Selasa, 21 Juli 2009

Tanggapan Atas Tulisan Sdr Rafael Raga Maran



Tulisan ini disajikan kepada halayak pembaca terutama anak Lewoingu dengan maksud agar materi diskusi semakin teruji dan menemukan kepastian siapa sesungguhnya tokoh tokoh utama dalam sejarah konstruksi Lewoingu. Hal itu berati proses dialektika diantara kita untuk saling menguji argumentasi sehingga kebenaran sejarah yang menjadi harapan dalam penelusuran sejarah, benar benar menyentuh seluruh aspek dan fariasi dalam keberagaman suku di lewotanah.
Tulisan ini dimuat sebagai bentuk tanggapan atas tulisan dalam blok Ata Maran sekaligus untuk mempertajam diskusi kita, mengapa saya menempatkan leluhur kami Boli dalam sejarah Lewoingu.

Eksepsi atas tulisan blok Atamaran " maksud hati ...........


A. Bahwa tulisan saya yang berjudul " Sejarah Lewoingu adalah Sejarah Boli " merupakan sebuah bentuk apresiasi terhadap tonggak tonggak dan puncak-puncak sejarah, menyangkut siapa tokoh awal dan utama, mana fase fase sejarah yang menjadi starting point dalam konstruksi sosial Lewoingu. Penulisan tentang sejarah sangat berbeda dengan apresiasi, karena penulisan sejarah membutuhkan berbagai kriteria sehingga ada kepatutan dan diterima secara obyektif karena benar dan secara kolektif oleh keberagaman suku di lewotanah. Dengan demikian tanggapan saudara Rafael Raga Maran adalah tanggapan tergesa-gesa dan judul yang dipakai sangat tidak arif dalam medan diskusi.

B. Penulis mempertanyakan dimana posisi saya pada tahun 2007; mohon maaf, saya tidak dalam posisi untuk berpihak, tetapi dengan teliti dan cermat mengikuti alur diskusi yang ada. Karena diskusi menjadi tak terkontrol sehingga menjadi sebuah perdebatan lepas, bahkan melibatkan berbagai unsur subyektif, maka banyak orang menjadi tidak simpatik, termasuk saya. Bahwa ada juga pernyataan yang benar dari kedua belah pihak sehingga patut didukung.

C. Pernyataan sdr Rafael Raga Maran tentang hak "rie limang wanang" pada koke Dungbata hanyalah bentuk adopsi dari budaya Lewotalah yang intinya rie limang wanang diserahkan pada anak bungsu bukan anak sulung, menjadi sebuah pernyataan yang sangat tidak beralasan. Pertama Koke Dungbata adalah starting point konstruksi sosial Lewoingu, dari koke itu segala fungsi dan kewenangan itu mulai dibagi, dari koke berbagai tatanan dan budaya mulai ditetapkan dan diberlakukan. Pembagian dan penetapan, jelas memiliki dasar bukan sekedar adopsi. Kedua, ada keraguan dan keengganan dalam diri penulis untuk mengakui bahwa rie limang wanang sebagai tiang utama dan diturunkan kepada anak cucu Boli, hal ini mengingatkan saya tentang sebuah keprihatinan karena dalam tulisan pada ucapan selamat datang Blok Atamaran ia juga telah menganulir suku Kebeleng Kelen sebagai turunan Gresiktuli. Ada maksud apa ....... ? Ketiga, ada kebimbangan dalam dirinya untuk mengakui lewoingu yang berkepribadian dan jati diri, karena tatanan yang ada adalah hasil adopsi. Logika ini diteruskan maka berbagai tatanan adat budaya yang diwariskan nenek moyang adalah hasil adopsi, semuanya adalah tiruan/imitasi, sehingga tidak ada ciri khas atau identitas budaya yang lahir dari Lewoingu sendiri. Lewoingu tidak punya jati diri termasuk kita sebagai anak lewoingu. Bahwa dalam adat dan budaya memiliki nilai universal, itu bisa diterima, tetapi pada setiap daerah tetap memiliki nilai nilai eksklusif dan hanya ada pada diri masyarakat tsb, apalagi itu menyangkut hal utama/ tonggak dari sebuah fenomena adat dan budaya.

D. Sejarah Lewoingu tidak mulai dari Boli, segala karya Boli terlaksana sesudah Lewoingu terbentuk. Pernyataan seperti ini perlu diuji tingkat kebenaran dan akurasinya, proses pengujian kita mulai dengan beberapa pertanyaan sebagai indikator
Pertama; apabila istilah Lewoingu itu adalah rangkaian Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali, dimulai pada fase hidup siapa ? Kedua bahwa Lewoingu itu adalah konstruksi sosial yang dimulai dari koke Dungbata, maka siapa sesungguhnya tokoh yang membangun koke Dungbata itu ?
Ketiga; Mengapa didirikan koke Dungbata, padahal ketika itu sudah ada koke Dungtana ? Keempat; Fenomena gatak dari sastra mantra ( marang mukeng) menuturkan seperti apa dan bagaimana ? Kelima; Fenomena adat dan budaya hari, sebagai bentuk pewarisan kewenangan leluhur lewoingu tempo dulu menyatakan seperti apa ?

Proses pengujian menjadi penting untuk mendapatkan nilai obyektif dari semua pernyataan, sehingga diterima sebagai kebenaran. Lepas dari fakta sejarah maka segala bentuk penulisan kita menjadi tidak dapat diterima karena dianggap palsu.

E. Penulis menyatakan bahwa Boli sebagai delegasi dari rumah Limpati dalam setiap peperangan dan Raga tampil sebagai peminpin dirumah Limpati. Menjadi pertanyaan
Pertama; atas dasar apa Raga tampil sebagai pemimpin di rumah Limpati, apakah karena hak kesulungan ? memang Raga anak siapa ? Apakah Sani adalah Bapanya ? TIDAK !! Raga adalah anak Hule dari keluarga Metinara. Raga adalah hasil dari " nuhung teme tewong, alo boleng boto"
Kedua; menjadi pemimpin tempo dulu bukan hanya duduk di rumah. Pengakuan itu ada karena legitimasi masyarakat berdasarkan pada kewibawaan karena berbagai kekuatan yang dimiliki oleh sesorang. Kemudian ada fakta keberhasilan dalam melaksanakan tugas yang diberikan, ada tekad dan komitmen untuk memperjuangkan kepentingan kelompok masyarakat.

Menjadi nyata siapa sesungguhnya pemimpin di rumah Limpati, proses pengujian tidak menempatkan Raga sebagai pemimpin, oleh karena itu argumentasi sdr Rafael Raga Maran yang menyatakan Raga Tampil sebagai pemimpin menjadi tidak berdaya, oleh karena itu harus ditolak

F. Istilah Dong rua (Lengkapnya dong rua lika rua). Dong rua lika rua adalah istilah, karena itu istilah, maka padanan kata itu bermakna konotatif. Istilah itu mengikuti proses upacara adat dirumah Limpati yakni ketika ada upacara adat maka baku (tempat beras) dari suku Kebeleng kelen harus masuk dari depan dan harus penuh dulu baru dari pihak Atamaran yang masuk dari belakang. Demikian juga dengan tumpeng atau berbagai sajian lain harus dimulai dari suku kebeleng kelen baru suku Atamaran kemudian suku lain yang menumpang
Pemisahan ini bukan simbol konflik tetapi sebuah sikap arif dari nenek moyang yang mau menunjukan siapa yang lebih berhak di rumah Limpati, sekaligus untuk menjaga agar dikemudian hari tidak terjadi manipulasi dan saling berebut, waupun fakta hari ini, indikasi itu mulai tumbuh subur. Fenomena pemisahan itu dilaksanakan berdasarkan fakta sejarah ketika Raga yang dipanggil pulang untuk terlibat dalam pendirian Koke Dungbata untuk pertama kali.
Mungkin saudara Rafael perlu bertanya mengapa ada istilah " Go kang kakang wolo" atau gatak lain " Gena gele Raga Wanga"

G. Satu kalimat pelecehan " baru tahu satu dua koda khiring sudah berlagak luar biasa" rupanya sudah menjadi kebiasaan bagi sdr Rafael Raga Maran untuk menghina, mengfitna dan melecehkan orang lain, tapi saya tidakperlu membalas pelecehan itu karena
Pertama; semakin anda melecehkan dan menghina orang lain, maka pada saat yang sama anda telah membuka layar tayangan pribadi sendiri tentang siapa sesungguhnya dirimu, sehingga menjadi jelas hanya kepada orang yang tahu menghormati dirinya, saya perlu memberikan respek, pengakuan dan penghormatan. Pantaskah kita dihormati ?.....................
Kedua; Penghinaan adalah cara lain dari proses belajar, semakin kecil saya dimata orang lain semakin besar niat saya untuk belajar, kecil dimata manusia tapi saya yakin pada saatnya dimulikan oleh Yang Kuasa " Aju has saidul jalil habibul muhahidin, ajib ya abdal, wahid bil Wahidil ahad"

H. Ada pernyataan " tokoh tokoh dari suku Kebeleng Kelen tidak berceritra seperti itu"
Penulis begitu jeli untuk menggunakan pola atau satu teori dalam berdebat dengan membuat klaim untuk mendapatkan dukungan dan pembenaran. Saya teringat pada tahun 2007 ketika terjadi perdebatan dengan Opu Don Kumanireng ada kalimat berbunyi ada tokoh tokoh Kumanireng yang menjadi sumber ceritra. Kali ini terulang lagi, tapi bagi saya cara cara semacam itu adalah bagian lain dari teori yang sama untuk menyatakan kepada publik bahwa sang penulis kehabisan ide, kehilangan argumentasi untuk mempertahankan tesis.

Dari delapan eksepsi ini saya mengajak sdr Rafael Raga Maran untuk terlibat dalam refleksi
1. Argumentasi tulisan tidak dapat diterima karena argumentasi tidak memiliki dasar pijakan pada fakta sejarah. Pernyataan pernyataan hanyalah bentuk premis dari kasil interpretasi sehingga menjadi kabur ( obscuur libel).
2. Penulis begitu sibuk untuk menyatakan orang lain sebagai penutur palsu, tetapi dilain pihak penulis tidak mampu menunjukan bukti atas tuduhan yang disampaikan sehingga mengundang pertanyaan siapa yang palsu.
3. Yang meletakan persaudaraan di rumah Limpati itu adalah Boli dan bukan Raga. Tanpa kearifan Boli maka Raga tidak punya tempat di Dungbata. Tanpa kearifan Boli hak Uluwai dari Lango Limpati tidak ada pada Raga
4. Raya Koten noong Kelen, tuak Hurik noong Maran, dari gatak mantra dan nama yang melekat pada kita sudah ada perbedaan, jadi jangan anda melecehkan leluhur saya.
5. Adu argumentasi adalah hal yang wajar, menjadi tidak wajar kalau kita sebagai penulis kontemporer terjebak dalam keegohan intelektual untuk membenarkan pendapat sendiri. Ingat.... keegohan semacam itu adalah ungkapan dari keterbatasan dan ketidakberdayaan kita terhadap obyek analisa yang sedang kita bangun.


Salam ............. dari Eputobi






























Tidak ada komentar: