Minggu, 18 Oktober 2009

TRAGEDI BLOU DAN PROSES PEMBUKTIAN

Tulisan ini saya sajikan dihadapan publik bukan ingin untuk terlibat dalam perdebatan kasus Blou, tetapi ingin terlibat secara rasional untuk membantu pihak penyidik dalam melakukan proses penyidikan. Maka dalam tulisan ini dengan sengaja saya menyadurkan beberapa sumber hukum sehingga memiliki kekuatan hukum sebagai pertimbangan hukum dalam tulisan ini. Salah satu kunci dalam keputusan perkara pidana adalah alat bukti maka pertimbangan hukum yang menjadi fokus dalam tulisan ini adalah alat bukti dan pembuktian. Dengan tulisan ini saya berharap agar proses pnyidikan kasus Blou secepatnya mendapatkan kepastian hukum untuk menangkap para pelaku kejahatan yang saat ini sedang nikmat menghirup udara bebas.

A. Pertimbangan Hukum Tentang Pembuktian
Tujuan pokok dalam perkara pidana adalah menemukan kebenaran sejati atau kebenaran materil, bukan sekedar kebenaran formal. Dalam bahasa hukum kebenaran sejati itu sering disebut dengan istilah materiil warheid, atau ultimate truth, atau absolute truth. Pembuktian menjadi titik sentral dalam pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pebuktian adalah ketentuan yang berisi berbagai penggarisan atau pedoman tentang cara cara yang dibenarkan oleh undang undang, yang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Dengan demikian pembuktian menjadi ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Menjadi nyata bahwa pihak penyidik, penuntut umum, hakim, terdakwa dan penasihat hukum harus terikat pada ketentuan, tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang undang. Artinya penyidik, penuntut umum dan hakim jika hendak meletakan kebenaran, maka kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti. Bahwa para penegak hukum harus berdiri diatas kekuatan pembuktian (berwijs kracht) yang melekat pada alat bukti yang ditemukan. Dengan demikian hukuman atau sangsi tepat sasaran. Orang benar harus dibebaskan dan penjahat harus ditangkap dan diadili.

1. Alat bukti dan pembuktian.
Pasal 184 ayat (1) KUHP ( Kitab Undang Undang Hukum Pidana) menyatakan bahwa alat bukti terdiri dari : Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, surat Surat, Petunjuk, Keterangan Terdakwa. Pernyataan undang undang ini telah membatasi proses pengadilan untuk menentukan bahwa hanya ada lima jenis alat bukti yang sah. Diluar itu tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Dalam proses peyidikan, pada umumnya menempatkan keterangan saksi sebagai unsur sentral selain 4 jenis alat bukti yang lain. Oleh karena itu perlu diperjelas kekuatan pembuktian dari keterangan saksi tersebut. Menurut Pasal 1 Angka 27 Dalam KUHAP( Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana) menyatakan bahwa
a. Ketarangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti apabila saksi melihat sendiri, mendengar sendiri, mengalami sendiri, dan saksi menyebut alasan dari pengetahuan itu.
b. Keterangan saksi diambil didahului dengan sumpah atau janji menurut pasal 160 ayat 3 KUHAP.
c. Keterangan saksi harus diberikan dihadapan sidang pengadilan
d. Keterangan seorang saksi tidak cukup.
e. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tidak dapat diterima senagai alat bukti.

Dari pernyataan hukum itu dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Setiap keterangan saksi, diluar apa yang didengarnya, diluar apa yang dilihatnya, diluar apa yang dialaminya dalam peristiwa pidana atau diluar pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Pendapat atau rekaan dari saksi bukan alat bukti. Batas minimum alat bukti sekuarang kurangnya 2 alat bukti yang sah. Dengan perkataan lain paling minimum kesalahan terdakwa harus dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah. Bahwa tidak dibenarkan dan dianggap tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa jika hanya dengan satu alat bukti. Artinya hukum tidak membenarkan pembuktian kesalahan terdakwa dengan satu alat bukti yang berdiri sendiri. Maka dapat dipastikan bahwa keterangan seorang saksi tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepedanya. Satu saksi tidak merupakan saksi ( unus testis nulus testis).

2. Teori Sistem Pembuktian.
Dalam sistem hukum dan peradilan dikenal beberapa teori tentang sistem pembuktian, antara lain :
a. Conviction in Time
Teori ini memberikan posisi hakim menjadi sangat sentral. Artinya untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa semata mata ditentukan oleh keyakinan hakim. Dengan lain perkataan keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Teori ini sangat bersifat subyektif, karena tergantung pada hakim dan pasti teori ini menyimpan banyak kelemahan.

b. Conviction Raisonee
Teori ini tetap berdasarkan pada keyakinan hakim atas alat bukti yang ada. Tetapi hakim berkewajiban untuk menguaraikan dan menjelaskan alasan alasan yang mendasari keyakinannya atas berbagai alat bukti untuk membuktikan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa. Jadi keputusan hakim harus dilandasi dengan reasoning atau dasar dan alasan yang jelas. Reasoning harus reasonable, artinya alasan yang dapat diterima secara akal sehat.

c. Pembuktian Menurut Undang undang Secara Positif
Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat bukti yang ditentukan oleh undang undang. Jadi keputusan hakim sangat tergantung pada alat bukti yang sah menurut undang undang. Sistem ini memenuhi prinsip penghukuman berdasarkan hukum artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata mata tidak diletakan dibawah kewenangan hakim tetapi diatas kewenangan undang undang, yang berdasarkan pada asas seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepedanya benar benar terbukti berdasarkan cara dan alat bukti yang sah menurut undang undang.

d. Pembuktian Menurut Undang Undang Secara Negatif
Teori ini merupakan teori perpaduan (Konvergensi) atau teori keseimbangan antara pembuktian menurut undang undang secara positif, cinviction in time, conviction raisonee. Jadi dalam menentukan bersalah atau tidak seorang terdakwa selalu ada tiga komponen antara lain : Pertama; pembuktian harus dilakukan menurut cara cara yang dibenarkan oleh hukum dan dengan dasar pada alat bukti yang sah menurut undang undang. Kedua; keyakinan hakim harus didasarkan pada cara cara yang dibenarkan oleh hukum melalui alat bukti yang sah menurut undang undang. Ketiga; keyakinan hakim dalam menetapkan sebuah kepastian hukum berdasarkan alat bukti yang sah harus disertai dengan penjelasan yang rasional sehingga dapat diterima, baik secara formal maupun secara materil. Melalui tiga komponen ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam proses pembuktian menurut undang undang secara negatif memadukan unsur subyektif dan obyektif dalam menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa. Jelas bahwa teori ini lebih lengkap sehingga sering dipakai dalam setiap negara hukum termasuk Indonesia.

3. Sistem Pembuktian yang Dianut Dalam KUHAP

Berdasarkan bunyi pasal 183 KUHAP " Hakim tidak boleh menjatukan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya".
Dari Pasal tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepadanya harus kesalahannya terbukti dengan sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah dan diatas keterbuktian dengan sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana bebar benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya.

B. Tragedi Blou dan Kekuatan Pembuktian

Bila kita menengok tulisan dalam blok Ata Maran tentang tragedi Blou, maka yang kita dapatkan adalah sebuah cerita kronologis tentang tragedi Blou disampaikan begitu gamblang dan transparan. Bahwa dari tulisan itu khalayak pembaca dapat menyimak tentang sebuah pengetahuan yang luar biasa tentang tindakan pidana yang menurut penulis dilakukan oleh kelompok Mikael Torang kelen cs. Penulis dalam Blok itu seolah olah menjadi pihak yang terlibat dan turut menyaksikan tergedi berdara di Blou. Kronologis peristiwa, waktu dan tempat dari penderitaan pada stasi pertama sampai pada satasi terakhir disebelah deker parit Blou, begitu rinci, lengkap dan sempurna. Bahkan teriakan dan jeritan kesakitan yang terlontar dari mulut almarhum YGM didengar dan disampaikan pula dalam tulisan itu. Menjadi pertanyaan apakah penulis hadir dalam peristiwa itu ? pasti tidak, karena penulis Rafael Raga Maran adalah orang yang berKTP Jakarta dan tinggal di Jakarta. Ia tidak berada di Eputobi ketika tragedi Blou terjadi. Menjadi sangat tidak mungkin seorang kakak yang hadir dalam sebuah tragedi berdarah dari adik kandungnya sendiri. Artinya bahwa dalam diri penulis pada blok itu ada sumber x yang telah menjadi pemberi informasi.

1. Analisa kronologis ceritra sumber x

Kronologi tragedi Blou barangkali menjadi starting point dalam proses penyidikan. Ceritra yang begitu rinci, jelas dan bisa saja menjadi ceritra yang akurat telah menempatkan sumber x sebagai seorang saksi dalam tragedi berdarah di Blou. Artinya sumber tersebut dianggap sebagai keterangan saksi dan sebagai bernilai sehingga menjadi alat bukti adalah upaya penegak hukum untuk mencari data dan fakta pembuktian di lapangan. Hal itu berarti sumber x yang menjadi nara sumber dalam tulisan pada blok Ata Maran harus diamankan. Pengamanan terhadap sumber x ini menjadi penting agar proses penyidikan pihak aparat penegak hukum dapat dilaksanakan secara lebih efektif. Dengan pengamanan terhadap sumber x, pihak penegak hukum dapat melakukan proses penyidikan untuk menemukan berbagai keterangan lanjutan di lapangan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa apakah sumber x adalah pihak yang terlibat langsung dalam tragedi berdarah di Blou atau sebaliknya hanyalah sebuah rekayasa. Bila sumber itu adalah sumber resmi dan dianggap sah maka ceritra tragedi Blou menjadi satu bagian dari keterangan saksi dan bernilai sebagai alat bukti. Bila sebaliknya ceritra tragedi Blou adalah rekayasa, maka menimbulkan pertanyaan ada apa dengan rekayasa itu.

Fakta dalam proses penyidikan yang telah dilakukan pihak penyidik, menunjukan bahwa keterangan yang diperoleh dari berbagai pihak tidak menempatkan seorangpun sebagai saksi di lokasi kejadian. Kondisi tersebut seharusnya menimbulkan pertanyaan "ada motivasi apa dibalik dibalik semua itu sehingga harus menjebloskan Mikael Torang Kelen cs itu" ?

Bila kematian YGM berada pada satu posisi dan konflik dalam pemilihan kepala desa berada pada posisi lain lalu memunculkan persepsi yang mengatakan bahwa kematian YGM menjadi akibat dari konflik terbut adalah analisa yang sederhana dan menyesatkan. Logika sederhana seperti itu tidak memenuhi standar dalam logika konflik karena proses pemilihan kepala desa sudah berlangsung dan Mikhael Torang Kelen sudah menjadi kepala desa terpilih, sehingga logika causalitas dalam konflik tidak terpenuhi.

Bahwa sumber x melalui penulis pada blok Ata Maran begitu berani, dengan meninggalkan asas hukum praduga tak bersalah dan prinsip hukum condition sine qua non dengan mengandalkan rationale interptretatie, telah menempatkan Mikhael Torang Kelen cs sebagai pelaku pembunuhan adalah bagian yang wajib untuk diselidiki oleh pihak penyidik. Artinya keberanian seperti itu minimal memiliki dasar dan keyakinan sehingga menjadi sumber yang wajib dan harus diselidiki. Penyidikan itu menjadi penting untuk mendapatkan kepastian bahwa informasi itu adalah resmi dan menjadi keterangan saksi lalu menjadi alat bukti atau hanya sebatas rekayasa dan kebohongan.

Dengan berpegang pada fakta bahwa tidak ada seorangpun menjadi saksi di lokasi kejadian, maka keterangan yang ada hanyalah berupa testimonium de auditu yang menyatakan bahwa keterangan itu diperoleh dari pihak lain dan pihak lain itupun bukan saksi sesungguhnya, maka semua keterangan itu harus disebut palsu. Karena itu sebagai palsu maka dibalik kepalsuan itu hanya ada rekayasa. Karena itu rekayasa maka logika penyidikan tidak lagi sekedar mendengar, membaca, melihat, keterangan yang bisa dibaca, didengar dan dilihat tetapi semua fakta dan keterangan yang belum sempat untuk dibaca, belum sempat untuk didengar maupun yang belum sempat dilihat. Kunci dari semua proses penyidikan itu adalah mengamankan sumber x sehingga para penyidik dapat dengan leluasa mencari dan memahami apa motivasi dibalik semua rekayasa dalam cerita dalam blok Ata Maran itu.

2. Analisa Fenomena Kesurupan Flori Koten

Fenomena kesurupan yang dengan sengaja direkam dan kemudian menjadi modal dalam proses penyidikan menjadi fenomena yang aneh. Mengapa menjadi aneh ? Dalam negara hukum sebagaimana negara Republik Indonesia tidak ada undang undang yang mengatur tentang kesurupan sebagai salah satu petunjuk apalagi alat bukti dalam perkara pidana. Apalagi kesurupan yang terjadi pada Flori Koten adalah sebuah kesengajaan karena diatur dan direncanakan oleh orang orang tertentu. Bisa dapat dikatakan sebagai kesengajaan karena semua kejadian itu direkam dan diproyeksikan dihadapan pihak penyidik sehingga dianggap sebagai petunjuk atau alat bukti dalam perkara pidana tragedi Blou.

Adegan kesurupan Flori Koten adalah bagian dari grand strategi rekayasa. Adegan itu adalah bagian lain dari sumber x dalam ceritra koronologi penderitaan YGM. Bahwa dalam proses penyidikan dengan menghadirkan Piter Koten sebagai saksi ternyata juga tidak dapat menghasilakan apa apa karena Piter Koten sendiri tidak pernah melihat, mendengar apalagi menyaksikan adegan jalan salib penderitaan YGM. Proses penyidikan dengan menghadirkan Flori Koten juga akan menjadi sia sia manakala pemanggilan itu hanya mengarah pada peristiwa kesurupan. Ketidaksadaran Flori Koten tidak mampu untuk menempatkan semua keterangannya sebagai petunjuk apalagi sebagai alat bukti. Menjadi efektif hanya apabila pemanggilan itu diarahkan kepada siapa sesungguhnya pelaku rekayasa dalam peristiwa kesurupan. Artinya oknum yang menjadi otak untuk menghadirkan sebuah adegan kesurupan memiliki motivasi tersendiri. Oknum onum tertentu yang dengan sengaja menghadirkan kesurupan karena ada kekuatan data dan fakta sehingga ada hasrat untuk melalukan adegan tersebut, atau setidak tidaknya oknum tersebut perlu dihadirkan dihadapan pihak penyidik untuk dimintai keterangan, karena dibalik itu ada yang dirahasiakan. Ada beberapa kemungkinan yang dapat ditarik dari peristiwa kesurupan itu: Pertama; ada keinginan untuk melampiaskan rasa dendam kepada Mikhael Torang Kelen cs, dengan menyeret peristiwa Blou sebagai akibat dari konflik pemilihan kepala desa. Kedua; Ada motivasi untuk menghilangkan pelaku tragedi berdarah di Blou yang sebenarnya, dengan cara menyeret konflik pemilihan kepala desa, karena konflik itu dianggap paling ideal, apalagi sudah terbuka secara publik. Ketiga ada pribadi atau kelompok tertentu yang dengan sengaja menghilangkan identitas sebagai pelaku pembunuhan YGM karena konflik hubungan pribadi, dengan membuat rekayasa atau alibi melelui kesurupan Flori Koten untuk kemudian menuduh Mikhael Torang Kelen cs, sebagai pelaku pembunuhan, karena konflik pemilihan kepala desa dan konflik adat dianggap sebagai alasan yang paling tepat.

Penutup

Dari analisa ini, muncul asumsi bahwa ketika kematian YGM adalah karena pembunuhan maka pelaku pembunuhan YGM adalah orang orang yang tidak jauh dari keseharian hidup almarhum YGM, pelaku adalah orang yang hidup dan kesehariannya bersama dengan YGM. Bahwa ketika cerita kronologi perjalanan salib penderitaan dari stasi pertama sampai wafatnya di Blou sebagai kebenaran, maka sumber x dalam cerita itu adalah bagian yang tak terpisahkan dengan kematian YGM di Blou.

Bahwa rasa tidak puas dalam proses pemilihan kepala desa dan karena defacto nominator Mikhael Torang Kelen sebagai kepala desa terpilih adalah sebuah fakta dendam. Fakta dendam itu harus bisa dibalas, bagaimana proses untuk membalasnya, hanya orang yang memiliki dendam yang tahu. Tetapi logika penyelidikan melalui analisa causalitas dapat memberikan kita jawaban. Maka kita akhirnya kembali berharap kepada para penegak hukum untuk membuktikan itu.

Tragedi berdarah Blou membutuhkan proses penyelidikan yang falit dan akurat, membutuhkan isnting dan naluri inteligen yang juga kuat dan bernyali. Apalagi proses penyidikan sudah berjalan dan hanya karena apresiasi inteligen yang salah, telah menyebabkan proses penyelidikan dalam penyidikan menjadi salah tangkap. Analisa inteligen yang jitu dan kekuatan nyali menjadi hal penting, karena proses penyelidikan telah melibatkan emosi dan perasaan, tidak hanya aparat penegak hukum, tetapi anggota keluarga yang ditinggalkan, pihak yang dituduh dan semua anggota keluarganya, bahkan hampir semua masyarakat Lewoingu terseret dalam tragedi Blou dan proses penyidikan. Oleh karena itu semua berharap proses penyidikan jilid kedua tidak lagi mengalami salah tangkap, salah tahan apalgi kemudian harus dipenjara.

Dari Jakarta saya berharap semoga para penjahat bisa secepatnya menikmati hasil kejahatannya

Salam.................................................................................. Marselinus Sani Kelen.
































Tidak ada komentar: