidak luntur.
Pola lain yang mulai dilakukan adalah upaya penelusuran sejarah yang serta merta tidak mengajak suku suku yang berkompeten untuk terlibat dalam proses penelusuran sejarah itu.

Dari tahapan rekayasa ini saya berkesimpulan bahwa di lewotanah Eputobi ada politikus politikus murahan yang mencoba untuk melakukan rekayasa dengan tujuan
1. Menghilangkan dominasi kebele'ng dalam perang adat.
2. Menghancurkan trah Gresiktuli terutama dari anak turunan Lango Limpati.

Menjadi persoalan, kapan konflik yang ada bisa didamaikan ? dari mana dan bagaimana proses perdamaian itu kita mulai, ini menjadi harapan penting bagi kita semua anak Lewoingu.
Langkah pertama adalah: tite lango tou, tite koda taan paong-paong, tutu taan lere-lere. Dari lango Limpati kita bangunkan ruh dan sprit 'uluwai mati sela' kita perkuat semangat itu. Masih ada Besa Gena Maran dan bapak besa dari Ata Maran. Dari suku Kebele'ng Kelen ada Bapa Dominikus Deweng Kelen, ada Bapa Ignasius Kelen dll , kita masih bisa duduk bersama. Paji dengan segala kekuatan hitam bisa kita dihancurkan, masa'a persolanan kita, tidak bisa kita kendalikan. Jangan sampai orang lain mengatakan 'Kebeleng apa' 'Kebele'ng sontoloyo'. Mana ruh Gresituli'nya.............. ? mana ruh Sani'nya............... ? kalau memang ada kecurigaan terhadap saudara kita yang dianggap ' penjahat' untuk sementara kita posisikan dia sebagai kelompok 'outsiders' sambil menunggu proses hukum yang terus berjalan. Kalau perlu dihadapan semua anak turunan Lango Limpati kita angkat sumpah. Iku hege limang baa- Sing getang dading gai, tidak hanya berlaku untuk musuh luar, musuh didalampun akan musnah dengan sendirinya.

Menyangkut kematian saudara Yoakim Maran, yang dianggap sebagai tindakan pembunuhan maka menjadi wilayah hukum positif. Semua kita harus sadar bahwa segala bentuk tindakan kriminal adalah tindakan pidana dan jelas melawan hukum. Biarlah aparat hukum yang bertugas untuk mencari siapa pelaku yang sebenarnya. Tugas kita adalah perkuatlah bukti dan data, karena bukti dan data yang ada tidak memenuhi logika hukum. Ingat logika hukum berbicara tentang bukti dan fakta, sangat berbeda dengan persepsi dan analisa yang kita bangun.
Kita semua turut bersyukur bila pembunuhnya ditangkap dan dijebloskan dalam penjara, apalagi orang yang dicurigai selama ini adalah pelaku, karena mereka tidak hanya sebagai pelaku pembunuhan tetapi juga telah melakukan kebohongan publik selama ini.

Persoalan lain, ketika akhir dari semua proses hukum ini dilaksanakan oleh pihak penegak hukum dan ternyata bukan pihak yang dituduh selama ini, beranikah kita untuk mempertanggunjawabkan segala tuduhan, fitnahan, penghinaan, dan berbagai hukuman sosial,
yang terlanjur kita ciptakan. ...................
Angin yang meniup kencang pada layar tanpa ada kendali buritan .......... kemana haluan akan kita tuju ...................? kalau tidak tenggelam lalu apa kemungkinan lain ........ ?

Semua masalah ini akan menjadi tentram kalau kita kembali ke Lango Limpati. Tutu maring taang paong paong, koda khiring taang lere lere.


Salam ..........Marsel Sani Kelen ...................Kota Bumi 11 Jakarta Pusat





















Hari hari yang melelahkan

Sudah dua hari ini saya tidak pulang ke rumah saya di Tangerang, pekerjaan yang banyak menyita waktu, tenaga dan pikiran membuat saya tidak pulang untuk menengok keluarga. Selama dua hari ini saya harus menginap di Kantor DPP Hanura di jalan Kota Bumi No 11 Jakarta Pusat. Menjadi Tim Sukses pasangan IK Wiranto pada devisi Penggalangan Relawan Tingkat Nasional mengharuskan saya untuk terlibat lebih jauh melakukan berbagai analisa mulai dengan melakukan mapping, mengola data dan secara terus menerus harus berhadapan dengan komputer untuk mengetahui perkembangan politik dalam pilpres ini. Mengalanalisa kekuatan kekuatan politik diseluruh wilayah Indonesia, menganalisa semua data dari kelompok relawan, menyangkut kelompok basis ormas, siapa pihak yang harus dijadikan tokoh dalam proses penggalangan. dan berbagai kegiatan lain.

Kelelahan itu bisa diobati karena setiap hari, kami tim selalu melakukan diskusi, tentang berbagai strategi lanjutan. Sekali sekali saya menengok di dinding Eputobi net. barangkali ada kabar dari kampung, tapi kabar yang diterima hanya itu itu saja. Ketika saya membuka situs di internet, seorang sahabat saya merasa kagum, spontan beliau bertanya Eputobi itu dimana ? Saya menjelaskan secara detail dengan menelusuri situs Eputobi net, ia menganggugkan kepala. Spontan kawan itu mengatakan ...wah luar biasa ....... orang kampung, tapi modern....... orang kampung bapak canggih.............. berarti orang kampung bapak itu banyak orang pinter......... saya jawab yah !!!!! mungkin agak sombong tapi saya harus katakan seperti itu.

Mari semua saudaraku anak anak Eputobi, kita gunakan kepintaran/kepandaian itu untuk bangun lewotanah.................

Salam .......... Marsel Sani Kelen ......Kotabumi Jakarta Pusat




STATUS KEBELE'NG,Sebuah Refleksi Bagi Anak Suku Kebele'ng

Status kebele'ng yang ditempatkan didepan nama suku menunjukan sebuah perbedaan dengan suku suku yang lain. Fenomena kebele'ng lalu menjadi luar biasa ketika status itu diletakan pada tatanan adat dan budaya lewotanah. Istilah kebele'ng seringkali dimaknai sebagai pemegang kekuasaan adat dan budaya, hak atas newa nura, hak belohowe dll. Tapi bagi saya kebele'ng tidak terbatas pada hak hak sebagaimana disebut diatas. Makna kebele'ng lebih merupakan sebuah eksistensi dari tiga kekuasaan pokok yang tertanam dan dibentuk dari Lango Limpati, dan tiga kekuasaan itu menyangkut:

1. Uluwai Mati Sela
Uluwai Mati Sela merupakan sebuah hak dan kekuasaan untuk bertindak sebagai pembawa damai, pihak yang menjamin dan memberikan ketentraman bagi sebuah kehidupan di lewotanah. Dalam konteks ini pembawa uluwai mati sela adalah figur yang berwibawa, disegani dan dari seluruh nafas hidupnya beliau adalah figur yang patut ditiru.
Pada fase awal kehadiran Gresituli, hampir semua wilayah disekitar lewotanah dikuasai oleh Paji, yang memiliki kekuatan hitam, tidak ada ketenangan, tidak ada kedamaian karena Paji adalah kelompok masyarakat kanibal. Gresituli bersama anak cucunya, bersama sekutunya mengibarkan bendera peperangan. Perang yang dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan masyarakat damai dan tentram.
Pada fase berikutnya empat generasi sesudah Gresituli ( Gresituli -- Sani -- Boli--Dalu--Sani) yaitu Sani, Sani adalah cucu Boli yang pertama. Ketika kelompok Metinara dalam pembuangan( mengapa diusir .......? ada sejarahnya) ternyata sikap Sani yang memanggil pulang, untuk hidup bersama dilewotanah, memafafkan dan mengampuni mereka. Tidak haya hidup bersama tetapi juga diberikan kewenangan dan hak dalam status adat. Selama 5 generasi, peran adat dilakakukan oleh anak turunan Gresituli. Penerimaan dan pengampunan adalah tonggak baru yang menunjukan jiwa besar seorang pemimpin. Go korekeng bele limakeng blaha, abong aong gurung gawa.

Semua kekuatan suku dilewotanah tempo dulu sadar betul dengan kekuatan Gresituli dan turunannya. Tapi tidak ada setitik niatpun dari Gresituli dan anaknya untuk bersikap kasar dan menghancurkan suku yang lain. Suku suku yang tinggal tercerai berai dihimpun untuk menjadi kekuatan besar, hidup berdampingan secara damai, saling menghormati dan menghargai. Sewe nuki tuka lua gere ile lua watang, soga gahing koda gere ahi lewo.

2. Uluwai UluMado
Dari Lango Limpati ada hak Uluwai Ulu Mado, hak untuk berbicara dan memutuskan. Hak untuk menyampaikan segala sesuatu yang berhubungan dengan tatatertib dan aturan main dalam tatanan budaya lewotanah. Hak untuk mengambil berbagai keputusan penting menyangkut perang dan damai. Hak untuk memutuskan dan menetapkan tapal batas tanah terhadap setip pemegang hak newa nura. Yang pasti semua keputusan apaun tetap menjunjung tinggi nilai kebenaran dan keadilan.

3. Hak Dulipali dan Patibeda
Hak yang dimiliki dari dan oleh Lango Limpati untuk membagi. Membagi kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Membagi tidak hanya menetapkan secara pasti dan tegas kepada setiap suku apa yang menjadi haknya tetapi juga memberi kepada kunang kaya untuk mendapatkan hidup di lewotanah. Hak Patibeda dalam konteks peran adat ,menyangkut pengakuan atas suku dengan dengan segala kewenangan adat, jenis peran yang harus dijadikan warisan atas suku sekaligus penggunaan mantra (marang mukeng) yang betul betul ingin menjelaskan status, perjalanan sejarah dari setiap obyek yang ada. Bila upacara adat dilakukan di Lango Limpati maka mantra yang diucapkan wajib menceritrakan sejarah Lango Limpati, demikian juga ditempat lain. Hak atas newa nura, konteks membagi hanyalah istilah konotasi untuk menyatakan secara tegas tentang tapal batas newa nura yang menjadi hak setiap suku suku asli lewotanah bila mengalami konflik perbatasan. Kepada suku pendatang Lango Limpati nemberikan kepada mereka hak untuk tobo-turu, olah-here.

Dari tiga domain kewibawaan Lango Limpati ini, dapat disimpulkan bahwa Lango Limpati adalah lango kebele'ng, karena dari sanalah warisan kebele'ng itu dimulai. Catatan catatan sejarah Lango Limpati sesungguhnya menjadi catatan sejarah Lewoingu. Maka ketika ingin menulis sejarah Lewoingu maka Lango Limpati harus menjadi starting point bagi kita untuk menulis sejarah.

Bagi anak generasi Lango Limpati, menyandang status kebele'ng bukan hal yang mudah. Menyandang satus kebele'ng bukan hanya karena kita lahir dari rahim Lango Limpati. Menempatkan status kebele'ng dalam rangkaian nama, memiliki konsekwensi, artinya ada korelasi antara gelar dan kepribadian. Ingat gelar kebele'ng itu pengakuan kepada Lango Limpati karena penghuni rumahnya menunjukan diri sebagai pribadi yang pantas menerimanya.
Nilai nilai luhur dan ruh dari Lango Limpati adalah keluhuran martabat dari kebele'ng. Status Kebele'ng bukan hanya karena darah yang mengalir, tapi dari ruh yang mengalir melalui nafas kehidupan dan detak jatung, yang terwujud dari aktifitas hidup, pola laku dan pola sikap.
Kebele'ng itu pembawa damai, kebele'ng itu pembawa ketentraman, kebeleng itu pembawa terang dalam kegelapan. Kebele'ng adalah garam yang mampu menggarami, memberikan rasa dan warna dari kehidupan. Kita hanya akan bisa menjadi kebele'ng kalau ruh Lango Limpati mengalair dalam darah, dalam nafas dan dalam detak jatung kita. Menempatkan gelar kebele'ng pada nama kita kalau kita : Mengenal diri kita,jujur dengan diri kita sendiri, berdamai dengan diri kita sendiri, menjadi pemimpin bagi diri kita, karena dari diri kitalah pelita itu menjadi terang, garam itu bisa menggarami..............

Homo sacrare res hominie
Marsel Sani Kelen ...Jakarta.


















Jumat, 12 Juni 2009

SIKAP SUKU KELEN TERHADAP KONFLIK DI KAMPUNG HALAMAN " DESA LEWOINGU"

Membaca tulisan di dinding Eputobi. net atau blog bapak Kornelis Kuda Kelen, beberapa kali pertanyaan muncul, dimana suku kelen, kok diam saja ? apa dan bagaimana sikapmu ? Menanggapi pertanyaan itu beberapa saudara saya menghubungi saya untuk menyampaikan pendapat dan sikap, saya pahami sikap mereka karena file tentang sejarah dan peran adat suku kebeleng kelen disimpan rapi oleh saya. Maka dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan beberapa catatan yang kemudian menjadi sikap dari suku Kebeleng Kelen.

Pertama, menyangkut sejarah Desa Lewoingu.

Bahwa ada upaya untuk menelusuri sejarah desa, yang ditulis dalam Eputobi net. saya menganggap itu lucu, karena siapa yang memberikan hak pada penulis untuk menulis sejarah Desa Lewoingu ? Apalagi tulisan tulisan itu tidak menyentu substansi sejarah desa Lewoingu. Ingat sejarah itu bukan cerita lepas tapi sebuah bagian kehidupan yang tidak terpisah dengan kehidupan hari ini. Jadi ketika kita ingin menulis sejarah Desa Lewoingu maka tahap pertama, adalah kita harus sepakat untuk menentukan siapa yang berhak untuk menulis sejarah itu. Saya tegaskan bahwa yang boleh menulis sejarah Desa Lewoingu adalah anak turunan dari Lango Limpati, terutama anak suku pemeggang rie limangwanang bersama dengan anak suku dari suku pemeggang rie dan atap dari rumah besar "Koke Dungbata". Tahap berikut adalah apa materi yang menjadi pokok dalam penulisan sejarah Desa Lewoingu. Ingat ........sejarah Desa Lewoingu adalah sejarah Boli karena dialah yang mampu menghimpun semua suku yang ada, Boli yang yang membagi semua hak dan peran dari semua suku yang ada. "uluwai mati sela- uluwai ulumado - patibeda" karena dari Boli ada kearifan untuk membagi "korokeng bele limakeng blaha abong aong gurung gawe". Saya yakin, semua suku terutama sembilan suku pemegang hak atas rie mempunyai sejarah sukunya, maka mari kita duduk bersama untuk sharing, kita diskusikan.

Kedua, menyangkut konflik adat.

Saya sangat tidak setuju dengan pernyataan itu. Bahwa perbedaan persepsi tentang newa nura dan hak belo howe antara Kumanireng dan Lamatukan, dengan pihak Atamaran dan Lewolein itu benar, tapi itu hanya bagian kecil dari teritorial newa nura masyarakat Desa Lewoingu yang begitu luas. Hak atas newa nura dan belo howe diluar dari wilayah itu tidak mengalami pergeseran. Kita juga harus sadar bahwa hak belo howe adalah hanya satu entitas dari unit tatanan adat dan budaya yang begitu kompleks. Jadi jangan kita berusaha menggeneralisasikan dan menyatakan bahwa keseluruhan tatanan adat dan budaya kita telah mengalami kerusakan yang para, terlalu naif.

Ketiga, menyangkut meninggalnya saudara Yoakim Gresiktuli Maran.
Pertama saya tegaskan bahwa kejahatan/ kriminal tidak bisa ditolerir, tidak ada ruang bagi para penjahat dalam kehidupan suku Kebeleng Kelen. Kedua, membunuh sebagai tindakan yang berada dalam wilayah hukum positif, maka proses hukum harus kita junjung tinggi, asas hukum praduga tak bersalah juga menjadi bagian yang harus kita hormati, ketika proses hukum berakhir dengan vonis dan ketukan palu juga harus kita terima apapun resikonya.

Dalam kondisi sepeti saat ini, menjadi sangat dilematis, menjadi sangat sulit setiap orang harus menempatkan diri. Bahwa fakta polarisasi yang dibentuk begitu mudah menyebar dan menjadi orang netral di kampung halaman Eputobi ibarat mencari sebiji jagung ditengah tumpukan gabah, bakan polarisasi itupun menyebar jauh, seolah olah mengikuti polarisasi yang terbentuk di kampung halaman. Yang terjadi selanjutnya adalah saling mencurigai.

Tapi sudalah ....... biarkanlah saya sebagai penonton yang netral karena itu hak saya. Karena dengan sikap seperti itu, saya bebas dan lebih lugas untuk menganalisanya.

Ada dongeng anak seribu pulau: Ketika monyet dan tupai tidur bersama keluarga tidur lelap, datanglah kelinci membangunkan mereka, mengajaknya untuk kepesta. Pestanya asik karena lagu dan musik yang didendangkan begitu sempurna. Makanan dan minuman yang dihidangkan tidak kekurangan. Monyet dan tupai bersama kelurganya begitu menikmati, mereka menyanyi bersama menabuh dan memainkan semua alat musik yang disediakan sampai mabuk mabukan. Malam yang panjang, aroma kenikmatan dan kegembiraan begitu menggoda dan akhirnya mabuk. Satu persatu angota keluarga monyet diantar untuk tidur ditempat tidur yang nyaman. Tapi tidak disangka ada serigala menunggu untuk menikmati hidangan segar. Semakin keras lantunan suara musik semakin asik. Merekapun semakin tidak menyadari bahwa ada serigala yang menghadang mereka satu persatu.

Ceritra ini, bukan ingin melibatkan diri dalam konflik yang ada tapi semata mata hanya ingin membantu untuk merefleksi diri. Kematian Saudara Yoakim Gresiktuli Maran lebih merupakan sebuah sandiwara, ada yang memainkan gitar menabuh gendrang dan yang lain menari. Kasihan para penari itu jadi korban, korban kehilangan nyawa dan korban fitnah.
Dalam model sandiwara seperti ini sebetulnya sangat mudah kita menemukan siapa pelakunya. Ada pola tertentu dalam strategi intelijen untuk melakukan analisa terhadap sandiwara seperti itu. Tapi jelas itu bukan wilayah saya, biarkan para penegak hukum melakukan tugasnya. Tugas kita adalah memberikan tekanan agar mereka melakukan tugas secara lebih profesional.

Hanya sebuah pesan terakhir, bahwa semakin kencang polarisasi itu diciptakan semakin kecil kemungkinan untuk mendapat pelaku kejahatan yang sesungguhnya.

Salam, Marsel Sani Kelen.













Kamis, 11 Juni 2009

SEJARAH LEWOINGU - APA YANG SALAH ?

Sejarah adalah fakta karena sejarah meninggalkan kita berbagai artefak, status dengan segala bentuk hak dan kewajiban. Sejarah adalah kehidupan karena dari sejarah kita mewariskan berbagai pola hubungan dan tatanan sosial, mengenal dan menyapa orang lain dengan berbagai macam sebutan, nana-ua, besa- se" tiu-tia, opu-pain. Sejarah itu ruh kehidupan, karena sejarah membentuk watak/kepribadian bagi setiap generasi pelaku dan penerus sejarah. Maka ketika kita mulai menulis tentang sejarah diperlukan landasan berpikir yang jelas untuk menempatkan mana obyek sejarah yang menjadi pokok, mana obyek sejarah yang hanya menjadi elemen pendukung. Menempatkan obyek yang memiliki akar akar historis yang kuat sehingga menjadi dasar dalam konstruksi bangunan sosial selanjutnya.

Penulisan sejarah Desa Lewoingu sampai saat ini, belum memberikan hasil yang diharapkan. Mengapa begitu sulit ? sebuah pertanyaaan yang sangat mudah untuk dijawab. Ketika semua pihak anak suku Desa Lewoingu, kental dengan kepentingan maka sejarah Desa Lewoingu adalah sebuah rekayasa sosial. Selanjutnya yang dipertontonkan adalah sandiwara kehidupan yang penuh dengan kepalasuan, kebohongan dan manipulasi. Sampai kapan ?

Saya mungkin dinilai terlambat, terlibat dalam diskusi ini, tapi saya memiliki sebuah alasan yang sangat rational, karena saya harus memulai untuk mengenal, memahami perjalanan sejarah Suku Kelen mulai dari Gresiktuli sampai kakek-nenek saya, Bapak Mado- Ema Lito yang melahirkan Yosep Gega Kelen, Yosep Torang Kelen, Yohanes Sepuloh Kelen, Dominikus Doweng Kelen, Polikarpus Sedu Kelen, Lodan Kelen sebagai orangtua kami. Pemahaman yang benar terhadap sejarah suku menjadi modal awal untuk diskusi dan sharing, sekaligus kita menempatkan diri dalam perjalanan sejarah Desa Lewoingu.

Saya mengajak semua pihak anak generasi Lewoingu untuk terlibat dalam diskusi sejarah Lewoingu dengan mengedepankan kearifan dan kejujuran nurani. Ada tiga periode sejarah yang harus kita sepakati sebagai medan awal dari diskusi ini:
1. Tahapan keberadaan Gresituli bersama tiga anaknya Dalu, Sedu/Doweng , Sani,dan interaksi /konstalasi mereka dengan berbagai pihak suku ata yang telah tinggal dan menetap disekitar wilayah desa Lewoingu sampai membangun " koke kakang" Dung tana"
2. Lango Limpati sebagai pemegang kekuasaan "Uluwai Mati Sela- Uluwai Ulu Mado,- Patibeda, ketiga kekuasaan itu menyangkut kekuasaan menentramkan dan mengamankan situasi, kekuasaan untuk berbicara menyampaikan segala sesuatu tentang kebenaran, kekuasaan untuk membagi berbagai kewenangan terhadap setiap suku.
3. Keberadaan Boli dengan "Koke Dungbata" sebagai rumah besar yang menghimpun semua ata suku. Boli ditempatkan disini karena dialah inspirator yang mengkonstruksikan bangunan sosial yang dikenal dengan nama Lewoingu. Maka bila kita bicara tentang sejarah Lewoingu maka yang menjadi fokus sejarah adalah "Sejarah Boli"

Ketiga tahapan ini harus menjadi dasar, bila kita ingin terlibat dalam Sejarah Lewoingu. Penuturan sejarah Lewoingu yang menyimpang dari tiga domain ini adalah kepalsuan, kemunafikan dan manipulasi. Ingat...................." Iku hege limang baa, Sing getang dading gai yang diturunkan Gresituli kepada cucunya Boli tidak hilang sampai saat ini, mo deke hama ruha tarang, mo breke hama wawe ipe"eng go Boli plae hala, Bila kita semua dengan kearifan dan kejujuran menuturkan sejarah lewotanah maka go Boli go korokeng bele limakeng blaha, go abong aong tite anak suku. ............

Salam Marsel Sani Kelen dari Jakarta.