Sabtu, 17 Oktober 2009

Lango Limpati

1. Pengantar

Rumah Limpati atau lasim disebut Lango limpati oleh masyarakat Lewoingu diangkat dan menjadi judul dalam tulisan ini tidak hanya sekedar menanggapi tulisan Rafael Raga Maran dengan judul 'Lango Limpati dan Manu Jago' pada blok Ata Maran tetapi juga ingin mengajak masyarakat Lewoingu untuk memahami lebih jelas tentang siapa sesungguhnya suku yang lebih berhak atas keberadaan rumah tersebut. Secara pribadi sebetulnya saya tidak ingin untuk berdebat dengan penulis dalam blok itu, karena argumentasi dalam perdebatannya tidak lagi mencerminkan dirinya sebagai insan akademis yang menjujung tinggi sifat ilmiah, tetapi lebih memperlihatkan diri pribadi yang sedang mencari identitas diri untuk menjadi penguasa adat lewotanah. Sebagaimana dalam tulisannya dengan judul ' Lango Limpati dan Manu Jago' logika penulisan tidak berdiri diatas fondasi akar sejarah yang kuat sehingga tulisan yang disajikan lebih merupakan rekayasa dan provokasi untuk menciptakan permusuhan baru dalam kehidupan masyarakat di lewotanah. Bahkan ketika ia mengklaim diri dengan mengatakan bahwa Ata Maran sebagai pemilik Lango Limpati, serta merta ia telah memperlihatkan ketidakdewasaan dirinya dalam menggunakan kemampuan intelektual, untuk membuktikan bahwa Lango Limapati sebagai miliknya. Logika dan pertanggungjawaban intelektual yang kosong telah menempatkan Rafael Raga Maran bukan lagi sebagai seorang figur akademisi tetapi telah mengalami degradasi/penurunan sehingga menjadi seorang bocah ingusan yang merengek dan meminta bahkan ingin mencaplok sepotong roti yang bukan miliknya.

Dasar Kepemilikan

Agar pemahaman tentang kepemilikan lango Limpati menjadi jelas, saya akan menyajikan satu persatu fakta sejarah dalam perjalanan sejarah lewotanah yang berhubungan langsung dengan Lango Limpati.

1. Nuhung Teme Tewong Alo Boleng Boto
Fenomena ini, berkali kali saya sajikan sebagai dasar untuk menunjuk kepada figur siapa sesungguhnya Raga itu. Oleh karena itu, kali ini saya sengaja kembali mengulangi agar khalayak Lewoingu dapat memastikan siapa itu Raga leluhur dari Rafael Raga Maran itu.

a. Tindakan asusila oleh Hule terhadap Kulu Kene anak Dalu (Doweng) menyebabkan Kulu Kene hamil. Kehamilam itu kemudian melahirkan seorang anak yang diberi nama Raga. Jelas Raga adalah anak Hule dari keturunan Metinara ( Ile Hingang) dan bukan anak Sani.

b. Ubi societas Ibi justicia ( dimana ada masyarakat pasti ada hukum) Kekuatan Gresiktuli dan turunannya memberikan hukuman terhadap Hule dan semua anggota keluarganya, bahkan semua anggota keluarga Metinara yang bermukim di Ile Hingang. Fakta inilah yang kemudian disebut dengan ungkapan Ile Hingang tawa kese ka, gere lereka, kae. Semua keturunan Ile Hingang lari meninggalkan kampung halamannya bahkan juga membawa dengan segala kekuatannya ( hungeng noong ile ka) . Dari fenomena ini, maka ada ungkapan Ile hingang leting boleng pepak ado girek.

c. Atas petuah orangtuanya Gresiktuli, maka Sani harus menyelamatkan fenomena prahara itu agar jangan sampai menyebar luas kepada suku yang lain. Mo rae tobo tibang tukang, abo maang one nai, koda maang wanang nai, gurung noong riang gawing noong wetak, pota ile-hone woka. Atas petuah itu Sani membangun rumahnya, sebagai tempat ia tinggal. inilah rumah yang sampai hari ini disebut 'Lango Limpati'.

d. Perhatian Gresiktuli kepada anaknya Sani yang tinggal di rumah Limpati juga menyangkut keberadaan Sani sebagai pribadi bujang. Petuah Gresiktuli ' lika lurang moeng apiing mateng, gurung moong Kulu Kene, nele lika lurangneng mori, apeeng hode blola. Karena Ketika itu Kulu Kene sedang hamil tua, maka Sani belum menerima KuluKene di rumahnya. Kulu kene yang hamil tua tinggal bersama orangtuanya Dalu/Doweng. Setelah Kulu Kene melahirkan Raga dan mulai lepas susu dari ibunya maka, Raga akhirnya ikut dan dibesarkan oleh pamannya Dalu/ Doweng dan menetap di riang Kung. Bapak Sani melaksanakan petuah orangtuanya dengan memanggil Kulu Kene untuk tinggal di rumahnya.

e. Sani kemudian menikahi Kulu Kene dan melahirkan Boli dan kedua saudarinya yang bernama Edo dan Geyon. Mereka tinggal di rumah Limpati sebagai rumah tinggalnya. Kedua saudari perempuan Boli ini menikah dengan orang Leworok dari suku kebeleng Koten ( Koten Padun). Fakta ini dapat diterima dan menjadi benar karena sampai hari ini Kebeleng Koten Padun Leworok menjadi bine ana weruing dari suku Kebeleng Kelen.

2. Rie Limang Wanang Koke Dungbata
Nilai dan hakikat rie limang wanang pada koke Dungbata sebagai tiang utama adalah simbol pemimpin. Rie limang wanang mulai dari awal pendirian sampai hari ini adalah milik Boli dan diwariskan kepada keturunanya yaitu suku Kebeleng Kelen. Keberadaan Rie limang wanang koke Dungbata berhubungan langsung lango Limpati. Dalam gatak mantra Limpati dang pukeng gawe rage kenawe matang. (Rie limang wanang mapa'ng noong Lango Limpati).

Agar menjadi jelas kita boleh melihat jejak perencanaan dan pendirian Koke Dungbata.

a. Pengalaman dalam peperangan telah memberikan sang inspirator ( Boli) untuk membuat suatu rumah sebagai tempat yang dinilai lebih pantas untuk memulai dan merencanakan proses peperangan. Pengalaman itu juga menyangkut fakta tentang proses adat yang dinilai lamban dan tidak mendukung peperangan Boli di medan laga. Dari fakta inilah niat untuk membangun koke baru menjadi semakin nyata.

b. Peralatan ' laba blewe' tidak dimilikinya. Semua peralatan itu disimpan di Koke Dungtana. Boli pun tidak memintanya, ia membuat peralatannya sendiri. Tempat ia membuat dan menyediakan semua peralatan itu akhirnya dikenal sampai hari ini sebagai 'dua roh'keng', tempat itu berada di riang belen'ng dekat 'meran' suku Kebeleng Kelen, 'merang wato tangen, merang larangtukang, sili lolong bala, raya Sili Kiki, tuang raya meang, tepat di pinggir jalan raya menuju desa Leworok/ Leraboleng.

c. Proses akhir dari penyediaan peralatan kerja atau lasim disebut ' hewo' ada beberapa pernyataan Boli yang diucapkan ' Gong gike heri deing, beta piing go kang kakang wolo, kaan ubu'un tawa, bura gere blola haka, go Boli.

d. Proses pengadaan semua elemen bangunan, juga disiapkan oleh Boli sendiri, proses 'toking laba' juga dikerjakannya sendiri. Ada ucapan sebagai rasa tidak puas, karena ia tidak didukung oleh semua saudaranya yang lain ' go toking laba waha, rona ruba hala, kia goteta bapaang, go belo kakang.

f. Ketika dilaksanakan pendirian koke itu, Boli memanggil semua suku yang menetap disekitar tempat itu, untuk menerima peran dan hak masing masing. Abo maang one' nai koda maang wanang nai, gurung koon suku matang pulo kaeng gawa koong wokole lema kae. Dalam proses pemasangan itu ternyata masih ada yang tidak cocok, proses 'seba lirong' memberikan jawaban bahwa Raga yang ketika itu tinggal di Riang kung juga perlu dipanggil. Raga yang hadir pada waktu itu tidak memiliki hak apapun, karena kewenang tiang atas koke yang awal nya berjumlah 6 tiang sudah dibagi oleh Boli kepada suku yang ada. Oleh karena itu Boli menyerahkannya hak Ulu Wai.
Raga yang hadir ditandai dengan permintaan dan tangisan sehingga muncul gatak Gena gele' Raga wanga'.

g. Kehadiran Raga dengan ketakutan, tangisan dan permintaan maka ia masuk rumah Limpati bukan dari depan tetapi dari belakang ' maso raang lau horowutung dai'. Fakta ini terus dihayati sehingga dalam proses ahi Lango Limpati, 'baku' Ata Maran selalu masuk dari belakang. Ada juga gatak lain yang menjelaskan bahwa Boli dan Raga bukan saudara kandung yakni 'dong tou lurang rua' . Dalam proses ahi lango Limpati Ata Maran tidak punya kewenangan apapun, karena mereka tidak punya apa apa di dalam Lango Limpati.


h. Tentang ada rie Ata Maran dan perubahan menjadi 8 tiang pada Koke Dungbata baru pada Fase ' klupuk tawa namang tukang pria gobung nuba', pada fase Pehang ( Kelen) dan Puru ( Maran) dan itunpun baru ada ketika bapak Nara yang dibunuh di 'Belohomeng' oleh orang yang tidak dikenal dan bapak Bolo masih kecil. Defacto tidak ada orang yang bisa mengelola Koke Dungbata. sehingga muncul Pehang dan Puru sebagai klake klama. Keberadaan Puru sebagai kelakeheng sebetulnya ditolak karena 'anak kenowa' oleh beberapa suku termasuk seorang klake klamak dari suku Lamatukang yang kemudian pindah ke Lewokluo.

3. Preamble Gatak Ahi Lango LImpati

" Dunia lera wulang latala tanah ekang
teti wang pulu pito lali wade pulu lema
teti esang leing lodo, lali sorong limang gere
lodo hau tobo tukang, gere haka pae bawa
denge koda baing khiring, denge umeng baeng lamak

Kuru Sani Sedu Doweng
maung Boli Duru Moko
Tobo pi Limpati dang pukeng
pae pi gawe rage kenawe matang
Gurung koon suku matang pulo kaeng
gawa koon wokole lema kae.

Saya tidak perlu memberi penjelasan atas tulisan gatak mantra itu, karena Sani-Boli-Duru- Moko yang tinggal dan menetap di Lango Limpati adalah para leluhur suku Kebeleng Kelen, bukan Ata Maran.

Penutup

Diakhir tulisan ini saya ingin mengajak Rafael Raga Maran, agar sebagai seorang insan akademis, perlu menghargai sifat ilmiah dalam proses perdebatan ini, artinya jangan hanya sekedar membuat klaim. Karena klaim tanpa dasar hanya menjadi bentuk provokasi yang dapat menciptakan permusuhan di antara kita suku Kebeleng Kelen dan Ata Maran.
Bahwa Rafael Raga Maran juga harus ingat, suara yang tak bersuara yaitu semua suku lain yang memdiami lewotanah juga memiliki sejarah sendiri. Merekapun tahu betul sejarah Lango Limpati dan siapa sesungguhnya pemilik sah atas Lango Limpati.
Anda juga perlu ingat bahwa ceritra, rekayasa, dan klaim yang anda beberkan dalam dunia alam maya, tidak pernah akan merubah pemahaman anak lewotanah tentang kepemilikan Lango Limapati. Ceritra rekayasa dan klaim anda adalah benih ketidakpercayaan, sehingga pada hari ini dan seterusnya orang akan mengenang anda sebagai pribadi penipu. Karena anda tukang tipu. Klaim anda tentang Lango Limpati sebagai milik Ata Maran, apa sesungguhnya pusaka Ata Maran yang tersimpan disana ? ....TIDAK ADA. Raga yang hadir di rumah Limpati hanya membawa kaki dan tangan serta tangisan dan permintaan.

Salam
















Tidak ada komentar: