Minggu, 18 Oktober 2009

TRAGEDI BLOU DAN PROSES PEMBUKTIAN

Tulisan ini saya sajikan dihadapan publik bukan ingin untuk terlibat dalam perdebatan kasus Blou, tetapi ingin terlibat secara rasional untuk membantu pihak penyidik dalam melakukan proses penyidikan. Maka dalam tulisan ini dengan sengaja saya menyadurkan beberapa sumber hukum sehingga memiliki kekuatan hukum sebagai pertimbangan hukum dalam tulisan ini. Salah satu kunci dalam keputusan perkara pidana adalah alat bukti maka pertimbangan hukum yang menjadi fokus dalam tulisan ini adalah alat bukti dan pembuktian. Dengan tulisan ini saya berharap agar proses pnyidikan kasus Blou secepatnya mendapatkan kepastian hukum untuk menangkap para pelaku kejahatan yang saat ini sedang nikmat menghirup udara bebas.

A. Pertimbangan Hukum Tentang Pembuktian
Tujuan pokok dalam perkara pidana adalah menemukan kebenaran sejati atau kebenaran materil, bukan sekedar kebenaran formal. Dalam bahasa hukum kebenaran sejati itu sering disebut dengan istilah materiil warheid, atau ultimate truth, atau absolute truth. Pembuktian menjadi titik sentral dalam pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pebuktian adalah ketentuan yang berisi berbagai penggarisan atau pedoman tentang cara cara yang dibenarkan oleh undang undang, yang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Dengan demikian pembuktian menjadi ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Menjadi nyata bahwa pihak penyidik, penuntut umum, hakim, terdakwa dan penasihat hukum harus terikat pada ketentuan, tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang undang. Artinya penyidik, penuntut umum dan hakim jika hendak meletakan kebenaran, maka kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti. Bahwa para penegak hukum harus berdiri diatas kekuatan pembuktian (berwijs kracht) yang melekat pada alat bukti yang ditemukan. Dengan demikian hukuman atau sangsi tepat sasaran. Orang benar harus dibebaskan dan penjahat harus ditangkap dan diadili.

1. Alat bukti dan pembuktian.
Pasal 184 ayat (1) KUHP ( Kitab Undang Undang Hukum Pidana) menyatakan bahwa alat bukti terdiri dari : Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, surat Surat, Petunjuk, Keterangan Terdakwa. Pernyataan undang undang ini telah membatasi proses pengadilan untuk menentukan bahwa hanya ada lima jenis alat bukti yang sah. Diluar itu tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Dalam proses peyidikan, pada umumnya menempatkan keterangan saksi sebagai unsur sentral selain 4 jenis alat bukti yang lain. Oleh karena itu perlu diperjelas kekuatan pembuktian dari keterangan saksi tersebut. Menurut Pasal 1 Angka 27 Dalam KUHAP( Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana) menyatakan bahwa
a. Ketarangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti apabila saksi melihat sendiri, mendengar sendiri, mengalami sendiri, dan saksi menyebut alasan dari pengetahuan itu.
b. Keterangan saksi diambil didahului dengan sumpah atau janji menurut pasal 160 ayat 3 KUHAP.
c. Keterangan saksi harus diberikan dihadapan sidang pengadilan
d. Keterangan seorang saksi tidak cukup.
e. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tidak dapat diterima senagai alat bukti.

Dari pernyataan hukum itu dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Setiap keterangan saksi, diluar apa yang didengarnya, diluar apa yang dilihatnya, diluar apa yang dialaminya dalam peristiwa pidana atau diluar pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Pendapat atau rekaan dari saksi bukan alat bukti. Batas minimum alat bukti sekuarang kurangnya 2 alat bukti yang sah. Dengan perkataan lain paling minimum kesalahan terdakwa harus dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah. Bahwa tidak dibenarkan dan dianggap tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa jika hanya dengan satu alat bukti. Artinya hukum tidak membenarkan pembuktian kesalahan terdakwa dengan satu alat bukti yang berdiri sendiri. Maka dapat dipastikan bahwa keterangan seorang saksi tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepedanya. Satu saksi tidak merupakan saksi ( unus testis nulus testis).

2. Teori Sistem Pembuktian.
Dalam sistem hukum dan peradilan dikenal beberapa teori tentang sistem pembuktian, antara lain :
a. Conviction in Time
Teori ini memberikan posisi hakim menjadi sangat sentral. Artinya untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa semata mata ditentukan oleh keyakinan hakim. Dengan lain perkataan keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Teori ini sangat bersifat subyektif, karena tergantung pada hakim dan pasti teori ini menyimpan banyak kelemahan.

b. Conviction Raisonee
Teori ini tetap berdasarkan pada keyakinan hakim atas alat bukti yang ada. Tetapi hakim berkewajiban untuk menguaraikan dan menjelaskan alasan alasan yang mendasari keyakinannya atas berbagai alat bukti untuk membuktikan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa. Jadi keputusan hakim harus dilandasi dengan reasoning atau dasar dan alasan yang jelas. Reasoning harus reasonable, artinya alasan yang dapat diterima secara akal sehat.

c. Pembuktian Menurut Undang undang Secara Positif
Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat bukti yang ditentukan oleh undang undang. Jadi keputusan hakim sangat tergantung pada alat bukti yang sah menurut undang undang. Sistem ini memenuhi prinsip penghukuman berdasarkan hukum artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata mata tidak diletakan dibawah kewenangan hakim tetapi diatas kewenangan undang undang, yang berdasarkan pada asas seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepedanya benar benar terbukti berdasarkan cara dan alat bukti yang sah menurut undang undang.

d. Pembuktian Menurut Undang Undang Secara Negatif
Teori ini merupakan teori perpaduan (Konvergensi) atau teori keseimbangan antara pembuktian menurut undang undang secara positif, cinviction in time, conviction raisonee. Jadi dalam menentukan bersalah atau tidak seorang terdakwa selalu ada tiga komponen antara lain : Pertama; pembuktian harus dilakukan menurut cara cara yang dibenarkan oleh hukum dan dengan dasar pada alat bukti yang sah menurut undang undang. Kedua; keyakinan hakim harus didasarkan pada cara cara yang dibenarkan oleh hukum melalui alat bukti yang sah menurut undang undang. Ketiga; keyakinan hakim dalam menetapkan sebuah kepastian hukum berdasarkan alat bukti yang sah harus disertai dengan penjelasan yang rasional sehingga dapat diterima, baik secara formal maupun secara materil. Melalui tiga komponen ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam proses pembuktian menurut undang undang secara negatif memadukan unsur subyektif dan obyektif dalam menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa. Jelas bahwa teori ini lebih lengkap sehingga sering dipakai dalam setiap negara hukum termasuk Indonesia.

3. Sistem Pembuktian yang Dianut Dalam KUHAP

Berdasarkan bunyi pasal 183 KUHAP " Hakim tidak boleh menjatukan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya".
Dari Pasal tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepadanya harus kesalahannya terbukti dengan sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah dan diatas keterbuktian dengan sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana bebar benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya.

B. Tragedi Blou dan Kekuatan Pembuktian

Bila kita menengok tulisan dalam blok Ata Maran tentang tragedi Blou, maka yang kita dapatkan adalah sebuah cerita kronologis tentang tragedi Blou disampaikan begitu gamblang dan transparan. Bahwa dari tulisan itu khalayak pembaca dapat menyimak tentang sebuah pengetahuan yang luar biasa tentang tindakan pidana yang menurut penulis dilakukan oleh kelompok Mikael Torang kelen cs. Penulis dalam Blok itu seolah olah menjadi pihak yang terlibat dan turut menyaksikan tergedi berdara di Blou. Kronologis peristiwa, waktu dan tempat dari penderitaan pada stasi pertama sampai pada satasi terakhir disebelah deker parit Blou, begitu rinci, lengkap dan sempurna. Bahkan teriakan dan jeritan kesakitan yang terlontar dari mulut almarhum YGM didengar dan disampaikan pula dalam tulisan itu. Menjadi pertanyaan apakah penulis hadir dalam peristiwa itu ? pasti tidak, karena penulis Rafael Raga Maran adalah orang yang berKTP Jakarta dan tinggal di Jakarta. Ia tidak berada di Eputobi ketika tragedi Blou terjadi. Menjadi sangat tidak mungkin seorang kakak yang hadir dalam sebuah tragedi berdarah dari adik kandungnya sendiri. Artinya bahwa dalam diri penulis pada blok itu ada sumber x yang telah menjadi pemberi informasi.

1. Analisa kronologis ceritra sumber x

Kronologi tragedi Blou barangkali menjadi starting point dalam proses penyidikan. Ceritra yang begitu rinci, jelas dan bisa saja menjadi ceritra yang akurat telah menempatkan sumber x sebagai seorang saksi dalam tragedi berdarah di Blou. Artinya sumber tersebut dianggap sebagai keterangan saksi dan sebagai bernilai sehingga menjadi alat bukti adalah upaya penegak hukum untuk mencari data dan fakta pembuktian di lapangan. Hal itu berarti sumber x yang menjadi nara sumber dalam tulisan pada blok Ata Maran harus diamankan. Pengamanan terhadap sumber x ini menjadi penting agar proses penyidikan pihak aparat penegak hukum dapat dilaksanakan secara lebih efektif. Dengan pengamanan terhadap sumber x, pihak penegak hukum dapat melakukan proses penyidikan untuk menemukan berbagai keterangan lanjutan di lapangan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa apakah sumber x adalah pihak yang terlibat langsung dalam tragedi berdarah di Blou atau sebaliknya hanyalah sebuah rekayasa. Bila sumber itu adalah sumber resmi dan dianggap sah maka ceritra tragedi Blou menjadi satu bagian dari keterangan saksi dan bernilai sebagai alat bukti. Bila sebaliknya ceritra tragedi Blou adalah rekayasa, maka menimbulkan pertanyaan ada apa dengan rekayasa itu.

Fakta dalam proses penyidikan yang telah dilakukan pihak penyidik, menunjukan bahwa keterangan yang diperoleh dari berbagai pihak tidak menempatkan seorangpun sebagai saksi di lokasi kejadian. Kondisi tersebut seharusnya menimbulkan pertanyaan "ada motivasi apa dibalik dibalik semua itu sehingga harus menjebloskan Mikael Torang Kelen cs itu" ?

Bila kematian YGM berada pada satu posisi dan konflik dalam pemilihan kepala desa berada pada posisi lain lalu memunculkan persepsi yang mengatakan bahwa kematian YGM menjadi akibat dari konflik terbut adalah analisa yang sederhana dan menyesatkan. Logika sederhana seperti itu tidak memenuhi standar dalam logika konflik karena proses pemilihan kepala desa sudah berlangsung dan Mikhael Torang Kelen sudah menjadi kepala desa terpilih, sehingga logika causalitas dalam konflik tidak terpenuhi.

Bahwa sumber x melalui penulis pada blok Ata Maran begitu berani, dengan meninggalkan asas hukum praduga tak bersalah dan prinsip hukum condition sine qua non dengan mengandalkan rationale interptretatie, telah menempatkan Mikhael Torang Kelen cs sebagai pelaku pembunuhan adalah bagian yang wajib untuk diselidiki oleh pihak penyidik. Artinya keberanian seperti itu minimal memiliki dasar dan keyakinan sehingga menjadi sumber yang wajib dan harus diselidiki. Penyidikan itu menjadi penting untuk mendapatkan kepastian bahwa informasi itu adalah resmi dan menjadi keterangan saksi lalu menjadi alat bukti atau hanya sebatas rekayasa dan kebohongan.

Dengan berpegang pada fakta bahwa tidak ada seorangpun menjadi saksi di lokasi kejadian, maka keterangan yang ada hanyalah berupa testimonium de auditu yang menyatakan bahwa keterangan itu diperoleh dari pihak lain dan pihak lain itupun bukan saksi sesungguhnya, maka semua keterangan itu harus disebut palsu. Karena itu sebagai palsu maka dibalik kepalsuan itu hanya ada rekayasa. Karena itu rekayasa maka logika penyidikan tidak lagi sekedar mendengar, membaca, melihat, keterangan yang bisa dibaca, didengar dan dilihat tetapi semua fakta dan keterangan yang belum sempat untuk dibaca, belum sempat untuk didengar maupun yang belum sempat dilihat. Kunci dari semua proses penyidikan itu adalah mengamankan sumber x sehingga para penyidik dapat dengan leluasa mencari dan memahami apa motivasi dibalik semua rekayasa dalam cerita dalam blok Ata Maran itu.

2. Analisa Fenomena Kesurupan Flori Koten

Fenomena kesurupan yang dengan sengaja direkam dan kemudian menjadi modal dalam proses penyidikan menjadi fenomena yang aneh. Mengapa menjadi aneh ? Dalam negara hukum sebagaimana negara Republik Indonesia tidak ada undang undang yang mengatur tentang kesurupan sebagai salah satu petunjuk apalagi alat bukti dalam perkara pidana. Apalagi kesurupan yang terjadi pada Flori Koten adalah sebuah kesengajaan karena diatur dan direncanakan oleh orang orang tertentu. Bisa dapat dikatakan sebagai kesengajaan karena semua kejadian itu direkam dan diproyeksikan dihadapan pihak penyidik sehingga dianggap sebagai petunjuk atau alat bukti dalam perkara pidana tragedi Blou.

Adegan kesurupan Flori Koten adalah bagian dari grand strategi rekayasa. Adegan itu adalah bagian lain dari sumber x dalam ceritra koronologi penderitaan YGM. Bahwa dalam proses penyidikan dengan menghadirkan Piter Koten sebagai saksi ternyata juga tidak dapat menghasilakan apa apa karena Piter Koten sendiri tidak pernah melihat, mendengar apalagi menyaksikan adegan jalan salib penderitaan YGM. Proses penyidikan dengan menghadirkan Flori Koten juga akan menjadi sia sia manakala pemanggilan itu hanya mengarah pada peristiwa kesurupan. Ketidaksadaran Flori Koten tidak mampu untuk menempatkan semua keterangannya sebagai petunjuk apalagi sebagai alat bukti. Menjadi efektif hanya apabila pemanggilan itu diarahkan kepada siapa sesungguhnya pelaku rekayasa dalam peristiwa kesurupan. Artinya oknum yang menjadi otak untuk menghadirkan sebuah adegan kesurupan memiliki motivasi tersendiri. Oknum onum tertentu yang dengan sengaja menghadirkan kesurupan karena ada kekuatan data dan fakta sehingga ada hasrat untuk melalukan adegan tersebut, atau setidak tidaknya oknum tersebut perlu dihadirkan dihadapan pihak penyidik untuk dimintai keterangan, karena dibalik itu ada yang dirahasiakan. Ada beberapa kemungkinan yang dapat ditarik dari peristiwa kesurupan itu: Pertama; ada keinginan untuk melampiaskan rasa dendam kepada Mikhael Torang Kelen cs, dengan menyeret peristiwa Blou sebagai akibat dari konflik pemilihan kepala desa. Kedua; Ada motivasi untuk menghilangkan pelaku tragedi berdarah di Blou yang sebenarnya, dengan cara menyeret konflik pemilihan kepala desa, karena konflik itu dianggap paling ideal, apalagi sudah terbuka secara publik. Ketiga ada pribadi atau kelompok tertentu yang dengan sengaja menghilangkan identitas sebagai pelaku pembunuhan YGM karena konflik hubungan pribadi, dengan membuat rekayasa atau alibi melelui kesurupan Flori Koten untuk kemudian menuduh Mikhael Torang Kelen cs, sebagai pelaku pembunuhan, karena konflik pemilihan kepala desa dan konflik adat dianggap sebagai alasan yang paling tepat.

Penutup

Dari analisa ini, muncul asumsi bahwa ketika kematian YGM adalah karena pembunuhan maka pelaku pembunuhan YGM adalah orang orang yang tidak jauh dari keseharian hidup almarhum YGM, pelaku adalah orang yang hidup dan kesehariannya bersama dengan YGM. Bahwa ketika cerita kronologi perjalanan salib penderitaan dari stasi pertama sampai wafatnya di Blou sebagai kebenaran, maka sumber x dalam cerita itu adalah bagian yang tak terpisahkan dengan kematian YGM di Blou.

Bahwa rasa tidak puas dalam proses pemilihan kepala desa dan karena defacto nominator Mikhael Torang Kelen sebagai kepala desa terpilih adalah sebuah fakta dendam. Fakta dendam itu harus bisa dibalas, bagaimana proses untuk membalasnya, hanya orang yang memiliki dendam yang tahu. Tetapi logika penyelidikan melalui analisa causalitas dapat memberikan kita jawaban. Maka kita akhirnya kembali berharap kepada para penegak hukum untuk membuktikan itu.

Tragedi berdarah Blou membutuhkan proses penyelidikan yang falit dan akurat, membutuhkan isnting dan naluri inteligen yang juga kuat dan bernyali. Apalagi proses penyidikan sudah berjalan dan hanya karena apresiasi inteligen yang salah, telah menyebabkan proses penyelidikan dalam penyidikan menjadi salah tangkap. Analisa inteligen yang jitu dan kekuatan nyali menjadi hal penting, karena proses penyelidikan telah melibatkan emosi dan perasaan, tidak hanya aparat penegak hukum, tetapi anggota keluarga yang ditinggalkan, pihak yang dituduh dan semua anggota keluarganya, bahkan hampir semua masyarakat Lewoingu terseret dalam tragedi Blou dan proses penyidikan. Oleh karena itu semua berharap proses penyidikan jilid kedua tidak lagi mengalami salah tangkap, salah tahan apalgi kemudian harus dipenjara.

Dari Jakarta saya berharap semoga para penjahat bisa secepatnya menikmati hasil kejahatannya

Salam.................................................................................. Marselinus Sani Kelen.
































Sabtu, 17 Oktober 2009

Lango Limpati

1. Pengantar

Rumah Limpati atau lasim disebut Lango limpati oleh masyarakat Lewoingu diangkat dan menjadi judul dalam tulisan ini tidak hanya sekedar menanggapi tulisan Rafael Raga Maran dengan judul 'Lango Limpati dan Manu Jago' pada blok Ata Maran tetapi juga ingin mengajak masyarakat Lewoingu untuk memahami lebih jelas tentang siapa sesungguhnya suku yang lebih berhak atas keberadaan rumah tersebut. Secara pribadi sebetulnya saya tidak ingin untuk berdebat dengan penulis dalam blok itu, karena argumentasi dalam perdebatannya tidak lagi mencerminkan dirinya sebagai insan akademis yang menjujung tinggi sifat ilmiah, tetapi lebih memperlihatkan diri pribadi yang sedang mencari identitas diri untuk menjadi penguasa adat lewotanah. Sebagaimana dalam tulisannya dengan judul ' Lango Limpati dan Manu Jago' logika penulisan tidak berdiri diatas fondasi akar sejarah yang kuat sehingga tulisan yang disajikan lebih merupakan rekayasa dan provokasi untuk menciptakan permusuhan baru dalam kehidupan masyarakat di lewotanah. Bahkan ketika ia mengklaim diri dengan mengatakan bahwa Ata Maran sebagai pemilik Lango Limpati, serta merta ia telah memperlihatkan ketidakdewasaan dirinya dalam menggunakan kemampuan intelektual, untuk membuktikan bahwa Lango Limapati sebagai miliknya. Logika dan pertanggungjawaban intelektual yang kosong telah menempatkan Rafael Raga Maran bukan lagi sebagai seorang figur akademisi tetapi telah mengalami degradasi/penurunan sehingga menjadi seorang bocah ingusan yang merengek dan meminta bahkan ingin mencaplok sepotong roti yang bukan miliknya.

Dasar Kepemilikan

Agar pemahaman tentang kepemilikan lango Limpati menjadi jelas, saya akan menyajikan satu persatu fakta sejarah dalam perjalanan sejarah lewotanah yang berhubungan langsung dengan Lango Limpati.

1. Nuhung Teme Tewong Alo Boleng Boto
Fenomena ini, berkali kali saya sajikan sebagai dasar untuk menunjuk kepada figur siapa sesungguhnya Raga itu. Oleh karena itu, kali ini saya sengaja kembali mengulangi agar khalayak Lewoingu dapat memastikan siapa itu Raga leluhur dari Rafael Raga Maran itu.

a. Tindakan asusila oleh Hule terhadap Kulu Kene anak Dalu (Doweng) menyebabkan Kulu Kene hamil. Kehamilam itu kemudian melahirkan seorang anak yang diberi nama Raga. Jelas Raga adalah anak Hule dari keturunan Metinara ( Ile Hingang) dan bukan anak Sani.

b. Ubi societas Ibi justicia ( dimana ada masyarakat pasti ada hukum) Kekuatan Gresiktuli dan turunannya memberikan hukuman terhadap Hule dan semua anggota keluarganya, bahkan semua anggota keluarga Metinara yang bermukim di Ile Hingang. Fakta inilah yang kemudian disebut dengan ungkapan Ile Hingang tawa kese ka, gere lereka, kae. Semua keturunan Ile Hingang lari meninggalkan kampung halamannya bahkan juga membawa dengan segala kekuatannya ( hungeng noong ile ka) . Dari fenomena ini, maka ada ungkapan Ile hingang leting boleng pepak ado girek.

c. Atas petuah orangtuanya Gresiktuli, maka Sani harus menyelamatkan fenomena prahara itu agar jangan sampai menyebar luas kepada suku yang lain. Mo rae tobo tibang tukang, abo maang one nai, koda maang wanang nai, gurung noong riang gawing noong wetak, pota ile-hone woka. Atas petuah itu Sani membangun rumahnya, sebagai tempat ia tinggal. inilah rumah yang sampai hari ini disebut 'Lango Limpati'.

d. Perhatian Gresiktuli kepada anaknya Sani yang tinggal di rumah Limpati juga menyangkut keberadaan Sani sebagai pribadi bujang. Petuah Gresiktuli ' lika lurang moeng apiing mateng, gurung moong Kulu Kene, nele lika lurangneng mori, apeeng hode blola. Karena Ketika itu Kulu Kene sedang hamil tua, maka Sani belum menerima KuluKene di rumahnya. Kulu kene yang hamil tua tinggal bersama orangtuanya Dalu/Doweng. Setelah Kulu Kene melahirkan Raga dan mulai lepas susu dari ibunya maka, Raga akhirnya ikut dan dibesarkan oleh pamannya Dalu/ Doweng dan menetap di riang Kung. Bapak Sani melaksanakan petuah orangtuanya dengan memanggil Kulu Kene untuk tinggal di rumahnya.

e. Sani kemudian menikahi Kulu Kene dan melahirkan Boli dan kedua saudarinya yang bernama Edo dan Geyon. Mereka tinggal di rumah Limpati sebagai rumah tinggalnya. Kedua saudari perempuan Boli ini menikah dengan orang Leworok dari suku kebeleng Koten ( Koten Padun). Fakta ini dapat diterima dan menjadi benar karena sampai hari ini Kebeleng Koten Padun Leworok menjadi bine ana weruing dari suku Kebeleng Kelen.

2. Rie Limang Wanang Koke Dungbata
Nilai dan hakikat rie limang wanang pada koke Dungbata sebagai tiang utama adalah simbol pemimpin. Rie limang wanang mulai dari awal pendirian sampai hari ini adalah milik Boli dan diwariskan kepada keturunanya yaitu suku Kebeleng Kelen. Keberadaan Rie limang wanang koke Dungbata berhubungan langsung lango Limpati. Dalam gatak mantra Limpati dang pukeng gawe rage kenawe matang. (Rie limang wanang mapa'ng noong Lango Limpati).

Agar menjadi jelas kita boleh melihat jejak perencanaan dan pendirian Koke Dungbata.

a. Pengalaman dalam peperangan telah memberikan sang inspirator ( Boli) untuk membuat suatu rumah sebagai tempat yang dinilai lebih pantas untuk memulai dan merencanakan proses peperangan. Pengalaman itu juga menyangkut fakta tentang proses adat yang dinilai lamban dan tidak mendukung peperangan Boli di medan laga. Dari fakta inilah niat untuk membangun koke baru menjadi semakin nyata.

b. Peralatan ' laba blewe' tidak dimilikinya. Semua peralatan itu disimpan di Koke Dungtana. Boli pun tidak memintanya, ia membuat peralatannya sendiri. Tempat ia membuat dan menyediakan semua peralatan itu akhirnya dikenal sampai hari ini sebagai 'dua roh'keng', tempat itu berada di riang belen'ng dekat 'meran' suku Kebeleng Kelen, 'merang wato tangen, merang larangtukang, sili lolong bala, raya Sili Kiki, tuang raya meang, tepat di pinggir jalan raya menuju desa Leworok/ Leraboleng.

c. Proses akhir dari penyediaan peralatan kerja atau lasim disebut ' hewo' ada beberapa pernyataan Boli yang diucapkan ' Gong gike heri deing, beta piing go kang kakang wolo, kaan ubu'un tawa, bura gere blola haka, go Boli.

d. Proses pengadaan semua elemen bangunan, juga disiapkan oleh Boli sendiri, proses 'toking laba' juga dikerjakannya sendiri. Ada ucapan sebagai rasa tidak puas, karena ia tidak didukung oleh semua saudaranya yang lain ' go toking laba waha, rona ruba hala, kia goteta bapaang, go belo kakang.

f. Ketika dilaksanakan pendirian koke itu, Boli memanggil semua suku yang menetap disekitar tempat itu, untuk menerima peran dan hak masing masing. Abo maang one' nai koda maang wanang nai, gurung koon suku matang pulo kaeng gawa koong wokole lema kae. Dalam proses pemasangan itu ternyata masih ada yang tidak cocok, proses 'seba lirong' memberikan jawaban bahwa Raga yang ketika itu tinggal di Riang kung juga perlu dipanggil. Raga yang hadir pada waktu itu tidak memiliki hak apapun, karena kewenang tiang atas koke yang awal nya berjumlah 6 tiang sudah dibagi oleh Boli kepada suku yang ada. Oleh karena itu Boli menyerahkannya hak Ulu Wai.
Raga yang hadir ditandai dengan permintaan dan tangisan sehingga muncul gatak Gena gele' Raga wanga'.

g. Kehadiran Raga dengan ketakutan, tangisan dan permintaan maka ia masuk rumah Limpati bukan dari depan tetapi dari belakang ' maso raang lau horowutung dai'. Fakta ini terus dihayati sehingga dalam proses ahi Lango Limpati, 'baku' Ata Maran selalu masuk dari belakang. Ada juga gatak lain yang menjelaskan bahwa Boli dan Raga bukan saudara kandung yakni 'dong tou lurang rua' . Dalam proses ahi lango Limpati Ata Maran tidak punya kewenangan apapun, karena mereka tidak punya apa apa di dalam Lango Limpati.


h. Tentang ada rie Ata Maran dan perubahan menjadi 8 tiang pada Koke Dungbata baru pada Fase ' klupuk tawa namang tukang pria gobung nuba', pada fase Pehang ( Kelen) dan Puru ( Maran) dan itunpun baru ada ketika bapak Nara yang dibunuh di 'Belohomeng' oleh orang yang tidak dikenal dan bapak Bolo masih kecil. Defacto tidak ada orang yang bisa mengelola Koke Dungbata. sehingga muncul Pehang dan Puru sebagai klake klama. Keberadaan Puru sebagai kelakeheng sebetulnya ditolak karena 'anak kenowa' oleh beberapa suku termasuk seorang klake klamak dari suku Lamatukang yang kemudian pindah ke Lewokluo.

3. Preamble Gatak Ahi Lango LImpati

" Dunia lera wulang latala tanah ekang
teti wang pulu pito lali wade pulu lema
teti esang leing lodo, lali sorong limang gere
lodo hau tobo tukang, gere haka pae bawa
denge koda baing khiring, denge umeng baeng lamak

Kuru Sani Sedu Doweng
maung Boli Duru Moko
Tobo pi Limpati dang pukeng
pae pi gawe rage kenawe matang
Gurung koon suku matang pulo kaeng
gawa koon wokole lema kae.

Saya tidak perlu memberi penjelasan atas tulisan gatak mantra itu, karena Sani-Boli-Duru- Moko yang tinggal dan menetap di Lango Limpati adalah para leluhur suku Kebeleng Kelen, bukan Ata Maran.

Penutup

Diakhir tulisan ini saya ingin mengajak Rafael Raga Maran, agar sebagai seorang insan akademis, perlu menghargai sifat ilmiah dalam proses perdebatan ini, artinya jangan hanya sekedar membuat klaim. Karena klaim tanpa dasar hanya menjadi bentuk provokasi yang dapat menciptakan permusuhan di antara kita suku Kebeleng Kelen dan Ata Maran.
Bahwa Rafael Raga Maran juga harus ingat, suara yang tak bersuara yaitu semua suku lain yang memdiami lewotanah juga memiliki sejarah sendiri. Merekapun tahu betul sejarah Lango Limpati dan siapa sesungguhnya pemilik sah atas Lango Limpati.
Anda juga perlu ingat bahwa ceritra, rekayasa, dan klaim yang anda beberkan dalam dunia alam maya, tidak pernah akan merubah pemahaman anak lewotanah tentang kepemilikan Lango Limapati. Ceritra rekayasa dan klaim anda adalah benih ketidakpercayaan, sehingga pada hari ini dan seterusnya orang akan mengenang anda sebagai pribadi penipu. Karena anda tukang tipu. Klaim anda tentang Lango Limpati sebagai milik Ata Maran, apa sesungguhnya pusaka Ata Maran yang tersimpan disana ? ....TIDAK ADA. Raga yang hadir di rumah Limpati hanya membawa kaki dan tangan serta tangisan dan permintaan.

Salam