Jumat, 31 Juli 2009

MASIH DARI KOKE DUNGBATA DAN PERNAK PERNIK LEWOOKONENG

Kesowari Bereamang....
Nama ini mengingatkan saya tentang sebuah peristiwa yang terjadi dan ditulis pada catatan kaki dari sejarah suku kebeleng kelen. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 20 Juli 1974 dalam sebuah acara adat sebagai tradisi untuk membuka dan mengolah kebun baru. Hadir juga disitu, orang yang tidak lazim untuk terlibat dalam urusan adat yakni bapa Sani Maran (alm), orangtua sdr Rafael Raga Maran ( mohon maaf saya tidak bermaksud untuk melibatkan orangtua kita dalam diskusi ini tetapi karena ada hubungan dengan tulisan anda). Dengan tanpa ragu ia mengatakan rie limang wanang peeng Kesowari Bereamang naang bake neing. Rie miong amu'ung etedikeng pake sorong". Dua kalimat ini diucapkan dengan maksud menghina kedua orangtua kami Yosep Gega Kelen dan Yosep Torang Kelen ( keduanya alm) dihadapan para pemangku adat Eputobi. Dengan tenang dan sabar bapa Yosep Gega Kelen menjawab ' kalo koda moeng mureeng, gae mo tutu ? mo tobo pe rie moeng, go tobo pi rie goeng, mo... le... go... Apa reaksi Bapa Alm Sani Maran, ia meninggalkan arena adat dan pergi tanpa pamit. Tindakan selanjutnya adalah menghujat orangtua kami bersama seluruh pemangku adat Lewoingu sebagai pihak penyembah berhala, dan melaporkan kepada pihak Gereja Paroki (Pastor Van den Burg). Sangsi yang diterima oleh para pemangku adat ketika itu adalah tidak boleh ke gereja sampai sekian tahun dan tidak boleh komunio.

Kesowari Bereamang...
Kali ini pernyataan itu muncul lagi dan tidak ada basa basi, tidak ada keraguan, oleh karena itu patut saya tertawa geli karena ada indoktrinasi palsu dari sebuah kebenaran sejarah. Muncul kalimat yang sama seperti ditahun 1974 ' rie limang wanang itu milik Kesowari Bereamang dari kebeleng koten, karena ia tidak punya turunan dan melalui proses adat rie limang wanang itu diserahkan kepada suku kebeleng kelen.
Membaca tulisan ini, saya menjadi tertawa karena alur berpikir seorang Rafael Raga Maran tidak mampu untuk mensejajarkan fenomena adat hari ini dengan berbagai khakikat dan peran yang dimiliki setiap orang dalam perjalanan sejarah itu. Bahkan alur logikanya ingin mengantar pembaca bahwa peran adat itu begitu mudah untuk berpindah tangan. Hakikat dan nilai ontologis dari peran adat rie limang wanang begitu mudah diserah-terimakan, masuk akalkah itu?

Kita yang hidup hari ini, dalam gemerlap modernisasi, masih tetap ingin membela hak dan kewenangan adat yang kita miliki, apalagi masyarakat tempo dulu. Hanya satu aspek dari kewenangan adat belohowe dan itupun terbatas pada areal tertentu, sdr Rafael begitu sibuk membelanya, apalagi menyangkut rie limang wanang pada koke Dungbata sebagai tiang utama, bahkan sebagai simbol pemimpin. Apakah anda lupa bahwa kepemimpinan tempo dulu adalah sebuah pengakuan bukan hasil musyawarah, legitimasi itu dengan sendirinya muncul karena figur ketokohan, kewibawaan dan kekuatan seseorang. Ingat .... rie limang wanang tempo dulu adalah simbol pemimpin, harga diri dan martabat dari suku. Oleh karena itu menjadi tidak mungkin martabat dan harga diri itu begitu mudah diserah-terimakan. Jadi saya berharap anda jangan mulai berdongeng kalau tidak ada bukti sejarah yang memperkuat argumentasi anda.

Apabila saya menantangnya dengan kalimat yang sama dari orangtua kami Yosep Gega Kelen ' mo tobo pe rie moeng, go tobo pi rie goeng, rua te tutu tentang rie limang wanang koke Dungbata, mo le go, nitung uteng, menakaa'ng rekang' saya yakin 1000% ia tidak berani, sebagaimana dulu pernah dilakukan orang orang sepertinya. Menjadi begitu nyata bahwa orang seperti Rafael Raga Maran adalah pribadi yang mengetahui sejarah lewoingu sebatas kulit ari.

Dengan menyebut nama Kesowari Bereamang sebagai pemilik rie limang wanang ia terjebak dalam analisanya sendiri. Karena ia tidak mampu memastikan kapan koke itu dibangun dan kapan Kesowari Bereamang itu hidup. Anda berbicara tentang pendirian Koke Dungbata dan kewenangan pada rie limang wanang, tapi imajinasi anda ngelantur jauh sesudah koke itu dibangun. Bahkan jauh melampaui 8 generasi sesudah koke itu ada. Bung Rafael .......... kalau anda kekurangan referensi, maka banyaklah mendengar, pulanglah ke Eputobi dan tanyakan siapa itu Kesowari Bereamang, siapa itu Subang Seng, tapi kalau anda mau saya bisa meminjamkan referensi itu.

Dari Koke Dungbata yang terbakar di penghujung tahun 1800-san, ketika Kompeni (Belanda) menyerang masyarakat Leworook, siapa yang menjadi penunjuk jalan, siapa yang mengiakan agar koke Dungbata boleh dibakar oleh Belanda ......? Ingat..... dari bara api, debu panas dan puing puing kehancuran terdengar tangisan kekecewaan. Ditahun 1968 ada kejadian menarik, Lewoingu sebagai ema-bapa harus bertanggungjawab untuk sebuah kasus kepada aring anaa'ng Tenawahang, terutama suku Wungu Open. Satu buah gading harus diserahkan kepada masyarakat Teanawahang kala itu dengan sia sia. Kasus apa itu.....? Apabila bung Rafael tidak ada referensi tentang itu kembalilah ke Eputobi dan tanyakan itu karena masih segar ingatan orangtua dikampung. Dari Koke Dungbata ada gaung untuk mencari dimana kini 'pesa' atau meriam tempo dulu berada ?............................?

Kebenaran tidak pernah memihak. Tapi dari kedalaman kebenaran itu sendiri akan terbaca siapa sesungguhnya yang benar. Kali ini satu topik diskusi kita telah terjawab, siapa itu bapa Raga ? ia anak siapa ? Dengan lugas Rafael Raga Maran menjawabnya. Ia begitu lugas dan getol membelah hak Kesowari Bereamang dari kebeleng koten, saya kira sikap untuk membela leluhurnya Kesowari Bereamang bagus juga, karena itulah basic dan populasi awal Rafael Raga Maran

Nong Ape.....
Tentang Koke Dungbata dan rie limang wanang adalah fakta sejarah yang dimulai dari leluhur Boli. Fakta sejarah itu sudah diterima dan diakui oleh setiap generasi dalam perjalanan sejarah lewoingu. Pengakuan itu tidak akan berubah hanya karena seorang Rafael Raga Maran bermimpi atau karena kesurupan dan kabelabe sesukahnya.

Nong Ape....... go gete mo........." Merang moeng gae" ?

Goeng noong........................"Merang wato tangeng merang larangtukang, Sili lolong Bala, Raya Siki Mili Tuang Raga Meang"



Kamis, 30 Juli 2009

PRAHARA APA ITU

Ini adalah salah satu judul dari tulisan Rafael Raga Maran dalam blok Ata maran, dalam bentuk pertanyaan. Judul dalam bentuk pertanyaan ini adalah model pertanyaan retoris, karena penulis sendiri telah menjawabnya. Hanya patut disesalkan karena jawaban yang disampaikan sangat tidak logis, karena tidak dapat diterima dalam logika sejarah. Penulis dengan logika imajinasinya ingin menarik pembaca untuk memahami Gresiktuli yang bujang, Gresiktuli sebagai figur diaspora yang ingin mencari tempat aman untuk menetap. Tetapi disisi lain, logika analisanya ngelantur karena ia tanpa sadar mengakui Gresiktuli yang menjadi fokus analisanya adalah Gresiktuli yang sudah berkeluarga bahkan punya anak dan cucu. Ketika alur analisa kedua ini dipakai maka kita dihadapkan pada sebuah fakta bahwa diantara penghuni lewotanah ketika itu, sudah saling menerima sehingga sangat kecil kemungkinan untuk terjadi konflik. Maka menjadi nyata bahwa prahara terjadi bukan karena faktor penolakan atas kehadiran satu sama lain. Menjadi jelas bagi kita bahwa analisa sdr Rafael Raga Maran menjadi sangat tidak konsisten, karena premis yang satu dengan yang lain tidak saling mendukung, bahkan sebaliknya saling meniadakan.

Kembali kepada judul "Prahara Apa Itu "
Saya tidak dalam posisi untuk mengulang ceritra sejarah itu karena 'lewogole roi ro kae' ( semua masyarakat Lewoingu sudah mengetahui prahara itu).

Tentang gatak "Dungtana pota wato pota ile hone woka" yang disinyalir sebagai gatak dari Gresiktuli, maka tujuan menjadi jelas untuk melengkapi gatak yang lain " mo rae tobo rae tibang tukang, abo maang one nai, koda maang wanang nai". orientasi dari kedua gatak itu adalah untuk mendirikan rumah Limpati. Gatak Dungtana pota wato pota ile hone woka tidak berhubungan dengan pendirian koke baru, karena segala fungsi dan peran sudah terbagi secara adil di koke Dungtana. Kearifan seorang Gresiktuli tidak mungkin mau memecah-bela anak dari darah dagingnya sendiri hanya karena sebuah ambisi. Sehingga menjadi nyata logika analisa Rafael Raga Maran tercecer, bias yang tak terarah.

Agar kita fokus pada diskusi "prahara apa itu" saya perlu mempertanyakan beberapa fakta sejarah kepada anda untuk direnungkan:
Apa makna dibalik sejarah yang dituturkan nenek moyang dengan begitu halus "Nuhung teme' tewong, alo' boleng boto; Ile hingang gere lereka kae, tawa keseka kae'; Ile hingang leting boleng pepak ado girek; Kriko rio-rio krako rao-rao"

Salam........................................................................................................................................................











Rabu, 22 Juli 2009

"SANG DEMONG PAGONG" Dari Narang Take Sampai Narang Horong Loa, Make'ng Te'me' Te'wong

Menyimak siapa Gresiktuli, sama halnya dengan menyimak misteri kehidupan sang pengembara. Dari tanah beto sampai Lewohari, demong narang take menjadi misteri. Demi sebuah nama, harus melalui proses perjuangan, perjalanan perburuan yang panjang. Tapi dari proses yang panjang itu, tersirat berbagai misteri yang dapat kita gali, dan barangkali bisa menjadi referensi kita untuk memaknai lebih jauh tentang siapa sesungguhnya Gresiktuli dan apa makna dari semua peran yang dilakukan.

Tulisan kali ini, akan dimulai dari perjalanan hidup sang demong pagong dari Lewohari sampai Lewopao, kemudian dilanjutkan dengan upaya hermeneutik atas perjalanan yang begitu heroik untuk menghadirkan sebuah nama.... " Gresiktuli".

A. Dari Lewohari sampai Lewopao

Agar tulisan tetap memiliki nilai historis dan berdasarkan pada akar sejarah yang kuat maka saya tetap memakai gatak sastra, dengan demikian proses apresiasi dan analisa tetap berlandaskan pada sebuah fondasi. Landasan apresiasi semacam ini, sesungguhnya menjadi pedoman agar tidak menjadi bias dan mengurangi sekecil mungkin berbagai unsur subyektif yang melekat pada diri penulis.

" Latu noong wuhu au bewa, noong blida kukung, latu weli kuma amang papa'ang, weli Ebe Laka beang, kelisari buya' blaka arang. Deing nala serah sorong, sudi nala nete neing, pau asu leki lekang, uha' lihang hurik kui', go asu naeng sagaribu, manuaning, lakebele, kenawolo, dongdai rayabineng, haga keang bao wutung, siki pata bulan boloo'ng, nura wruing, kela larukeng, rae ekang pukeng dang nimun.

Pi kuwu wolo matang rabi lera wutun, niu disaman tuto hala, laga disaman dawa kurang.

Hubang dopa rae nai, rehang sadi haka rae nato, sega rae ketaka hara' dike, kledo lolon lou, rae diri sina dare jawa, niu disaman tuto hala, laga disaman dawa' kurang.

Hubang dopa rae nai, rehang sadi haka rae nato, sega rae lewobloloo'ng wolo matang kenawe lungung lemene'ng, raya rae sedu hogahan tuang kaliwurin, wato utang limang hea'ng. Niu disaman tuto hala, laga disaman dawa kurang.

Hubang dopa rae nai, rehang sadi haka rae nato, sega rae sili lolon bala, rae merang larang tukang, raya rae sili kiki tuang raga me'ang, niu disaman tuto hala, dawan disamang logang kurang.

Hubang dopa rae nai nai, riang sadi haka rae nato, sega rae megung sina, sae rae bala narang. niu disaman tuto hala dawan disaman logang kurang.

Bunung lodo lau nai, ora naming lali nato, sega lau botohong bunuhung bahing tuan tora wero, raya kala ratu mado, tuang lau lawe taji.

Bunung lodo lau nai, ora dinaming lali nato, sega lali gete tewelu mamung lama bera akak keang, mamung dope klehing, niu disaman tuto hala dawan disaman logang kurang.

Hubang dopa rae nai, rehang disadi haka rae nato, sega teti lewopao, sega teti mada paji, rae nala buka tutu, rae nala towa maring, mo pite aba bala matang, humuk lodang tonu lola, deing nala herik nala nitung, hoko raelolong, rae lidung hodi tien, horo ro' nodi lodo, deing nala pete aba bala matang, deing nala humuk lodang tonu lola. Asu naeng sagaribu, manuaning, lakebele, kena wolo, dong dai raya bineng, haga keang bao wutung, niu tutu lagang dawa' niu rupang trata tege, ladang gawa hupang wodong gere, tuen ile gole woka, ile bele'eng wae lewung, wato sidu para pigang, lodoro blodo'ong tobi. gere ro knere bao, leong pati kelik tukang, teba' limang hara' wanang, mata pitang letang, lolaka uru amang....
"Go Gresiktuli Keropong Ema" narang horong loa, makeng teme tewong.

Menyimak gatak yang menceritrakan perjalanan sang Demong Pagong, kita dapat menemukan berbagai gambaran tentang figur Gresiktuli sesungguhnya. Fenomena perjalanan sampai memanah seekor rusa, baru kemudian ia memeperkenalkan diri memberikan banyak interpretasi. Satu hal yang patut direnungkan adalah proklamasi untuk memperkenalkan diri , terlaksana dengan begitu tepat, ketika ia mulai mengaktualisasikan diri. Dengan demikian nama Gresiktuli sesungguhnya menjadi hakikat dan substansi yang mau menceritakan tentang siapa pribadi dengan nama yamg dilekatkan pada dirinya.

B. Go Gresiktuli Keropong Ema

Bila kita melakukan kajian tentang arti sebuah nama, maka nama selalu berhubungan dengan asal usul. Nama yang melekat pada diri seseorang adalah wujud perhatian orangtua bagi keberlangsungan hidup pribadi dan komunitas suku atau kelompok masyarakat tertentu. Nama adalah fenomena pemberian dan penerimaan, nama adalah bentuk pewarisan dari generasi ke generasi, nama adalah bagian identitas dan jati diri, maka nama kemudian menjelaskan pribadi seseorang.
Fenomen sang demong pagong Gresiktuli Keropong Ema, tidak dalam konteks pemberian dan penerimaan, tapi dari usaha dan upayanya sendiri, memperkenalkan diri tentang sebuah nama yang selama ini ia rahasiakan. Nama yang diperkenalkan menjadi fenomenal, karena justru terlaksana, pada saat ia mengaktualisasikan diri. Menjadi pertanyaan ada apa dibalik pakeng makeng lai narang, sehingga narang horong menjadi loa, makeng teme menjadi tewong .....?
Pertama ; Pengenalan tentang sebuah nama adalah simbol dari kharisma yang dimiliki. Bahwa nama itu memiliki wibawa, nama itu punya kekuatan, punya daya dan kemampuan. Ternyata dikemudian hari terbukti bahwa pribadi dengan nama itu menjadi figur sentral memperjuangkan hak masyarakat diaspora untuk hidup bersama, tempat yang aman untuk hidup secara leluasa tanpa ada rasa takut. Kedua nama yang dari dan untuk dirinya ia berikan, mau menunjukan siapa dirinya. Bukan hanya orangtua asu tidak mengenal asal usul, tetapi lebih dari itu, menyangkut maksud dan tujuan dan semua fenomen pada diri narang take, oleh karena itu pemberian nama menjadi sebuah hak diluar kemampuan mereka sebagai orangtua asuh. Dengan kata lain, tidak ada kesanggupan dari siapapun untuk memberi sebuah nama pada figur narang take. Ketiga; membuka tabir tentang sebuah nama pada waktu ia menunjukan kekuatan dan kewibawaan, seolah olah kita disadarkan tentang awal kehadiarannya di tanah beto " Demong peeng betok rae koting bala pukeng, pagong peeng burak rae wato tonu lolong" , ada sinergi tentang kekuatan dan kewibawaan yang dimiliki, bukan hasil propaganda sang orator tetapi karena panggilan hidup, karena panggilan itu sang demong pagong mengaktualisasikan diri. Keempat; Pengenalan diri dengan dan melalui membunuh rusa dalam proses memburu, mau menjelaskan bahwa ketika kondisi sedang "menguasai " ia memperkenalkan diri. Kondisi menguasai ini menjadi bukti awal bahwa nama Gresiktuli adalah figur pemimpin, yang kemudian hari menjadi terbukti.

Salam...................................... dari Jakarta.




















Boli adalah Konstruksi Sosial Lewoingu

Tulisan ini adalah bagian lanjutan dari diskusi kita untuk saling berinteraksi dan berdialog tentang sejarah Lewoingu, ada proses untuk saling mengisi, bertukar pikiran bahkan saling berdebat untuk bisa menemukan kepastian sejarah yang sebenarnya.
Eksistensi Boli pasti memiliki hubungan dengan Sang kakek Gresiktuli, tapi agar menjadi terfokus maka perlu ada pembagian fase dalam sejarah itu. Karena sejarah menunjukan bahwa koke Dungbata berdiri pada fase hidup Boli, maka saya tidak akan pernah gentar untuk mempertahankan keberadaan kewenangan dan hak dari leluhur saya ini. Supaya diskusi tetap berdiri diatas pijakan sejarah, maka setiap pernyataan dalam tulisan ini saya tetap menggunakan fakta sejarah hari sehingga nalar dan pikiran kita dapat menerima mengapa saya terus mempertahankan leluhur saya Boli sebagai figur utama konstruksi sosial Lewoingu.

A. Isi Sastra Marang Mukeng

Ketika kita masuk dan menganalisa bahsa sastra sebagai satu bukti sejarah maka ada beberapa hal yang kita peroleh, pertama gatak dalam sastra mantra lewotanah muncul sesudah adanya koke, memiliki versi yang berfariasi, fariasi dimaksud untuk menunjukan obyek dan tujuan dari setiap jenis ritual yang dilakukan Kedua setiap gatak mantra diucapakan pada acara belo howe didahului dengan acara sorong neing kepada semua penguasa/ sohibul wilayah yang berdekatan dengan wilayah dilaksanakan acara ritual itu. Ketiga, dalam setiap gatak mantra ada kalimat pendahuluan:
Lerawulang beng lega tanah ekang, lodo hau tobo tukang, gere haka pae bawang, mo denge koda baing khiring, denge umeng baeng namang"........
Dungbata Lewoingu sarabiti waihali.....
Limpati dang pukeng gawe rage kenawe matang......
Kuru Sani - Sedu - Doweng Maung Boli-Duru-Moko........
Saya menulis gatak mantra itu dalam lima baris kalimat untuk memudahkan kita memahami satu persatu frase gatak mantra:
Pertama; Bentuk ketergantungan manusia terhadap Sang Pencipta, Sang Khalik adalah awal dari segala yang ada, Ia adalah pemilik langit dan bumi, oleh karena itu segalanya harus kitakembalikan kepadaNya sebagai bentuk ketergantungan, persembahan dan ucapan syukur. Kedua Pengakuan atas konstruksi sosial Lewoingu dimulai dari adanya koke Dungbata, jJadi Dungbata adalah awal konstruksi sosial Lewoingu Oleh karena itu ketika kita berbicara tentang lewoingu, maka perhatian kita tidak lagi berbicara tentang Gresiktuli yang ditanah beto atau yang di lewohari atau Gresiktuli yang ada di dua" mula watohong, atau Gresiktuli yang di Dungtana, tetapi fokus kita harus kepada anak cucu Gresiktuli yang di Dungbata. Lewoingu adalah kontrak sosial yang terdiri dari sekian elemen suku. Ketiga Pengakuan atas rumah Limpati sebagai pintu masuk, menjadi starting pont dalam konstruksi sosial itu, dari rumah Limpati semua rencana dibangun. Keempat Kuru Sani Sedu Doweng Maung Boli-Duru-Moko adalah nama nama leluhur dari suku kebeleng kelen, dan nama itu dimulai dari Sani dan Boli yang mau menunjukan bahwa Sani mewariskan tachta kepada Boli dan turunannya adalah figur utama dari Dungbata.
Maka ketika saya mempertahankan leluhur kami Boli, bukan sebuah bentuk pernyataan yang dianggap mengada ada, sehingga dianggap palsu, siapapun boleh membantah itu tapi saya tidak akan merubah pernyataan, hanya karena tuduhan yang tak terbukti itu. Kalau ingin mengganti peran leluhur kami maka robah dulu gatak mantra yang ada, dan kita boleh memulai yang baru menurut selera kita ........ saya takut..... takut akan tulah nenek moyang..... eka ra kepoeng oyang te "oba matayo" lalu kepada pengadilan mana kita akan tuntut .................???

B. Hak atas Rie Limang Wanang

Boli yang lahir dari perkawinan Sani dengan Kulu Kene mewarisi gen secara lurus dari Gresiktuli sehingga secara lurus dan utuh kekuatan Gresiktuli itu diwarisikan kepada cucunya Boli. Pewarisan itu menyangkut dua kekuatan besar Gresiktuli: Iku hege limang baa dan Sing detang dading gai . Kekuatan yang ada mempengaruhi Boli dalam menunjukan eksistensi dirinya. Kekuatan itu memberikan kewibawaan pada Boli sebagai tokoh yang disegani ditakuti. Ketokohan dengan kekuatan, keberanian menempatkan Boli sebagai pemimpin dan mewariskan ketokohan kakeknya Gresiktuli dan bapaknya Sani.

Kepemimpinan Boli dimedan laga sangat teruji, sehingga Boli kemudian menjadi delegasi dari turunan Gresiktuli untuk membela para sekutunya ( hipa). Pengalaman di medan peperangan menjadi pengalaman yang menarik, termasuk didalamnya hambatan yang menyebabkan kegagalan dalam peperangan. Salah satu hambatan mendasar adalah "restu" ikekwaa lango umah yang sering terlambat memberikan dukungan. Hambatan inilah yang menjadi dasar dari sikap perlawanan terselubung dari Boli terhadap orang tua dan saudaranya. Disinilah istilah muncul "go kang kakang wolo", jadi kalau kita jujur adanya koke Dungbata adalah sikap pemberontakan Boli terhadap penyimpangan yang terjadi dalam rumah sendiri. Kondisi inilah yang menyebabkan Boli menyiapkan sendiri segala perlengkapan dari bangunan koke. Baru ketika semua tersedia Boli mengundang semua suku yang lain untuk terlibat, termasuk memanggil Raga yang ketika itu menetap di Riang kung/ Riang woloreng. "Go toking laba waha rona ruba hala go teta bapaang go belo kakang". Raga hadir dirumah Limpati dengan permintaan dan tangisan " Gena gelek Raga wanga". Raga hadir di rumah Limpati karena ada kearifan dan rasa persaudaraan Boli, karena merasa lahir dari rahim ibu yang sama walaupun mereka dipisahkan oleh bapak yang berbeda, karena Raga adalah anak Hule dari keluarga Metinara dari Ile hingang.

Wua tou malu bala, wua knure inang malu knala amang, gurung koong suku matang pulo kaeng gawa koong wo kole lema ka'eng. Bahwa untuk membangun koke sebagai konstruksi sosial membutuhkan kehadiran pihak suku lain, hal ini terlaksana karena ingin menunjukan bahwa dalam setiap aksi peperangan ada keterlibatan berbagai suku yang lain. Maka di koke setiap rie yang ada punya hubungan timbal balik, ada wuku matang masing masing.

Dari hasil apresiasi atas fakta sejarah ini mau menunjukan bahwa konstruksi sosial lewoingu bermulai dari didirikannya koke Dungbata. Tokoh utama dalam proses pendirian itu adalah Boli , maka kalau saya mengatakan Boli peletak dasar konstruksi sosial Lewoingu, mengapa kemudian disebut palsu, atau mungkin anda heran bahwa masih ada yang lebih tahu tentang sejarah lewoingu......

Maka tindakan yang paling arif adalah mari kita sama-sama belajar...... jangan saling menista, apalagi menghina dan mengfitna............

Salam...........................................................Jakarta


















Selasa, 21 Juli 2009

Tanggapan Atas Tulisan Sdr Rafael Raga Maran



Tulisan ini disajikan kepada halayak pembaca terutama anak Lewoingu dengan maksud agar materi diskusi semakin teruji dan menemukan kepastian siapa sesungguhnya tokoh tokoh utama dalam sejarah konstruksi Lewoingu. Hal itu berati proses dialektika diantara kita untuk saling menguji argumentasi sehingga kebenaran sejarah yang menjadi harapan dalam penelusuran sejarah, benar benar menyentuh seluruh aspek dan fariasi dalam keberagaman suku di lewotanah.
Tulisan ini dimuat sebagai bentuk tanggapan atas tulisan dalam blok Ata Maran sekaligus untuk mempertajam diskusi kita, mengapa saya menempatkan leluhur kami Boli dalam sejarah Lewoingu.

Eksepsi atas tulisan blok Atamaran " maksud hati ...........


A. Bahwa tulisan saya yang berjudul " Sejarah Lewoingu adalah Sejarah Boli " merupakan sebuah bentuk apresiasi terhadap tonggak tonggak dan puncak-puncak sejarah, menyangkut siapa tokoh awal dan utama, mana fase fase sejarah yang menjadi starting point dalam konstruksi sosial Lewoingu. Penulisan tentang sejarah sangat berbeda dengan apresiasi, karena penulisan sejarah membutuhkan berbagai kriteria sehingga ada kepatutan dan diterima secara obyektif karena benar dan secara kolektif oleh keberagaman suku di lewotanah. Dengan demikian tanggapan saudara Rafael Raga Maran adalah tanggapan tergesa-gesa dan judul yang dipakai sangat tidak arif dalam medan diskusi.

B. Penulis mempertanyakan dimana posisi saya pada tahun 2007; mohon maaf, saya tidak dalam posisi untuk berpihak, tetapi dengan teliti dan cermat mengikuti alur diskusi yang ada. Karena diskusi menjadi tak terkontrol sehingga menjadi sebuah perdebatan lepas, bahkan melibatkan berbagai unsur subyektif, maka banyak orang menjadi tidak simpatik, termasuk saya. Bahwa ada juga pernyataan yang benar dari kedua belah pihak sehingga patut didukung.

C. Pernyataan sdr Rafael Raga Maran tentang hak "rie limang wanang" pada koke Dungbata hanyalah bentuk adopsi dari budaya Lewotalah yang intinya rie limang wanang diserahkan pada anak bungsu bukan anak sulung, menjadi sebuah pernyataan yang sangat tidak beralasan. Pertama Koke Dungbata adalah starting point konstruksi sosial Lewoingu, dari koke itu segala fungsi dan kewenangan itu mulai dibagi, dari koke berbagai tatanan dan budaya mulai ditetapkan dan diberlakukan. Pembagian dan penetapan, jelas memiliki dasar bukan sekedar adopsi. Kedua, ada keraguan dan keengganan dalam diri penulis untuk mengakui bahwa rie limang wanang sebagai tiang utama dan diturunkan kepada anak cucu Boli, hal ini mengingatkan saya tentang sebuah keprihatinan karena dalam tulisan pada ucapan selamat datang Blok Atamaran ia juga telah menganulir suku Kebeleng Kelen sebagai turunan Gresiktuli. Ada maksud apa ....... ? Ketiga, ada kebimbangan dalam dirinya untuk mengakui lewoingu yang berkepribadian dan jati diri, karena tatanan yang ada adalah hasil adopsi. Logika ini diteruskan maka berbagai tatanan adat budaya yang diwariskan nenek moyang adalah hasil adopsi, semuanya adalah tiruan/imitasi, sehingga tidak ada ciri khas atau identitas budaya yang lahir dari Lewoingu sendiri. Lewoingu tidak punya jati diri termasuk kita sebagai anak lewoingu. Bahwa dalam adat dan budaya memiliki nilai universal, itu bisa diterima, tetapi pada setiap daerah tetap memiliki nilai nilai eksklusif dan hanya ada pada diri masyarakat tsb, apalagi itu menyangkut hal utama/ tonggak dari sebuah fenomena adat dan budaya.

D. Sejarah Lewoingu tidak mulai dari Boli, segala karya Boli terlaksana sesudah Lewoingu terbentuk. Pernyataan seperti ini perlu diuji tingkat kebenaran dan akurasinya, proses pengujian kita mulai dengan beberapa pertanyaan sebagai indikator
Pertama; apabila istilah Lewoingu itu adalah rangkaian Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali, dimulai pada fase hidup siapa ? Kedua bahwa Lewoingu itu adalah konstruksi sosial yang dimulai dari koke Dungbata, maka siapa sesungguhnya tokoh yang membangun koke Dungbata itu ?
Ketiga; Mengapa didirikan koke Dungbata, padahal ketika itu sudah ada koke Dungtana ? Keempat; Fenomena gatak dari sastra mantra ( marang mukeng) menuturkan seperti apa dan bagaimana ? Kelima; Fenomena adat dan budaya hari, sebagai bentuk pewarisan kewenangan leluhur lewoingu tempo dulu menyatakan seperti apa ?

Proses pengujian menjadi penting untuk mendapatkan nilai obyektif dari semua pernyataan, sehingga diterima sebagai kebenaran. Lepas dari fakta sejarah maka segala bentuk penulisan kita menjadi tidak dapat diterima karena dianggap palsu.

E. Penulis menyatakan bahwa Boli sebagai delegasi dari rumah Limpati dalam setiap peperangan dan Raga tampil sebagai peminpin dirumah Limpati. Menjadi pertanyaan
Pertama; atas dasar apa Raga tampil sebagai pemimpin di rumah Limpati, apakah karena hak kesulungan ? memang Raga anak siapa ? Apakah Sani adalah Bapanya ? TIDAK !! Raga adalah anak Hule dari keluarga Metinara. Raga adalah hasil dari " nuhung teme tewong, alo boleng boto"
Kedua; menjadi pemimpin tempo dulu bukan hanya duduk di rumah. Pengakuan itu ada karena legitimasi masyarakat berdasarkan pada kewibawaan karena berbagai kekuatan yang dimiliki oleh sesorang. Kemudian ada fakta keberhasilan dalam melaksanakan tugas yang diberikan, ada tekad dan komitmen untuk memperjuangkan kepentingan kelompok masyarakat.

Menjadi nyata siapa sesungguhnya pemimpin di rumah Limpati, proses pengujian tidak menempatkan Raga sebagai pemimpin, oleh karena itu argumentasi sdr Rafael Raga Maran yang menyatakan Raga Tampil sebagai pemimpin menjadi tidak berdaya, oleh karena itu harus ditolak

F. Istilah Dong rua (Lengkapnya dong rua lika rua). Dong rua lika rua adalah istilah, karena itu istilah, maka padanan kata itu bermakna konotatif. Istilah itu mengikuti proses upacara adat dirumah Limpati yakni ketika ada upacara adat maka baku (tempat beras) dari suku Kebeleng kelen harus masuk dari depan dan harus penuh dulu baru dari pihak Atamaran yang masuk dari belakang. Demikian juga dengan tumpeng atau berbagai sajian lain harus dimulai dari suku kebeleng kelen baru suku Atamaran kemudian suku lain yang menumpang
Pemisahan ini bukan simbol konflik tetapi sebuah sikap arif dari nenek moyang yang mau menunjukan siapa yang lebih berhak di rumah Limpati, sekaligus untuk menjaga agar dikemudian hari tidak terjadi manipulasi dan saling berebut, waupun fakta hari ini, indikasi itu mulai tumbuh subur. Fenomena pemisahan itu dilaksanakan berdasarkan fakta sejarah ketika Raga yang dipanggil pulang untuk terlibat dalam pendirian Koke Dungbata untuk pertama kali.
Mungkin saudara Rafael perlu bertanya mengapa ada istilah " Go kang kakang wolo" atau gatak lain " Gena gele Raga Wanga"

G. Satu kalimat pelecehan " baru tahu satu dua koda khiring sudah berlagak luar biasa" rupanya sudah menjadi kebiasaan bagi sdr Rafael Raga Maran untuk menghina, mengfitna dan melecehkan orang lain, tapi saya tidakperlu membalas pelecehan itu karena
Pertama; semakin anda melecehkan dan menghina orang lain, maka pada saat yang sama anda telah membuka layar tayangan pribadi sendiri tentang siapa sesungguhnya dirimu, sehingga menjadi jelas hanya kepada orang yang tahu menghormati dirinya, saya perlu memberikan respek, pengakuan dan penghormatan. Pantaskah kita dihormati ?.....................
Kedua; Penghinaan adalah cara lain dari proses belajar, semakin kecil saya dimata orang lain semakin besar niat saya untuk belajar, kecil dimata manusia tapi saya yakin pada saatnya dimulikan oleh Yang Kuasa " Aju has saidul jalil habibul muhahidin, ajib ya abdal, wahid bil Wahidil ahad"

H. Ada pernyataan " tokoh tokoh dari suku Kebeleng Kelen tidak berceritra seperti itu"
Penulis begitu jeli untuk menggunakan pola atau satu teori dalam berdebat dengan membuat klaim untuk mendapatkan dukungan dan pembenaran. Saya teringat pada tahun 2007 ketika terjadi perdebatan dengan Opu Don Kumanireng ada kalimat berbunyi ada tokoh tokoh Kumanireng yang menjadi sumber ceritra. Kali ini terulang lagi, tapi bagi saya cara cara semacam itu adalah bagian lain dari teori yang sama untuk menyatakan kepada publik bahwa sang penulis kehabisan ide, kehilangan argumentasi untuk mempertahankan tesis.

Dari delapan eksepsi ini saya mengajak sdr Rafael Raga Maran untuk terlibat dalam refleksi
1. Argumentasi tulisan tidak dapat diterima karena argumentasi tidak memiliki dasar pijakan pada fakta sejarah. Pernyataan pernyataan hanyalah bentuk premis dari kasil interpretasi sehingga menjadi kabur ( obscuur libel).
2. Penulis begitu sibuk untuk menyatakan orang lain sebagai penutur palsu, tetapi dilain pihak penulis tidak mampu menunjukan bukti atas tuduhan yang disampaikan sehingga mengundang pertanyaan siapa yang palsu.
3. Yang meletakan persaudaraan di rumah Limpati itu adalah Boli dan bukan Raga. Tanpa kearifan Boli maka Raga tidak punya tempat di Dungbata. Tanpa kearifan Boli hak Uluwai dari Lango Limpati tidak ada pada Raga
4. Raya Koten noong Kelen, tuak Hurik noong Maran, dari gatak mantra dan nama yang melekat pada kita sudah ada perbedaan, jadi jangan anda melecehkan leluhur saya.
5. Adu argumentasi adalah hal yang wajar, menjadi tidak wajar kalau kita sebagai penulis kontemporer terjebak dalam keegohan intelektual untuk membenarkan pendapat sendiri. Ingat.... keegohan semacam itu adalah ungkapan dari keterbatasan dan ketidakberdayaan kita terhadap obyek analisa yang sedang kita bangun.


Salam ............. dari Eputobi