Jumat, 11 September 2009

Dari Rumah Limpati Menuju Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali

Mohon maaf...... karena berbagai kesibukan, saya baru bisa mengunjungi Blog saya.


Diskusi tentang sejarah Lewotanah terutama tentang konstruksi sosial awal Lewoingu semakin tak berkesudahan. Persepsi dan sudut pandang yang berbeda untuk menempatkan siapa tokoh utama dalam sejarah Lewoingu, telah menempatkan masing masing pihak untuk mencari pembenaran terhadap setiap tulisannya. Medan diskusi dalam dunia elektronik ternyata terbatas. Rana diskusi yang bersifat maya karena terbatas pada dunia maya hanya mampu menampung berbagai argumentasi dan belum dapat menempatkan penulis cerita, entah siapapun secara obyektif diterima semua elemen masyarakat Lewoingu sebagai pemilik kebenaran. Hal itu berarti setiap penulis dalam diskusi tentang sejarah Lewoingu untuk tidak sekedar berargumentasi tetapi ditantang untuk membuktikan berbagai argumentasi itu dalam acara atau ritual adat di kampung halaman terutama di Lango Limpati atau di Koke Dungbata. Penegasan ini menjadi penting karena ketika kita berbicara dan menulis tentang sejarah, kita tidak hanya berbicara tentang masa lalu tetapi juga tentang implikasi dan konsekwensi yang akan kita terima hari ini. Oleh karena itu tulisan ini hanya secara implisit menanggapi tulisan saudara Rafael Raga Maran. Sedangkan secara eksplisit mau mengantar khalayak pembaca terutama anak generasi Lewoingu untuk semakin jelas memahami konstruksi sosial Lewoingu dari awal mulanya sampai dengan hari ini.

Sejarah tidak hanya sekedar mencatat hasil penuturan yang diwariskan secara lisan dari generasi ke negerasi tetapi juga menyangkut berbagai peran yang diwariskan, menyangkut berbagai artefac dan gatak tentang perjalanan sejarah, serta korelasi tentang apa yang dituturkan dengan semua peran yang dimiliki oleh setiap suku hari ini. Kali ini saya ingin menyajikan satu indikator dalam penelusuran sejarah Lewoingu yakni sair atau gatak dari marang mukeng yang acapkali diperdengarkan dihadapan publik masyarakat beradap di lewotanah. Gatak atau sair marang mukeng memiliki bermacam ragam. Keragaman itu tergantung pada tujuan atau niat dari berbagai upacara adat yang dijalankan. Agar khalayak pembaca anak generasi Lewoingu tetap terfokus pada sejarah konstruksi sosial awal Lewoingu dan keberlangsungan hidup bersama yang harmonis sampai hari ini, maka ada dua ragam gatak yang saya sajikan sebagai ranah yang memudahkan kita untuk terlibat dalam diskusi.

A. Gatak/ sair marang mukeng untuk ahi Lango Limpati.

Dunia lerawulang latala tanah ekang
teti wang pulu pito, lali wade pulu lema
teti esang leing lodo, lali sorong limang gere
lodo hau tobo tukang, gere haka pae bawang
denge' koda baing khiring, denge' umeng baeng lama'k.

Kuru Sani Sedu Doweng, maung Boli Duru Moko
tobo pi lango Limpati dang pukeng, pae pi gawe rage kenawe matang.
Gurung koong suku matang pulo kaeng, gawa koon wokole lema kae
dst.....................................

Berangkat dari dua sair dalam upacara adat ahi Lango Limpati, dapat kita apresiasi sebagai berikut: Pertama; Bahwa dari awal, peletak sejarah Lewoingu mengakui akan kekuasaan Sang Pencipta. Pengakuan tentang Sang Khalik yang transenden, Allah yang jauh tetapi juga tentang Sang Pencipta yang imananen, karena Sang Pencipta adalah Bapa yang dekat, hadir dan hidup dalam kebersamaan dengan manusia melalui berbagai tanda tanda jaman. Pujian dan sembah bakti, kurban dan persembahan hanya untuk Sang Pencipta. Rasa ketergantungan kepada Yang Maha Kuasa secara utuh dan sempurna dimanifestasikan dalam preamble sair itu. Kedua; Sair/gatak menyebutkan tokoh tokoh pemilik Lango Limpati antara lain Sani (Sedu Doweng) maung Boli, Duru, Moko. Penyebutan nama Sedu dan Doweng adalah wujud penghormatan terhadap kakak dan sekaligus terhadap orangtua serta kakek atau moyang mereka yakni Gresiktuli. Sani, Boli, Duru, dan Moko adalah para leluhur dari suku Kebele'ng Kelen. Sani, Boli, Duru, dan Moko adalah pemilik rumah Limpati, oleh karena itu rumah Limpati adalah milik suku Kebele'ng Kelen. Rumah Limpati adalah rumah dan tempat dimana berbagai ide dan gagasan untuk merencanakan bangunan sosial Lewoingu mulai dimunculkan. Ketiga; Untuk mewujudkan gagasan itu dibangunkanlah rasa kebersamaan " gurun koo'ng suku matang pulo kae'ng gawa koo'ng wokole lema kae". Bahwa untuk menjadi satu perkampungan dibutuhkan kehadiran berbagi suku suku yang sudah menetap di wilayah sekitarnya, yang sedari awal mereka adalah sekutu dalam peperangan melawan Paji dan lebih dari itu mereka telah hidup berdampingan secara damai, karena saling menghormati harkat dan martabatnya masing masing. Menjadi nyata bahwa Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali adalah sebuah kontrak sosial yang dimulai dari rumah Limpati.

B. Marang mukeng untuk glete gluo karena ekang pelate ( Sair untuk kesejukan dan ketentraman kampung halaman).


Dunia lerawulang latala tanah ekang
teti wang pulu pito, lali wade pulu lema
teti esang leing lodo, lali sorong limang gere
lodo hau tobo tukang, gere haka pae bawang
denge' koda baing khiring, denge' umeng baeng lama'k.

Kame tobo lewo pae tana, pi Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali.
Raya Koten noong Kelen, tuak Huri" noong Maran.
Metinara kopong todo buge Hule belawa bura.
Kuru Sani Sedu Doweng, Maung Boli Duru Moko
Tobo lewo pae tanah, wekang noong riang dawing noong wetak.
Eputobi roungbao, tobi lolong resa, keladu lolong wayong.
Kuma noong Tukan, pepak noong keri
Ebelakabeang, kelisari Buga gelaka arang
Subang pulo ratu noe, Subang wara brahang tanah
Pusi bera Lalang geo, Poduli mage bawa.

Tobo lewo pae tanah, duga rehang tanah pelate, ape noong lera
duga noong uring, tenge pana wahang, pehaka hogo pana
Gute kaang witi sora, pile kaang wawe wayong.
Edeng deing merang sadi, sugi sogo tanah ekang
Ratu Tuang Lerawulang lodo tenge
Buleng nubung goeng gere diaya-aya, barang goeng tawa didene-dene
Huleng bua, tronga blola
Beta ditobo lewo pae tanah, tobo lango pae uma
poe nulung newang aya, pau ale' ama'a mala deka
Helo ama weli nolo, hupang bapa rae nene'

Pragraf pertama adalah preamble dari semua ragam gatak lewotanah, oleh karena itu wajib untuk diucapkan dalam setiap upacara adat apapun. Paragraf kedua menyebutkan pelaku sejarah yang mewujudkan bangunan sosial Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali. Raya Koten noong Kelen, tuak Huri' noong Maran. Metinara adalah penduduk asli yang menetap di ile Hinga. Tetapi kelanjutan kehidupan di Ile Hinga menjadi hilang karena kopong todo buge Hule belawa bura. Fenomena itu juga mau menjelaskan bahwa prahara nuhung teme tewong alo boleng boto adalah fakta. Ile Hinga leting boleng pepak ado girek juga adalah fakta. Dalam gatak itupun tidak menyebutkan siapa sesungguhnya tokoh tokoh sejarah yang mewakili Raya Koten. Fakta ini semakin jelas ketika kita menelusuri sejarah keturunan Metinara. Dalam pelarian itu ada keturunan Metinara yang tinggal di Lewomuda dan dikemudian hari dipanggil pulang oleh suku Kumanireng dan memberikan kepada mereka etang/ newa di Wolore'eng untuk menetap. Ada juga yang tinggal di Lewokung. Mereka hidup dan tinggal di Lewokung, kawin mawin atau nawo bine sehingga mendapat tanah atau newa nura Tegere' eba'ang. Dikemudian hari merekapun dipanggil pulang oleh suku Wungu Kwen. Pemanggilan untuk kembali ke kampung halaman dan bersama sama terlibat dalam adat adalah karena kearifan Boli. Semua itu adalah fakta. Dapat disimpulkan Pertama bahwa Raya Koten itu berlaku hanya mengikuti fenomena budaya Lamaholot yang juga di akui oleh masyarakat Lewoingu, bukan karena perannya sebagai pemimpin di lewotanah pada masa lampau. Kedua Keberadaan Raya Koten di lewotanah juga karena kearifan untuk hidup bersama dan kearifan itu berangkat dari rumah Limpati. Tanpa kearifan lango Limpati, maka ceritanya akan berbeda.

Pada pragraf ketiga mau menjelaskan bahwa Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali adalah kontrak sosial. Lewoingu adalah kesepakatan yang bermula dari rumah Limpati, direspons dan didukung sepenuhnya oleh riang dan wetak, sehingga menjadi Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali. Fakta ini dikukuhkan dengan keberadaan Koke Dungbata, dengan 8 tiang ( awalnya ada 6 tiang baru kemudian hari ketika " kelupu' tawa namang tukang, pria gobung nuba" baru menjadi 8 tiang ) yang mewakili 8 suku, dengan tiang utama atau rie limang wanang adalah milik Boli. Rie limang wanang pada koke Dungbata adalah simbol dari keberadaan Lango Limpati.

Paragraf yang keempat adalah gatak yang berisi tentang isi dan tujuan dari sebuah proses upacara adat yang sedang dijalankan. Ragam dan farian dari gatak tergantung pada tujuan dan jenis upacara yang mau dijalankan.

Diakhir tulisan ini saya hanya mau menyampaikan satu pertanyaan untuk saudara Rafael Raga Maran. Beliau dalam tulisannya yang berjudul " Gelombang Ngawurisme........ menyatakan bahwa " Saudara Marselinus Sani Kelen terlibat dalam diskusi tentang sejarah Lewoingu hanya ingin mencari satus sosial". Pertanyaan saya adalah " Apa status sosial yang ingin saya cari ?
Maaf........
Marselinus Sani Kelen punya satus sosial. Kalau yang anda maksudkan dalam peran adat dan budaya lewotanah, maka 2 gatak mantra marang mukeng sudah menjawab semuanya.

Saya menunggu anda di rumah Limpati dan Koke Dungbata di tahun 2010 (ahi lango dan ahi koke).