Jumat, 31 Juli 2009

MASIH DARI KOKE DUNGBATA DAN PERNAK PERNIK LEWOOKONENG

Kesowari Bereamang....
Nama ini mengingatkan saya tentang sebuah peristiwa yang terjadi dan ditulis pada catatan kaki dari sejarah suku kebeleng kelen. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 20 Juli 1974 dalam sebuah acara adat sebagai tradisi untuk membuka dan mengolah kebun baru. Hadir juga disitu, orang yang tidak lazim untuk terlibat dalam urusan adat yakni bapa Sani Maran (alm), orangtua sdr Rafael Raga Maran ( mohon maaf saya tidak bermaksud untuk melibatkan orangtua kita dalam diskusi ini tetapi karena ada hubungan dengan tulisan anda). Dengan tanpa ragu ia mengatakan rie limang wanang peeng Kesowari Bereamang naang bake neing. Rie miong amu'ung etedikeng pake sorong". Dua kalimat ini diucapkan dengan maksud menghina kedua orangtua kami Yosep Gega Kelen dan Yosep Torang Kelen ( keduanya alm) dihadapan para pemangku adat Eputobi. Dengan tenang dan sabar bapa Yosep Gega Kelen menjawab ' kalo koda moeng mureeng, gae mo tutu ? mo tobo pe rie moeng, go tobo pi rie goeng, mo... le... go... Apa reaksi Bapa Alm Sani Maran, ia meninggalkan arena adat dan pergi tanpa pamit. Tindakan selanjutnya adalah menghujat orangtua kami bersama seluruh pemangku adat Lewoingu sebagai pihak penyembah berhala, dan melaporkan kepada pihak Gereja Paroki (Pastor Van den Burg). Sangsi yang diterima oleh para pemangku adat ketika itu adalah tidak boleh ke gereja sampai sekian tahun dan tidak boleh komunio.

Kesowari Bereamang...
Kali ini pernyataan itu muncul lagi dan tidak ada basa basi, tidak ada keraguan, oleh karena itu patut saya tertawa geli karena ada indoktrinasi palsu dari sebuah kebenaran sejarah. Muncul kalimat yang sama seperti ditahun 1974 ' rie limang wanang itu milik Kesowari Bereamang dari kebeleng koten, karena ia tidak punya turunan dan melalui proses adat rie limang wanang itu diserahkan kepada suku kebeleng kelen.
Membaca tulisan ini, saya menjadi tertawa karena alur berpikir seorang Rafael Raga Maran tidak mampu untuk mensejajarkan fenomena adat hari ini dengan berbagai khakikat dan peran yang dimiliki setiap orang dalam perjalanan sejarah itu. Bahkan alur logikanya ingin mengantar pembaca bahwa peran adat itu begitu mudah untuk berpindah tangan. Hakikat dan nilai ontologis dari peran adat rie limang wanang begitu mudah diserah-terimakan, masuk akalkah itu?

Kita yang hidup hari ini, dalam gemerlap modernisasi, masih tetap ingin membela hak dan kewenangan adat yang kita miliki, apalagi masyarakat tempo dulu. Hanya satu aspek dari kewenangan adat belohowe dan itupun terbatas pada areal tertentu, sdr Rafael begitu sibuk membelanya, apalagi menyangkut rie limang wanang pada koke Dungbata sebagai tiang utama, bahkan sebagai simbol pemimpin. Apakah anda lupa bahwa kepemimpinan tempo dulu adalah sebuah pengakuan bukan hasil musyawarah, legitimasi itu dengan sendirinya muncul karena figur ketokohan, kewibawaan dan kekuatan seseorang. Ingat .... rie limang wanang tempo dulu adalah simbol pemimpin, harga diri dan martabat dari suku. Oleh karena itu menjadi tidak mungkin martabat dan harga diri itu begitu mudah diserah-terimakan. Jadi saya berharap anda jangan mulai berdongeng kalau tidak ada bukti sejarah yang memperkuat argumentasi anda.

Apabila saya menantangnya dengan kalimat yang sama dari orangtua kami Yosep Gega Kelen ' mo tobo pe rie moeng, go tobo pi rie goeng, rua te tutu tentang rie limang wanang koke Dungbata, mo le go, nitung uteng, menakaa'ng rekang' saya yakin 1000% ia tidak berani, sebagaimana dulu pernah dilakukan orang orang sepertinya. Menjadi begitu nyata bahwa orang seperti Rafael Raga Maran adalah pribadi yang mengetahui sejarah lewoingu sebatas kulit ari.

Dengan menyebut nama Kesowari Bereamang sebagai pemilik rie limang wanang ia terjebak dalam analisanya sendiri. Karena ia tidak mampu memastikan kapan koke itu dibangun dan kapan Kesowari Bereamang itu hidup. Anda berbicara tentang pendirian Koke Dungbata dan kewenangan pada rie limang wanang, tapi imajinasi anda ngelantur jauh sesudah koke itu dibangun. Bahkan jauh melampaui 8 generasi sesudah koke itu ada. Bung Rafael .......... kalau anda kekurangan referensi, maka banyaklah mendengar, pulanglah ke Eputobi dan tanyakan siapa itu Kesowari Bereamang, siapa itu Subang Seng, tapi kalau anda mau saya bisa meminjamkan referensi itu.

Dari Koke Dungbata yang terbakar di penghujung tahun 1800-san, ketika Kompeni (Belanda) menyerang masyarakat Leworook, siapa yang menjadi penunjuk jalan, siapa yang mengiakan agar koke Dungbata boleh dibakar oleh Belanda ......? Ingat..... dari bara api, debu panas dan puing puing kehancuran terdengar tangisan kekecewaan. Ditahun 1968 ada kejadian menarik, Lewoingu sebagai ema-bapa harus bertanggungjawab untuk sebuah kasus kepada aring anaa'ng Tenawahang, terutama suku Wungu Open. Satu buah gading harus diserahkan kepada masyarakat Teanawahang kala itu dengan sia sia. Kasus apa itu.....? Apabila bung Rafael tidak ada referensi tentang itu kembalilah ke Eputobi dan tanyakan itu karena masih segar ingatan orangtua dikampung. Dari Koke Dungbata ada gaung untuk mencari dimana kini 'pesa' atau meriam tempo dulu berada ?............................?

Kebenaran tidak pernah memihak. Tapi dari kedalaman kebenaran itu sendiri akan terbaca siapa sesungguhnya yang benar. Kali ini satu topik diskusi kita telah terjawab, siapa itu bapa Raga ? ia anak siapa ? Dengan lugas Rafael Raga Maran menjawabnya. Ia begitu lugas dan getol membelah hak Kesowari Bereamang dari kebeleng koten, saya kira sikap untuk membela leluhurnya Kesowari Bereamang bagus juga, karena itulah basic dan populasi awal Rafael Raga Maran

Nong Ape.....
Tentang Koke Dungbata dan rie limang wanang adalah fakta sejarah yang dimulai dari leluhur Boli. Fakta sejarah itu sudah diterima dan diakui oleh setiap generasi dalam perjalanan sejarah lewoingu. Pengakuan itu tidak akan berubah hanya karena seorang Rafael Raga Maran bermimpi atau karena kesurupan dan kabelabe sesukahnya.

Nong Ape....... go gete mo........." Merang moeng gae" ?

Goeng noong........................"Merang wato tangeng merang larangtukang, Sili lolong Bala, Raya Siki Mili Tuang Raga Meang"



Tidak ada komentar: