Senin, 24 Agustus 2009

JUJURLAH MENJADI DIRI SENDIRI

Kalimat judul ' Jujurlah Menjadi Diri Sendiri' sengaja saya sajikan sebagai judul dari tulisan ini, dengan maksud mengajak lawan debat saya Rafael Raga Maran untuk tidak menghindari berbagai fakta sejarah untuk menjadi seorang figur lain, selain pribadinya sendiri. Rafael Raga Maran mulai gelagaban dan tidak mampu mempertahankan berbagai tesis dalam penulisan sejarah dan bertindak sebagai seorang ahli bahasa untuk mencari kesalahan dalam pengetikan. Pada posisi ini, saya tidak ingin berdebat dengannya karena saya dan lawan debat saya, bukan ahli bahasa. Lawan debat saya bukanlah seorang ahli bahasa sekelas Sutan Takdir Alisabana, atau Goris Geraf ataupun Mohamad Yamin sehingga dalam perdebatan itu dapat ditemukan letak dan cara penulisan yang dianggap paling tepat. Lawan debat saya hanyalah seorang Rafael Raga Maran sebagai seorang individu serba terbatas.

Dalam tulisannya yang berjudul ' Ngawurisme Diantara Dongeng dan Sejarah' ia berusaha dengan keterbatasan energi, dengan daya yang serba kurang, ingin memberikan tanggapan atas tulisan saya, tetap berada pada posisi yang tidak dapat dipertanggunjawabkan secara akademis. Ketidakmampuan itu terletak pada analisanya tentang sejarah hasil imajinasi dongengnya, berada diatas dongeng lain. Apabila cerita dongeng menjadi sebuah argumentasi untuk mempertahan tesis (dongeng yang ada), maka syllogisme dari analisa itu tetap pada posisi dongeng. Dengan kalimat yang lebih sederhana, apabila seseorang yang sering berbohong maka pribadi seperti itu harus disebut penipu atau pembohong.

Ada beberapa tulisan sebagai tanggapan atas tulisan Rafael Raga Maran dalam tulisannya Ngawurisme......antara lain:
Pertama; Rafael Raga Maran menyatakan : go gersik tana tawa, belia gere go gere, belia lesa go lesa sebagai gatak dari Gresiktuli sendiri. Tapi fakta bahwa gatak seperti itu begitu asing untuk masyarakat Lewoingu dari dahulu sampai hari ini. Lepas dari rasa keterasingan itu, saya sepakat bahwa bahasa gatak adalah gaya bahasa metafora. Tetapi menjadi kelemahan lawan debat saya ini, adalah ia mengatakan bahwa karena itu adalah gaya metafora maka tidak dapat diartikan. Ia tidak memahami bahwa penggunaan bahasa metafora sebagai satu cara untuk menjelaskan sesuatu, karena pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti sebenarnya melainkan sebagai lukisan dan konotasi yang berdasarkan pada persamaan atau perbandingan. Hal itu berarti gatak dengan gaya metafora atau personifikasi tetap dapat diartikan karena memiliki makna. Bung Rafael Raga Maran....tidak ada kata atau kelompok kata yang tidak memiliki makna. Tetapi pada tahapan inilah khalayak pembaca bisa mengukur kemampuan seorang Rafael Raga Maran. Bahwa untuk melengkapi dongeng yang ada, ia menempatkan gatak karangan atau versinya, tetapi ia sendiri tidak mampu memaknainya. Rafael Raga Maran begitu sibuk dan berambisi untuk menulis sejarah tetapi ia tidak mampu memaknai berbagai simbol dalam sejarah itu. Maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Kasihan..................................................................................................

Kedua; Rafael Raga Maran yang berniat untuk mempertahankan tesisnya tentang kehadiran seorang pribadi yang anonim, dari koda khiring kiwaneng mo diamun'ng kae go mehaken hena, go pana tiro lera gere, dengan menyebut seseorang yang bernama Keropong Ema. Kali ini ia menyebutkan bahwa orang yang bernama Keropong Ema adalah adik Gresiktuli. Untuk mepertahankan tesis itu, ia mengajak saya melakukan penelitian dan verifikasi di Hewa. Baru kali ini, saya mendengar bahwa untuk mempertahankan sebuah tesis, pribadi yang bersangkutan menyuruh pihak lawan dalam perdebatan itu, membuktikan tesisnya. Bung Rafael Raga Maran..... yang benar itu adalah anda melakukan penelitian dan verifikasi, data dan hasil yang anda peroleh dikaji lebih jauh sehingga menjadi dasar dari tesis itu. Apabila anda yakin akan kebenaran itu, maka anda sampaikan dan pertanggunjawabkan kepada publik. Bung Rafael Raga Maran sebagai insan akademis
maka gunakan nalar dan cara berpikir yang sehat, jangan terbalik. Saya mengingatkan anda karena cara berpikir anda terbalik, karena cara berpikir seperti itu, sama seperti Alo Emar (alm) di Lewolaga dan Muku Gening (alm) di Riangduli.

Ketiga; untuk mempertahankan tesis ' go gresik tana tawa, belia gere go gere, belia lesa go lesa dan mo di amu'ung kae, go mehakeng hena, go pana tiro lera gere, lawan debat saya serta merta menghadirkan seorang yang bernama Keropong Ema.Pada fenomena ini Rafael Raga Maran telah membantah tulisannya sendiri, karena pada satu sisi ia mengatakan koda kiwaneng (kalimat bahasa daerah ) ini adalah gaya metafor dan tidak dapat diartikan. Tetapi dengan menempatkan pribadi anonim itu dengan sebuah nama Keropong Ema, Rafael Raga Maran bertempur melawan imajinasinya sendiri. Antara prmis yang pertama ' gatak tidak dapat diartikan' dan premis kedua ' mo diamu'ung kae...dst diartikan sebagai ada figur yang bernama Keropong Ema, mati dalam peperangan di Hewa, saling membantah bahkan saling meniadakan. Logika dan alur berpikir lawan debat saya ini sesungguhnya sedang bertempur dengan dirinya sendiri dan akhirnya terkapar tak berdaya.

Keempat
;diatas cerita tentang Gresiktuli yang berasal dari Jawa dan dalam perjalanannya menuju Lewokoli ia melalui beberapa tempat antara lain pulau Bali, pelabuhan Bajo, ile khue, Hewa, ia serta merta menempatkan Gresiktuli dan turunannya adalah Demong Pagong. Defacto istilah dan makna Demong Pagong, sangat bertentangan dengan dongeng versinya itu. Logika analisanya menjadi tambal sulam, kontrol akal yang sangat terbatas, sehingga setiap pernyataan sebagai premis, satu sama lain saling bertentangan dan saling meniadakan.

Kelima; ketika ia menanggapi rasa keterasingannya dengan daerah yang disebut lewopao yang berdekatan dengan daerah sumber mata air sedukokere'ng, ia serta merta menyatakan bahwa keluarganya adalah pihak yang paling berjasa dalam menghadirkan instalasi air bersih di kampung halaman. Lawan debat saya ini mengatakan : Bapanya Sani Maran adalah tokoh yang menanda-tangani proposal yang dikirim ke Belanda dalam upaya pencarian dana dan adiknya Yoakim Gresiktuli Maran adalah orang yang sering memperbaiki kerusakan pipa, dengan biaya perbaikan itu adalah hasil dari urunan Yoakim Gresiktuli Maran dan kawan-kawannya. Supaya kebohongan Rafael Raga Maran dapat kita saksikan maka berikut ini, saya ingin menceritakan sejarah adanya penyediaan air bersih sebagai komuditas vital di lewotanah Eputobi.

Kehadiran air bersih di lewotanah Lewoingu dimulai dari kehadiran awal Pastor Van de Burg SVD. Keberadaan Pastor Van Den Burg adalah untuk menggatikan Pastor Anton Stop SVD sebagai pastor paroki Lewolaga. Perhatian dan kepedulian tentang adanya air bersih menjadi hal utama. Ia mulai dengan membangun bak penampungan di gereja Eputobi. Pembuatan bak penampungan itu dilaksanakan oleh tukang dari missi Larantuka berjumlah 2 orang dan dibantu oleh masyarakat Eputobi selama 11 hari kerja. Pembuatan bak penampungan itu pertama tama untuk menampung air hujan. Karena ketersediaan air tidak cukup, maka ada upaya lain dengan mencari sumber mata air yang berpotensi untuk dialirkan sampai ke Eputobi. Pilihan ketika itu adalah mata air dari sedukokereng dekat areal lewopao di belakang ile ( gungung) Boleng. Untuk meyakinkan niat itu, Pastor Van Den Burg SVD. menghadirkan seorang tenaga ahli dari Belanda bernama Ir. Murrer. Berdasarkan analisa Ir. Murrer bahwa sumber mata air Sedukokere'ng mampu dialirkan sampai jauh ke Eputobi maka niat luhur itu mulai direncanakan. Perencanaan itu dilakukan bersama 4 desa yaitu Desa Leraboleng, Desa Tuakepa, Desa Tenawahang, dan Desa Lewoingu dibawa koordinasi Pastor Van Den BUrg SVD.

Pada waktu itu yang menjadi ketua stasi Eputobi adalah Bapak Gregorius Geroda Kwen (alm) dan yang menjadi kepala desa Lewoingu adalah Bapak Yohanes Ola Kumanireng, dibantu oleh sekertaris Dominikus Doweng Kelen dan Pamong Desa Bapak Yosep Torang Kelen (alm) dan Bapak Koli Koten. Karena kelima orang itu adalah tokoh lokal baik dari aspek pemerintah Desa Lewoingu dan Stasi Euptobi, maka mereka terlibat secara nyata. Kerjasama untuk mengadirkan air bersih ini, selalu dilaksanakan secara bersama dari keempat desa dibawah koordinasi Pastor Van Den Burg SVD. Untuk pembuatan proposal dibuat oleh Partor Van Den Burg dan dilengkapi dengan beberapa foto sebagai dokumen dan lampiran. Tokoh lokal yang mewakili masyarakat Lewoingu dalam penandatanganan proposal itu adalah Bapak Yohanes Ola Kumanireng selaku Kepada Desa. Bahkan untuk komunikasi dari Belanda lewat surat menyurat juga ditujukan kepada Bapak Yohanes Ola Kumanireng. Dana bantuan dari Belanda berjumlah Rp 24.000.000 ( dua puluh empat juta rupiah).

Partisipasi masyarakat dari keempat desa itu adalah tiap kepela keluarga diwajibkan mengumpulkan uang sebesar Rp. 5.000 ( lima ribu rupia) sehingga total terkumpul dari tiap desa sebesar Rp. 2.000.000.(duajuta rupiah) dikalikan dengan empat desa menjadi Rp. 8.000.0000 ( delapan juta rupiah). Partisipasi yang kedua adalah tiap kepala keluarga dari kepempat desa tersebut adalah mengumpulkan 2 blik gaba. Untuk pengumpulan uang di desa Lewoingu adalah Bapak Dominikus Doweng Kelen dan gabah dikumpulkan oleh Bapak Yosep Torang Kelen dan Bapak Koli Koten. Gabah yang terkumpul ditempatkan dibale desa, dari masing masing desa. Penanggunjawab dalam penerimaan instalasi air bersih berupa pipa di dermaga Larantuka adalah Bapak Yohanes Olah Kumanireng.

Ketika instalasi air bersih itu tiba di dermaga Larantuka, Bupati Larantuka Bapak Monteiro memanggil Bapak Yohanes Olah Kumanireng dan menanyakan proyek apa yang sedang dikerjakan. Penjelasan secara rinci disampaikan oleh Bapak Kepala Desa ketika itu membuat Bupati Larantuka ingin terlibat dalam memberikan dukungan. Dukungan dan bantuan Bapak Bupati Larantuka ketika itu adalah 110 batang pipa berukuan 31/2 din. Ketika bantuan instalasi air bersih itu tiba di Eputobi, maka gabah dan uang yang terkumpul dari keempat desa diserahkan kepada missi di Larantuka.

Tentang pemasangan pipa air bersih dari Sedukokere'ng sampai di tiap desa dilaksanakan oleh seorang teknisi yakni Bapak Aku Desantos ( Om Aku) dibantu masyarakat dari keempat desa dimaksud. Akhirnya niat luhur itu terwujud dan kita perlu bersyukur bahwa upaya dan perjuangan yang begitu besar membawa hasil dan sampai hari ini, kita semua terutama keempat desa itu bisa menikmati air bersih. Perjuangan untuk terus menjaga dan memelihara ketersediaan air bersih terus dilaksanakan. Untuk tugas pemeliharaan itu adalah tanggunjawab dari masyarakat keempat desa. Tanggunjawab itu dalam pelaksanaan dibagi secara adil oleh aparat desa masing masing. Apabila itu menjadi tanggunjawab masyarakat Desa Lewoingu, maka tanggunjawab itu akan dibagi menurut dusun atau berdasarkan kelompok kerja masing masing sampai hari ini. Apabila kerusakan itu parah dan membutuhkan biaya besar maka tanggunjawab pendanaan adalah pemerintah desa.

Sejarah pengadaan air bersih ini, dengan sengaja saya sampaikan dihadapan publik agar publik bisa menilai, siapa tokoh tokoh di Lewoingu harus dianggap sebagai pihak yang paling berjasa dalam hali ini. Sekaligus saya bermaksud untuk menjawab pernyataan Rafael Raga Maran yang mengatakan Bapaknya Sani Maran dan adiknya Yoakim Maran sebagai orang-orang yang sangat berjasa. Untuk membantu khalayak pembaca menilai apakah pernyataan Rafael Raga Maran itu sebagai sebuah kebenaran, maka ada beberapa pertanyaan penuntun berikut: Apa dasar Bapak Sani Maran membubuhkan tanda-tangan diatas materai dalam proporsal itu ? Apakah sebagai ketua stasi Eputobi ? Apakah sebagai kepala Desa Lewoingu ? Apakah betul hanya seorang Yoakim Maran yang sering memperbaiki kerusakan air itu ?

Kiranya jelas bahwa problem kejujuran seorang Rafael Raga Maran sedang dipertaruhkan. Semakin ia terlibat dalam diskusi ini, semakin nyata ia menunjukan kekuarangan dalam analisanya. Semakin sering ia berargumentasi untuk mempertahankan tesis dalam penulisan sejarah, ia semakin konyol, bahkan semakin sering ia berbohong. Dengan energi dan kemampuan yang serba terbatas ia bermegah diatas argumentasinya, tetapi akhirnya ia pun jatu oleh argumentasinya sendiri. Di dalam jurang keterbatasan itu, ia menangis karena dongeng sejarahnya tidak mampu mengubah pemahaman publik tentang sejarah Lewoingu.

Kini publik bisa mengiventarisasi kebohongannya:
Pertama; Kebohongannya tentang sejarah Gresiktuli yang berasal dari Jawa dan terdampar di Lewokoli, tetapi ia akhirnya membantahnya sendiri dengan mengatakan bahwa Gresiktuli dan keturunannya adalah Demong Pagong.
Kedua;Rafael sibuk membela dirinya dengan mengatakan bahwa Raga bukan anak Hule, tapi publik Lewoingu tidak pernah melupakan prahara nuhung teme tewong alo boleng boto.
Ketiga; Rafael Raga Maran yang menyatakan bahwa rie Limang wanang yang dimiliki oleh Bapak Boli dan keturunannya adalah bentuk pewarisan dari budaya masyarakat Lewotala. Tetapi ketika kebohongan itu dimentahkan, ia merubah pernyataanya menjadi 'rie limang wanang adalah pemberian Kesowari Bereamang. Ternyata Rafael Raga Maran begitu mudah memutarbalikan fakta. Tapi disitulah letak kebohongannya.
Keempat; Pengingkaran tentang kejadian di tahun 1974 yakni ketika dihadapan para pemuka adat Bapa Sani Maran ingin melecehkan kedua orangtua kami Yosep Gega Kelen dan Yosep Torang Kelen, sebagai sesuatu yang tidak pernah terjadi, padahal fakta itu masih teringat jelas dalam benak kita semua.
Kelima; kebohongan tentang peran orangtuanya dalam pengadaan instalasi air bersih dengan menandatangani proposal untuk dikirim ke Belanda dan adiknya Yoakim Maran sebagai orang yang sering memperbaiki pipa air dengan menihilkan peran orang lain, ternyata dapat dimentahkan begitu mudah.

Kini masih ada fakta lain yang kita harapkan dari kejujuran seorang Rafael Raga Maran !

1. Dimana meriam tempo dulu ( pesa) itu berada ?
Kembalikanlah artefac itu karena itu milik umum, bukan milik pribadi atau keluarga.
2. Ada peristiwa apa dengan masyarakat Tenawahang, terutama suku Open ?
Mengapa masyarakat Eputobi harus denda dengan satu gading ?
3. Siapa biang kerok, sehingga koke Dungbata dibakar oleh Belanda ?
Siapa penyebab Baleng Emar mati sia-sia karena dinjak oleh Kompeni ?
Siapa biang kerok yang berakibat Dalu Kumanireng cs. dipenjara di Kupang oleh Kompeni ?

Menjadi sangat arif, bila kita tetap dan terus menunggu, karena mungkin lawan debat saya ini lupa, tetapi bila dengan sengaja ia melupakannya, itu tidak menjadi masalah karena toh publik Lewoingu juga sudah mengetahuinya. Tetapi berpikir positif itu adalah kearifan, sehingga kita terus berharap semoga pada tulisannya yang akan datang, ia dapat mengatakannya dengan jujur, sehingga semua kebohongan yang telah dilakukannya bisa diampuni.


Biarkanlah pohon ara itu bertumbuh, karena dihari esok pohon ara itu masih bisa berbuah.

Salam...............................untuk Sdr Rafael Raga Maran

Dari Marselinus Sani Kelen......... Jakarta.








Kamis, 20 Agustus 2009

SIAPAKAH RAGA ITU ?

Untuk sdr. Rafael Raga Maran

Laga ae niku kola
Huke kia baru buko
Balo kia baru napang
Wato pitang tanah bori

Saya mengawali tulisan ini dengan meletakan empat baris koda khiring sebagai bentuk nasihat yang semestinya dipegang teguh dalam kebersamaan hidup di lewotanah. Koda khiring dalam bahasa daerah yang ditulis dalam empat baris memiliki makna. Tiga baris pertama adalah bagian pengantar yang menyatakan bahwa dalam setiap penuturan atau penulisan sejarah perlu ada prioritas terhadap setiap tahapan sejarah, karena materi sejarah tersebut bernilai/bermanfaat, dipihak lain ada materi sejarah yang perlu ditempatkan pada prioritas kedua atau ketiga karena tidak bernilai/bermanfaat. Ketiga baris pertama mau menjelaskan berbagai momen sejarah mana yang diutamakan dan mana yang perlu dikesampingkan atau perlu dihilangkan karena berhubungan dengan nama baik atau demi keluhuran martabat pelaku sejarah itu. Sedangkan baris keempat adalah nasihat agar setiap aip atau perilaku para pelaku sejarah yang dinilai dan dianggap mengurangi hakikat dan keberadaannya sebagai pemimpin. Momen sejarah berupa aib itu, terus menerus ditutup-tutupi atau dirahasiakan karena menyangkut keberadaan diri para pelaku sejarah sebagai raja, penguasa atau kebele'ng dll.

Dari leluhur sampai pada orangtua kita, aip itu selalu ditutupi agar kebersamaan mereka terus berada dalam bingkai kehidupan yang satu sama lain saling menjaga harkat dan martabat sehingga disana ada sikap untuk saling menghormati. Waktu yang terus berjalan, ternyata ada pihak pihak tertentu, ingin menggunakan fenomena nasihat itu untuk menuturkan sejarah dengan versi yang berbeda. Dengan berlindung dibalik nasihat nan arif, pribadi pribadi seperti Rafael Raga Maran ingin memutar balik fakta sejarah dengan maksud agar mereka diakui sebagai penguasa adat dan kebele'ng raya'an. Tetapi mereka lupa bahwa aib yang dengan sengaja ditutupi oleh leluhur, diceritakan secara internal dalam keluarganya masing-masing sesungguhnya untuk menjaga nama baik keturunan bapak Gresiktuli terutama suku Ata maran. Tetapi sudahlah, nasihat yang semestinya harus kita jaga ternyata keturunan Bapak Raga sendiri ingin agar aib itu dibongkar dan diketahui publik, maka saya pun bersyukur karena tindakan saya dengan berbagai tulisan ini hanya membantu saudara saya Rafael Raga Maran untuk selalu ingat dan tahu diri.

Rafael Raga Maran begitu sibuk membela diri untuk mempertahankan dirinya sebagai kebele'eng rayaha'n atau sebagai Raya Lewowerang karena ia adalah keturunan bapak Raga. Bahwa Bapak Raga adalah anak kandung dan anak sulung dari bapak Sani, sehingga tak henti-hentinya ia mempertahankan diri sebagai weruing ( hak kesulungan). Melalui doktrin tentang sejarah palsu dari kakeknya Nuba Maran dan bapaknya Bapanya Sani Maran, Rafael Raga Maran seakan-akan berdiri diatas foundasi Raya Lewowerang dengan segala atribut sebagai kebele'ng. Ia tidak menyadari bahwa sejarah palsu yang diwariskan itu telah menempatkan dirinya sebagai Raya Lewowerang dan kebele'ng yang kering kerontang. Tidak ada dalam kamus masyarakat Lamaholot termasuk masyarakat Lewoingu mengenal Maran sebagai Kebele'ng rayaha'ng atau Raya Lewowerang, justru yang dikenal adalah "ATA MARAN".

Kembali pada judul ' Siapakah Raga Itu ?
Kali ini, saya tidak lagi ingin menulis sejarah tentang asal-usul Bapak Raga karena lewo gole roiro kae ( publik Lewoingu sudah mengetahuinya) apalagi pada tulisan tulisan terdahulu cerita itu sudah disampaikan. Dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan beberapa hal, sebagai bentuk tanggapan atas tulisannya dengan judul: Suara Siapakah Itu ?

Pertama, untuk mempertegas dan meyakinkan pembaca akan status dan posisi Bapak Raga, Rafael Raga Maran Mengajukan tiga buah pertanyaan:
Masa' kalau Raga itu anak Hule, dia bisa menjadi Raya Lewowerang ? Masa' dalam urusan yang berkaitan dengan kekuasaan pada masa itu, seorang adik yang memberi legitimasi tradisional bagi kekuasaan kakaknya ? Masa' dalam budaya patriarkat yang menekankan hak sulung (weruing) atas kekuasaan adat, seperti yang berlaku di Lamaholot termasuk di Lewoingu, seorang adik berhak mengatur-ngatur kakaknya dalam urusan adat yang demikian penting itu ? Untuk menjawab pertanyaan Rafael Raga Maran yang begitu sederhana ini. saya pun menjawabnya dengan tiga buah pertanyaan antara lain: Apakah seorang anak 'kenowa' bisa jadi Raya Lewowerang ? Apakah anak tiri dapat mewariskan kekuasaan seorang bapak (bukan bapak kandung) dan melupakan anak kandungnya sendiri ? Apakah budaya patriarkat menempatkan anak dari hasil perselingkuhan atau hasil dari 'titipan' orang lain dalam urusan adat istiadat yang demikian penting itu ?
Supaya Rafael Raga Maran bisa tahu diri, bahwa sejarah kelam yamg menghadirkan seorang Raga sudah menjadi milik publik. Apabila kita berbicara atau menulis dalam versi yang berbeda maka yang muncul adalah cemoohan dan celotehan. Bahkan menjadi sangat terhina apabila celotehan celotehan itu melekat pada diri kita karena dianggap sebagai penipu.

Kedua; Rafael Raga Maran yang terus mengingkari prahara ' nuhung teme' tewong, alo boleng boto' dengan mengandaikan ada prahara lain. Prahara versi Rafael Raga Maran adalah peperangan di antara Gresiktuli dan sekutunya melawan Paji dan adanya entitas dalam sekutu Gresiktuli saling mengadu kekuatan ilmu. Apabila kita telusuri dua prahara versi Rafael Raga Maran ini, maka kita akan menemukan alur dan pola berpikirnya yang tak terarah. Ketika ia menempatkan prahara pertama sebagai peperangan dengan Paji yang berati bahwa perlu ada kekuatan bersama dan utuh dari semua penghuni lewotanah, tetapi dipihak lain ia juga menyatakan bahwa dalam kebersamaan itu ada permusuhan. Logika analisanya dengan dua premis yang ada satu sama lain saling bertentangan, bahkan saling meniadakan. Menjadi nyata bahwa Rafael Raga Maran sedang bertempur dengan dirinya sendiri dan akhirnya luntur mejadi sebuah cerita dongeng belaka.

Ketiga
; dalam tulisan yang sama, lawan debat saya mengatakan '
..... dan disitu barulah mereka berpindah ketempat yang lebih ideal, tempat yang kemudian disebut Dungtana. Perkampungan yang dibangun disitu disebut Lewoingu tetapi dipihak lain dari penulisan itu ia juga mengatakan '... mereka yang tadinya bermukim di puncak Ile Hingangpun merasa perlu turun dan bergabung dengan para demong yang lainnya di Lewowerang-Lewoingu (Dungbata-Lewoingu). Bila kita telusuri isi cerita ini, ternyata Rafael menunjukan beberapa kekurangan dari pemahamannya tentang sejarah. Rafael Raga Maran serta merta merangkai istilah Dungtana sebagai padanan dengan Lewoingu tetapi pada sisi lain ia juga merangkai Lewoingu pada kata Dungbata sehingga menjadi Dungbata-Lewoingu. Fakta sejarah menyatakan pendirian dua koke bale itu, terlaksana pada fase yang berbeda. Kedua koke juga menjelaskan diferensiasi fungsi dan peran yang berbeda dari suku yang ada baik di Dungtana maupun Dungbata. Dalam kegelapan analisannya itu ia mengandaikan bahwa di Lewowerang sudah ada yang tinggal dan menetap disitu. Analisa yang begitu gelap, berakhir pada sebuah pengandaian.

Rafael Raga Maran yang bermaksud ingin meyakinkan publik tentang sebuah fakta sejarah, ternyata hanya sampai pada suatu sikapnya yang berupa pengandaian. Bila lawan debat saya ini mengandaikan besok matahari terbit itu adalah kepastian, tetapi kalau ia mengandaikan besok akan turun hujan, itu bernilai kemungkinan. Tentang peristiwa yang terjadi kemarin atau tentang sejarah yang terjadi pada masa lalu bukanlah sebuah pengandaian tetapi kepastian. Saya hanya ingin berpesan bahwa anda salah kalau anda berdebat dengan saya, apalagi tentang sejarah, karena anda bukan siapa-siapa. Perbanyaklah referensi anda dengan demikian anda bisa diterima sebagai teman diskusi yang sepadan.


Salam ...........dari Marselinus Sani Kelen .... buat saudaraku Rafael Raga Maran.









Senin, 10 Agustus 2009

MERETAS BATAS DIANTARA TERSANGKA DAN TERPIDANA

Pengantar

Kasus kematian alm. Yoakim Gresiktuli Maran ( YGM) menjadi sebuah fenomena menarik untuk terus dikaji. Proses hukum yang terus berlanjut dengan membebaskan para tersangka, dan pemanggilan oknum lain menjadi satu fenomena baru dan menarik perhatian tidak hanya pihak para penegak hukum atau pihak keluarga tetapi juga pihak lain yang beremphaty atas kasus kematian tersebut. Emphaty itu muncul karena ada harapan bagi terlaksananya sebuah proses hukum yang berkeadilan, menganngkat harkat dan martabat manusia sebagai makluk Tuhan. Kondisi ini mengundang saya untuk turut terlibat dalam proses diskusi yang sedikit banyak berpijak pada aspek hukum, sehingga ada proses sharing diantara kita dalam mencari penyelesaian hukum yang benar benar menyentuh rasa dan nilai keadlan itu.

Ketika kita harus terlibat dalam diskusi tentang fenomena pidana dan tersangka, maka orientasi pemikiran kita akan diarahkan kepada aspek hukum pidana. Maka pemberlakuan hukum pidana seharusnya memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, harkat dan martabat manusia, sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Artinya acara pidana bertujuan agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing masing kerarah tegakmantapnya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum, demi tegaknya Republik Indonesia sebagai negara hukum sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Maka menjadi nyata pemberlakuan suatu hukum pidana kepada setiap orang mengandaikan adanya perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan hukum. Bahwa setiap orang yang disangka ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan hukum yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap (Asas praduga tak bersalah). Demikianpun kepada setiap orang yang ditangkap ditahan, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya, atau hukum yag diterapkan, wajib diberi ganti rugi dan rehabilitasi sejak ditingkat penyidikan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaian menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, maka wajib dituntut, dipidana, dan atau dikenakan hukum administrasi.

I. Fenomena Kematian YGM dan Para Tersangka.

Bila analisa kita diarahkan kepada kematian YGM dan para tersangka, maka ada fenomena yang harus dikaji lebih serius. Benarkah tindakan penangkapan dan penahanan kepada Mikhael Torang Kelen Cs ? Dalam UU No 8 tahun 1981 tentang kitab Hukum Acara Pidana pada pasal 1 butir 14 dinyatakan bahwa tersangka adalah orang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku. Pada pasal 17 Bukti permulaan yang dianggap cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindakan pidana ( sesuai pasal 1 butis 14). Bukti permulaan yang dipakai dalam penangkapan Mikhael Torang Kelen Cs adalah didasarkan pada karena keadaan hubungan konflik terbuka yang terjadi dalam prsoses pemilihan kepala desa. Keadaan itu kemudian diperkuat dengan sebuah kerasukan yang seolah olah menjelaskan tentang siapa sesungguhnya pelaku pembunuhan itu. Menjadi pertanyaan apakah penangkapan dengan bukti awal itu seperti itu dapat diterima dalam konteks negara hukum ? Dalam konteks hukum yang berlaku dalam negara hukum seperti Negara Republik Indonesia fenomena kerasukan bukanlah kategori bukti awal tetapi sebagai petunjuk awal. Karena masih sebatas petunjuk awal maka para penyidik tidak berhak untuk menangkap apalagi menahan dan menganggapnya sebagai tersangka. Dalam batasan itu penyidik berkewajiban mencari keterangan lanjutan sehingga menjadikannya sebagai bukti awal yang dianggap cukup. Pihak pihak yang kepadanya dianggap sebagai tersangka dan ditahan hanya apabila ada bukti awal dari keterangan saksi, keterangan tersangka, ada hasil fisum, ada hasil laboratorium, ada alat bukti, dan ada pengakuan tersangka yang semuanya mengarahkan penyidik pada pihak pihak yang harus ditangkap dan ditahan. Menjadi jelas bahwa penangkapan terhadap Mikhael Torang Kelen Cs menjadi salah satu kelalaian dan kekeliruan pihak penyidik yang semestinya perlu dipertangunjawabkan secara hukum.
Mengapa pihak Mikhael Torang Kelen Cs kemudian dibebaskan dan dikeluarkan dari tahanan ? Pasal 29 butir 6 UU No 8 Tahun 1981 menyatakan setelah waktu 60 hari walaupun perkara belum selesai diperiksa atau belum diputuskan tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Menjadi pertanyaan mengapa pihak penyidik menggunakan pasal undang undang ini sehingga mengeluarkan pihak Mikhael Torang Kelen Cs dari tahanan dan apakah status mereka tetap sebagai tersangka atau bebas demi hukum ? untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dipahami lebih dahulu syarat yang seharusnya ada bila seseorang harus dipidanakan: Pertama Unsur actus reus yaitu perbuatan pidana ( criminal act) yaitu tindakan yang melawan hukum. Kedua Unsur strafbaarfeit yakni telah terbukti yang dilakukan oleh pihak tersangka sebagai tindakan pidana. Ketiga; unsur strafbaarheid yakni ada kesimpulan dari proses penyidikan itu dipertimbangkan bahwa pihak tersangka itu bersalah. Keempat; Unsur Mens rea, menyangkut unsur pembuat delik hukum diberlakukan kepada pihak tersangka, antara lain kemampuan beranggujawab pembuat delik dan kesalahan melawan hukum sebagai niat, sadar / sengaja akan kepastian dari delik hukum yang ada, sengaja/sadar akan kemungkinan terjadinya perbuatan pidana.

Dari unsur unsur pemidaan ini, maka dapat dianalisa bahwa ketika kematian YGM sebagai tindakan pembunuhan maka telah ada perbuatan pidana. Menjadi persoalan siapa subyek pelakunya ? Proses penyidikan oleh aparat penegak hukum untuk mendapatkan bukti terhadap orang yang telah ditangkap dan ditahan telah berjalan dan dalam proses itu tidak tebukti bersalah. Kepada keempat tersangka tidak diketemukan unsur unsur perbuatan pidana oleh karena itu tidak patut untuk dipidanakan. Fakta bahwa pihak pengadilan menolak berkas perkara menunjukan bahwa pengadilan tidak mungkin akan membuktikan adanya kesalahan jika pihak pengadilan telah mengetahui dari berkas itu tidak ada perbuatan pidana dari para tersangka. Menjadi jelas tanpa kejahatan maka pidanapun tidak ada( nulla poena sine crimine) dalam diri tersangka. Maka menjadi jelas bahwa dibebaskannya keempat tersangka itu adalah bebas demi hukum

Fenomena hukuman sosial yang terus berlanjut dengan menyatakan Mikhael Torang Kelen Cs sebagai penjahat, pembunuh bagi saya adalah sikap kekanak-kanakan. Sifat yang keluar dari ketidakpahaman tentang hukum yang berlaku. Penafsiran tentang delik hukum pidana bukan milik umum, tetapi bersifat condition sine qua non artinya terbatas dan hanya dikuasai oleh para penyidik, penuntuk umum dan hakim. Penafsiran dalam kasus hukum pidana bukan rationale interpretatie yang dapat dilakukan oleh semua orang karena ia merasa bisa melakukan itu. Bahkan lebih tajam lagi Montesquieu dalam bukunya L' EspritDes Lois (1748) menyatakan bukan hakim dan para penegak hukum yang berwewenang menentukan suatu delik perkara, tetapi undang undang. Sehingga peradilan pidana menjadi une puissance is terible parmi les hommes yaitu tidak ada sikap sewenang wenang. Pengadilan dan semua aparat penegak hukum harus beregang secara ketat ( strict) pada undang undang yang berlaku. Dengan demikian keputusan semata mata harus un texte precis de la lois ( berdasarkan kepastian hukum). Pemikiran aparat penegak hukum harus tertuju pada satu syllogisme, artinya kaidah undang undang pidana menjadi premis major, peristiwa yang terbukti menjadi premis minor dan patut dihukum atau dipidananya seseorang menjadi kesimpulan. Maka menjadi sia sia kita menghujat orang karena kita akirnya terjebak dalam perbuatan dosa kaum farisi karena hanya bisa melihat orang lain tanpa melihat dan mengoreksi diri sendiri.

II. Analisa sebab - akibat ( causaliteit) kematian YGM.

Ada hal menarik yang perlu direspons positif, ketika pihak penyidik membuka proses penyidikan melebar, tidak terbatas pada pihak yang disangkakan selama ini. Tindakan penyidik semacam ini menjadi salah satu bentuk dari sebuah proses analisa causalitas terhadap delik hukum pidana, artinya demi penyelesaian proses hukum itu maka ruang lingkup penyidikan harus diperluas. Untuk terlibat dalam diskusi causalitas ini, ada beberapa teori mejadi dasar pijakan kita.

A. Teori Van Buri ( M. Van Buri 1873)
Bahwa semua syarat, semua faktor yang turut serta bersama sama menyebabkan suatu akibat dan tidak dapat dihilangkan begitu saja, dari rangkaian faktor yang bersangkutan adalah sebab dari akibat itu. Dari konsep teori yang ada, maka kasus kematian YGM perlu dilihat berbagai faktor yang menyebabkan akibat kehilangan nyawanya. Artinya berbagai fenomena yang telah dilalui oleh alm. YGM perlu diteliti dan diselidiki. Setiap kebersamaan dengan YGM enta hubungan yang bersifat konflik terbuka atau konflik tersebung bahkan hubungan pertemanan biasa sekalipun turut diselidiki. Atas dasar teori ini maka semua bentuk kebersamaan yang ada adalah faktor yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja, bahkan dari faktor yang secara kasat mata tidak ada konflik didalamnya terpacung konflik yang luar biasa.

B. Teori Mengindividualisir ( Birk Meijer 1885)
Inti teori ini menyatakan bahwa dari rangkaian faktor yang diterima sebagai causa (sebab) maka perlu dicari faktor yang dipandang paling berpengaruh atas terjadinya akibat yang ada. Berdasarkan teori ini maka orientasi penyidikan harus diarahkan kepada salah satu causa dari kebersamaan dengan alm. YGM, artinya kebersamaan itu lebih berpotensi terjadinya sebuah akibat. Dalam logika konflik sebab akibat, ketika konflik menyeret kelompok masyarakat, maka menjadi kecil kemungkinan untuk membangun kebencian antar pribadi, itu berarti menjadi sangat kecil kemungkinan untuk memberikan sebuah bentuk ancaman secara pribadi apalagi pada tindakan pembunuhan. Dalam konteks ini para penyidik mulai terlibat untuk menganalisa berbagai bentuk kerjasama ataupun bentuk usaha apapun yang melibatkan alm YGM yang didalamnya tersimpan konflik secara personal.

III. Yurisprodensi Hukum Pidana

Dalam Yurisprodensi hukum pidana ada tiga teori yang dapat dipakai dalam analisa tentang kematian YGM.

A. Teori Perbuatan Materil ( Leer van de lichamelijke daad)
Teori ini berfokus pada delik hukum ( locus delicti) adalah tempat pembuat melakukan segala sesuatu yang kemudian dapat mengakibatkan delik hukum. Artinya tempat dimana sebuah akibat dari sebab, berhubungan dengan faktor kebersamaan alm YGM dalam keseharian hidupnya. Atau faktor kebersamaan lain entah berupa kerjasama apapun yang berdekatan dengan akibat kematian tu.

B. Teori alat yang dipergunakan ( Leer van het instrument).
Teori ini menjelaskan sebuah delik hukum bermula dari alat yang dipergunakan dan telah menyelesaikan sebuah akibat. Dengan perkataan lain yang menjadi pusat penyidikan adalah alat yang dipergunakan ( uitwaking) itu ditemukan. Atas dasar teori ini maka penyidikan kasus kematian YGM dapat dimulai dari dimana alat itu ditemukan ? siapa yang menemukan ?, mengapa alat tersebut disebut alat bukti ? dan atas dasar apa alat bukti itu diyakini sebagai alat bukti ? Pertanyaan pertanyaan itu seharusnya menjadi pusat perhatian untuk mengarahkan penyidikan kepada subyek yang sesungguhnya.

C. Teori Akibat ( Leer van het gevolg)
Teori akibat memusatkan perhatian pada akibat dari perbuatan itu terjadi. Berdasarkan teori ini maka fokus perhatian penyidik tidak lagi terbatas pada informasi yang ada, tetapi mulai melebar membuka ruang penyidikan pada rangkaian faktor sebagai sebab dan berakibat berdekatan dengan kebersamaan dari faktor yang ada. Karena dari faktor yang ada, dengan akibat yang berdekatan secara teritorial, memiliki hubungan causalitas lebih bersifat langsung. Artinya konflik yang mungkin terpendam dalam setiap kerjasama antara alm YGM dengan siapun tidak bisa diabaikan begitu saja, justru dalam kerjasama yang bersifat personal itu memiliki sisi konflik dengan tingkat determinasi yang bersifat dominan dan sangat memungkinkan terjadinya akibat.

Penutup
Tulisan ini bukanlah pendapat hukum tapi lebih sebagai apresiasi terhadap sebuah proses hukum yang ada. Apresiasi ini juga bertujuan untuk memperkaya kasana kita dalam melihat dan membantu proses hukum dari kematian alm. YGM, dengan demikian proses hukum ini tidak mengalami kondisi yang stagnan, tetapi terus menerus berjalan secara jujur dan berkeadilan. Lebih dari itu tulisan sederhana ini juga sebagai persembahan doa buat alm YGM semoga jiwanya diterima disisi Tuhan. Sekaligus berharap agar para pelaku kejahatan yang menghabiskan hidup YGM. mendapat hukuman yaang berat, tidak hanya diakhirat tetapi juga di dunia yang fana ini.
Buat semua saudaraku yang selama ini menempatkan saya sebagai pembela Mikhael Torang Kelen, saya menitipkan salam............
Saya bukan bermaksud membela siapun, yang saya bela adalah kebenaran, dan pembelaan itu demi keadilan hukum bagi semua pihak.

Membela penjahat adalah penjahat juga..................
membangun opini publik sehingga orang lain yang tak bersalah dianggap sebagai penjahat adalah penjahat juga............
Dengan ratio dan nalar yang konyol, melakukan pembusukan karakter pribadi orang lain adalah sebuah kebusukan juga..................
Yang benar adalah.........................
Berikan kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan kepada ALLAH apa yang menjadi milik ALLAH...................
Yang benar adalah....................
Ketika itu delik hukum pidana maka semua penafsiran adalah condition sine qua non dan bukan rationale intrepretatie.....................

Salam .....................Marselinus Sani Kelen............................ Jakarta.






MENGINGKARI FAKTA REALITAS KEBOHONGAN

Ternyata untuk menguji tesis Rafael Raga Maran, tidak perlu kita terlalu sibuk untuk membuka dan membolak balik berbagai teori. Tidak perlu terlibat dalan proses dialektika gaya Hegel, tidak perlu kita gunakan teori sebab akibat ( causaliteit) gaya M. Van Buri, tidak perlu kita membolak balik teori Van Kries tentang generaliscrend yang subyektif adquaat, tidak perlu kita menggunakan pendekatan gaya Rumeling tentang objectif nachitraglicher prognose. Ternyata untuk mematahkan segala tesisnya begitu mudah, sederhana dan sangat simple; yakni hanya dengan menyodorkan kepadanya satu fakta yang terjadi kemarin soreh, ia akan serta merta mengingkari fakta dan peristiwa itu.

Fakta peristiwa tertanggal 20 Juli 1974 yang masih hangat, karena banyak saksi mata yang masih hidup, termasuk penulis sendiri, begitu mudahnya diingkari, apalagi kalau fakta sejarah tempo dulu yang terjadi ratusan tahun bahkan ribuan tahun silam. Fenomena pengingkaran akan fakta dan peristiwa yang terjadi, menjadi gambaran tentang nilai kredibilitas atau kepercayaan terhadap berbagai tulisan yang disampaikan oleh Rafael Raga Maran. Artinya kita telah dihadapkan pada sebuah fakta tentang siapa pribadi seorang Rafael Raga Maran dari semua cerita dan berbagai pengingkaran yang ada. Pada aspek inilah khalayak pembaca dapat mengukur seberapa besar tingkat validitas dan reliabilitas berbagai tesisnya untuk diterima sebagai sebuah kebenaran sejarah. Logika sederhana akan menempatkan berbagai tesis Rafael itu dalam sebuah bingkai ketidakpercayaan, bahkan pengingkaran itu telah mengakibatkan bahwa dalam dirinya, ia membangun sebuah sterotipe sebagai pribadi yang tak tapat dipercaya.

Bahwa untuk menutup segala kekuarangan itu, ia serta merta membangun pembelaan dirinya dengan menyeret khalayak pembaca melalui upaya reduksi pemikiran dan opini untuk menempatkan suku Kebeleng kelen sebagai pelaku kejahatan. Kejahatan apa itu ?
Bila reduksi pemikiran itu saya balikan kepadanya dan mengatakan Si X Ata Maran telah menggelapkan salah satu artefact sejarah Lewoingu yaitu 'pesa' ( meriam tempo dulu), apakah saya harus mengatakan bahwa tindakan itu dilakukan oleh semua keturunan Bapa Raga atau Ata Maran ? Ingat gaya bahasa totem semacam itu adalah gaya infantil/ kekanak-kanakan dan sangat menyesatkan.

Dari upaya pembelaan yang sama, ia menuduh saya menghina leluhur Gresiktuli, Apa yang saya hina ? Fakta dipihak lain ketika ia bercerita tentang dongeng sejarah Gresiktuli yang berkelana dan terdampar di Lewokoli, sehingga ia terjebak dalam dongengnya itu sebagai bentuk penghinaan terhadap Gresiktuli dan semua keturunannya sebagai kelompok tena mao. Apakah itu bukan penghinaan, Rafael...? Lagi lagi ia menuduh saya melakukan provokasi dan merusak hubungan dari keturunan Bapa Yosep Gega Kelen dan keturunan Bapa Sani Maran. Anda Keliru besar ...... Dengan menyebut nama Kesowari Bereamang sebagai pemilik rie Limang wanang Koke Dungbata, anda telah menabur dan memupuk konflik dalam hubungan itu sendiri. Bahkan sebelum kedua orangtua kami meninggal, semua pesan tentang sejarah dan berbagai kerikil kehidupan di lewotanah tertanam dengan rapi dalam benak saya termasuk kasus-peristiwa tertanggal 20 Juli 1974 itu.

Menjadi pertanyaan saya....
Mengapa anda tidak menyinggung koke yang dibakar ? Mengapa anda tidak menyinggung denda kepada masyarakat Tenawahang terutama Wungu Open ? Mengapa anda tidak Menanggapi Pesa ( merian tempo dulu) yang saat ini tak tahu rimbanya ?
Apakah anda tidak tahu ? atau dengan sengaja anda pura pura tidak tahu ? atau mungkin anda malu untuk membuka semua itu ?

Ape..... go maring mo 'Wato pitang tanah bori' opanele wewa goeng buka hala !

Satu hal yang arif bagi anda adalah diam dan terus diam, renungkan teruslah merenung, karena apapun yang anda katakan sudah diketahui khalayak Lewoingu, sehingga menjadi tidak bermakna.
Mengapa...? Dengan mengingkari fakta, anda telah membuka diri, bahwa berbagai tesis anda adalah fakta dan ekspresi dari dongeng imajinasi, sehingga tidak dapat dipercaya. Bukan saya yang memvonisnya itu, tapi anda membuka diri, sehingga semuanya menjadi nyata bahwa anda sulit untuk dipercaya.


Salam.........................
Marselinus Sani Kelen.







Minggu, 09 Agustus 2009

KOMEDI DIANTARA DONGENG DAN SEJARAH

Masih juga belum selesai gelak tawa cerita komedi dari dongeng sejarah Lewokoli, salah satu dari generasi kontemporer Lewoingu yang bercerita tentang pasar terkenal di Lewokoli tempo dulu. Dari imajinasi dongennya yang kosong, ia bercerita tentang fenomena pasar Lewokoli yang ramai, ada kereta kuda, ada dokar/ delman, ada ratusan bahkan ribuan orang hilir-mudik datang dan pergi ke Lewokoli, karena Lewokoli adalah pasar yang terkenal, kota dagang dan tempat strategis baik dari segi ekonomi, politik dan budaya. Tapi apa faktanya ? apakah cerita itu memliki bekas - bekas sejarah sehingga dapat diterima sebagai indikator untuk menilai sebuah fakta sejarah ? Ternyata ketika logika sehat melakukan analisa causalitas antara fakta dan cerita, maka hanya ada satu jawaban; itu adalah dongeng yang tak kesampaian sehingga jatu menjadi lelucon dan guyonan , sehingga masyarakat awam Lewoingu tertawa dan terus tertawa.

Rasah geli itu belum selesai ....................
Hari ini muncul lagi komedi baru; masih dari master pesona Gresiktuli sang Demong Pagong itu. Imajinasi dongengnya menceritrakan bahwa Gresiktuli berasal dari tanah Jawa, berkelana kearah timur, melewati pulau Bali, singgah di pelabuhan Bajo, sampai di Hewa dan ile khue dan akhir ceritra terdampar di Lewokoli. Bila kita mengikuti alur ceritanya maka Lewokoli adalah sebuah tempat dengan pesona luar biasa, punya daya tarik mengalahkan pesona pulau dewata dan tempat lain, sehingga menggoda Gresiktuli utuk menetap ditempat yang namanya lewokoli.
Dari cerita yang sama penulis membubuhi dongengnya dengan kata bahasa daerah khas lewoingu ' go gresik tanah tawa, belia gere go gere, belia lesa go lesa', selanjutnya mo di amuu'ng kae, go mehakeng hena, go pana tiro lera gere' . Dua kalimat dalam bahasa daerah ini disinyalir sebagai bahasa Gresiktuli yang bertujuan untuk meyakinkan para pembaca untuk menerima dongeng dari hasil imajinasi kosongnya ini.

Mengapa tesis ini menjadi sebuah dongeng ?
Pertama : Sang penutur dan penulis cerita mengandaikan bahwa Gresiktuli yang mengalami hidup dan mati secara bergantian dan berkesinambungan ' belia gere go gere belia lesa go lesa' Gresiktuli mengalami kehadiran dan kepergian berkali kali mengikuti fenomena bintang besar (belia). Gresiktuli yang fakta mejadi Gresiktuli yang abu abu karena hdup diantara gelap dan terang. Tanpa ia sadari, dengan menggunakan bahasa daerah, ia terjebak dalam logika imajinasinya, karena ia tidak mampu menunjukan apa substansi yang ingin disampaikan dengan istilah itu. Artinya logika imajinasinya mengalami jalan buntu dan terkapar tak berdaya. Kedua: Sang imajinator mengandaikan bahwa Gresiktuli mengalami kesedihan karena seolah olah ada pihak lain yang dekat dengannya mengalami kematian ' mo di amu'ung kae go mehakeng hena, go pana tiro lera gere'. Penulis cerita serta merta menyertakan orang lain dalam kebersamaan perjalanan dengan Gresiktuli, tetapi kebersamaan itu menjadi anonim, kebersamaan itu ada dalam ketiadaan, artinya penulis mau menyatakan bahwa ada orang lain yang bersama Gresiktuli, tapi orang itu sudah mati. Logika nalar penulis sebenarnya sedang terjepik bahkan terkekang oleh logika nalar yang semrawut, sehingga alur dongengnya mejadi lepas dan tercecer. Penulis tidak menyadari bahwa analisa tesis nya berada diatas premis yang tidak hanya rapuh tapi juga konyol. Ketiga Perjalanan Gresiktuli dalam cerita itu belum sampai di Lewokoli tetapi penggunaan bahasa daerah adalah bahasa khas Lewoingu, bahasa semacam itu tidak dikenal di Hewa, di pelabuhan Bajo apalagi di Bali. Artinya penulis mulai membuka diri bahwa cerita yang disampaikan hanyalah rekayasa sehingga tidak dapat dipercaya. Penulis tidak menyadari bahwa penggunaan bahasa daerah yang khas Lewoingu oleh Gresiktuli sebelum ia menginjakkan kakinya di Lewokoli adalah premis yang tidak logis dan tidak masuk akal. Tetapi menjadi nyata bahwa peulis melakukan tindakan rekayasa dan manipulasi, dan semuanya itu adalah ekspresi dari kebohongan seorang Rafael Raga Maran. Keempat Penulis mengingkari ada daerah Lewopao, sebagai bentuk ketidaktahuan penulis tentang wilayah disekitar Lewoingu. Fakta wilayah yang bernama Lewopao itu ada walaupun bukan wilayah newa nura Lewoingu, lewopao disebutkan sebagai tempat persinggahan Gresiktuli dalam proses perburuan binatang liar. Kalau anda tidak mengetahui daerah itu bagi saya wajar karena anda tidak bersahabat dengan masyarakat lewoingu dalam memperjuangkan air bersih sebagai komoditi vital masyarakat Lewoingu dari dahulu sampai hari ini. Kelima; Dongeng penulis tentang Gresiktuli yang musafir, berkelana dan terdampar di Lewokoli, adalah kekeliruan yang fatal karena analisa itu menempatkan Gresiktuli dan semua keturunanya sebagai kategori masyarakat tena mao, tanpa anda sadari bahwa logika kekoyolan anda ibarat meniti bui diatas bara api, karena implikasinya adalah penghinaan pada Leluhur Gresiktuli dan semua keturunannya termasuk anda menghina diri sendiri. Keenam; Dipihak lain, serta merta penulis menempatkan Gresiktuli dan semua keturunannya adalah 'Demong Pagong', menjadi nyata bagi saya bahwa seorang Rafael Raga Maran tidak memahami apa makna dan hakikat demong pagong yang diberikan kepada Gresiktuli dan semua keturunanya. Lalu apa artinya anda berbicara tentang sejarah kalau berbagai simbol yang ada hari ini anda tdak memahaminya

Bung Rafael !
Pernakah anda bertanya, mengapa Gresiktuli dan semua keturunannya diakaui oleh raja Larantuka, terutama oleh Fransisco Adobala ( lengkapnya Don Fransisco Olla Adobala Dias Viera Ghodinho) sebagai demong pagong bahkan diangkat menjadi kakang untuk wilayah Lewoingu dan sekitarnya. Bahkan dari Pati Golo Arakiang dan istrinya Wato Bale Ata Utan serta semua anaknya Kudi Lelen Bala, Kudi Padu Ile, Laha Lapan Dore telah ada hubungan yang harmonis dengan Gresiktuli dan keturunanya, sehingga dikenal gatak Lewoingu tentang raja Larantuka " Mandiri tanah lolong, talu subang lagang doni, usi elo ade nolang"

Bung Rafael !
Gresiktuli dan semua keturunanya adalah "Demong Pagong"
Demong peeng betok rae koting bala pukeng
Pagon peeng burak rae awto tonu lolong
Betok lali tanah haka, burak lali ekang gere
betok naang bai ehang, burak naang beda soka toya

Bung Rafael !
Dongeng anda tidak akan pernah diterima oleh siapapun termasuk kaka ari ata maran yang lain.
Jangan menggali lobang sendiri
Jangan anda terantuk pada batu yang sama
Tetapi ketika semuanya terus berulang, maka tidak akan ada rasa sungkan untuk mengatakan

" ANDA BUKAN KETURUNAN LANGSUNG DARI GRESIKTULI"

Salam.......................................

Marselinus Sani Kelen

Jakarta