Minggu, 28 Juni 2009

GRESIKTULI SANG DEMONG PAGONG

Bukan karena sikap subyektif sebagai anak cucu Gresiktuli yang karena faktor kepentingan ingin menempatkan leluhurnya sebagai pihak yang harus dihormati, tetapi karena sejarah telah membuktikannya sebagai keniscayaan. Bukan dari singgasana kesombongan untuk menempatkan leluhurnya sebagai pihak yang dihargai tetapi karena fakta sejarah dan sastra marang mukeng lewotanah, membuat saya bangga punya sosok leluhur seperti itu. Bukan dari menara demong pagong sebagai kebelen'g agar dipatuhi keinginan, tapi dari kesahajaan, saya ingin menempatkan diri sebagai anak pewaris sejarah agar satu sama lain kita saling menghormati. Keniscyaan dan kebanggaan ini tidak serta merta menihilkan peran leluhur ata suku yang lain, tetapi tetap dalam semangat persaudaraan, menghargai semua pihak yang telah menorehkan sejarah lewotanah kita tercinta. Saling menghormati adalah sikap dasar dalam hidup kita hari ini, sebagaimana leluhur tempo dulu, yang selalu menjadikannya sebagai ciri-ciri dan jati diri dari kehidupan mereka.

Lewoingu tempo dulu bukanlah kerajaan, Lewoingu tempo dulu adalah hasil dari kontrak sosial, artinya lewoingu dibangun oleh sekian entitas suku yang memiliki karakter dan kepribadian. Entitas entitas itu adalah pilar, dibangun menjadi satu unit sosial yang belakangan kita kenal dengan istilah Lewoingu ( Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali ). Konstruksi bangunan sosial ini meniscayakan adanya kewibawaan yang menjadi perekat, ketauladanan yang menjadi daya pengikat dan kekuatan yang mempersatukan. Dalam bingkai pemahaman kita semacam ini, maka bukanlah sikap gegabah, bila saya mengatakan bahwa pengikat, perekat dan daya pikat itu adalah Gresiktuli. Bahwa dari keluhuran martabat dirinya, ia telah meretas batas riang menjadi tali kasih persaudaraan. Bahwa dari kewibaan dirinya, ia telah membuka sekat sekat kesukuan menjadi opung paing, kakang aring. Bahwa dari kekuatan karakter dan ketegaran jiwanya, ia telah membawa masyarakat lewotanah tempo dulu untuk hidup dalam alam kebebasan, bebas dari monster kanibalis atau leviathan kaum Paji.

Kehebatan sang tokoh telah berlalu, hari ini dijaman teknologi serba digital, jaman yang menempatkan ilmu dan teknologi sebagai dewa, ada hasrat untuk kembali mengenang sejarah masa lalu dalam bentuk penulisan sejarah lewotanah. Patut untuk direspon, karena dalam dirinya pencetus gagasan ini, memiliki rasa hormat terhadap sejarah, hormat kepada para leluhur. Penulisan sejarah menjadi sangat efektif bila kita memiliki bukti peninggalan berupa artefak dan berbagai tatanan sosial, karena dari foundasi itulah kita dapat berapresiasi untuk mempertahankan sebuah argumen. Sejarah yang diwariskan hanya melalui tradisi lisan ( bahasa tutur) menyimpan berbagai kelemahan, karena lemahnya ingatan dan faktor subyektif yang cendrung melekat pada diri sang penutur. Diatas serpihan cerita yang luntur, sejarah kehilangan ruhnya, sejarah sekedar catatan kehidupan karena tidak dilandasi pada akar dan nilai-nilai historis yang sesungguhnya. Disinilah arena perdebatan itu dimulai, termasuk didalamnya perdebatan tentang siapa itu Gresiktuli sesungguhnya.

A. Fenomena Awal Kehadiran Sang Demong Pagong

Mungkin kita harus sepakat, bahwa kehadiran awal Gresiktuli dimulai dari tempat yang sampai dengan hari ini kita namakan "Dua Tanah Beto". Pemberian nama terhadap wilayah/areal hutan rimba ini pasti punya sejarah tersendiri, karena nama memberi makna tentang sebuah fakta, nama menjelas berbagai nilai yang melekat padanya. Aspek sejarah yang melekat didalamnya dihayati sehingga areal itu tetap terpelihara dan tidak akan pernah untuk ditebang dan dijadikan areal pertanian atau perkebunan. Persolan sekarang bagaimana kehadiran awal Gresiktuli ini harus dijelaskan ? saya kira tidak ada cara lain selain kita membangun interpretasi, mengolah kemampuan hermeneutik atas bahasa/sastra dari mantra (marang mukeng) yang sering diucapkan dan didengar anak lewotanah.
" Demong pe'eng beto yang rae koting bala pukeng, pagong pe;eng burak rae wato tonu lolong. Beto lali tanah haka burak lali ekang gere, beto na'ang ba'i eha'ang, burak na'ang beda soka toya"
Vonem dari mantra ini memberikan padanan kata yang saling menjelaskan; bahwa ada figur demong pagong yang keluar dari tanah sebagai seorang bayi. Tetapi yang dimaksud bukanlah bayi tak berdaya, melainkan bayi yang memiliki kedigdayaan, ia hadir dengan membawa kekuatan kekuatan yang luar biasa "ikekwa'a wato tonu-tonu wuyo" dan diatas kekuatan itu ia bertumbuh menjadi besar. Tanah tempat ia hadir telah memberikan perubahan yang sekoyong koyong bukan sekedar bayi lagi. Kehadiran awal demong pagong ini disambut oleh penghuni alam semesta disekitarnya, wekak keak teti pai, wodong gorek lali dai, lusi gileng teti pai lako hayang lali dai. Menjadi jelas bahwa kehadiran demong pagong ini disambut dengan kegembiraan. Ekosistem dengan segala komunitas yang ada didalamnya menerima kehadirannya. Ini menjadi semakin nyata bahwa dari kehadiran awal, ia telah ditakdirkan untuk menjadi pemimpin.

Pada penggunaan mantra lanjutan "Tawa beleka'a na'ang hogo beta, nubung gere na'ang mereng rua, terdapat padanan vonem yang menjelaskan eksistensi demong pagong ini dari waktu kewaktu. Pertumbuhan dan perkembangan sang demong pagong terjadi tidak sebagaimana biasanya tetapi terjadi dalam hitungan hari. Ada percepatan dalam pertumbuhan atau bisa saja dimaknai ada loncatan waktu yang hanya dialami oleh sang demong pagong ini. Perubahan ini, memberikan jawaban bahwa sang Demong Pagong dipelihara oleh kekuatan kekuatan lain yang tidak dapat ditangkap oleh orang pada jamannya. Kekuatan kekuatan itu adalah bawaan dan kekuatan alam yang telah menyatu dengan dirinya.

Penggunaan mantra yang dipakai oleh nana yadi tra'h Lewohari " Inang go beta bewa....herung no'ong ba'i eha'ang, one'eng huk matik sare, deing nala bote ba'i sadik, nala dukong nubung, nete tiro niang lewo lau hari lama rebo, niang lau rebo lama lina, opanele tuho dukong lela liwu... nele tawa beleka'a na'ang hogo beta, nele nubung gere blolaya'a na'ang mereng rua...
Ada hal menarik untuk diteliti lebih jauh, dari aspek penggunaan bahasa Go inang Bota Bewa menempatkan ema Bota Bewa sebagai subyek, tetapi dalam padanan bunyi mantra selanjutnya dengan penggunaan pola kata kerja yang dipakai ...herung no'ong....one'eng huk... penggunaan vonem no'ong dan one'eng ( beda ko'ong dan onek'eng) seolah olah telah berubah dan menempatkan Ema Bota Bewa menjadi obyek.
Untuk menjaga proses berpikir dan logika awal kita tetap pada maenstrimnya maka, frase mantra yang terakhir ini harus dimaknai dalam konteks yang berbeda. Artinya kita harus menempatkan Ema Bota Bewa dan sang Demong Pagong sebagai pribadi dengan kondisi keberadaan satu sama lain berbeda. Ema Bota Bewa yang diliputi oleh rasa kegembiraan dan emphaty terhadap bayi yang ia hadapi, dengan tidak ada pemahaman tentang siapa sesungguhnya bayi tersebut. Sifat kelembutan dan ketulusan menutupi segala prasangka, sehingga yang harus dilakukan selanjutnya adalah membawanya ke tempat dimana ia bersama suaminya Nuho Rehing tinggal. Frase lanjutan " tuho dukong lela liwu" yang secara lugas berarti Ema Bota Bewa menyusui bayi demong pagong. Kalau kita menggunakan arti lugas seperti itu berarti kita mengingkari sebuah fakta, karena Ema Bota Bewa ketika itu tidak sedang dalam keadaan memiliki air susu untuk menyusui, Ema Bota bewa belum punya anak. Padanan bunyi tuho dukong lela liwu dimaknai sebagai bentuk emphaty, perhatian mereka sebagai orang tua asuh (bua burang, tekan tenung, hebo baha dll) terhadap demong pagong itu. Bila kita menelusuri frase berikutnya " nele tawa beleka'a na'ang hogo beta, nele nubung gere blolaya'a na'ang mereng rua.. maka dapat dimaknai bahwa kebersamaan sang Demong Pagong di Lewoharipun tidak begitu lama, mengikuti pertumbuhan yang secara cepat itu. Dari fenomena ini maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa jarak waktu dari kehadiran pertama di Tanah Beto sampai ia memberikan nama pada dirinya tidak membutuhkan waktu yang lama tetapi dalam waktu yang singkat, sesingkat dan secepat proses pertumbuhan yang ia jalani.

B. Mengapa Menjadi Bayi Di Tanah Beto
Figur yang hadir di Tanah Beto, bukan figur anonim tetapi ia adalah Demong Pagong. Mengapa kehadiran sang Demong Pagong ini harus dari bayi, adalah bagian lanjutan untuk memahami siapa sesungguhnya pribadi yang misteri ini. Kedigdayaan sebagai seorang bayi dengan segala ikekwaa ditopang restu dan penerimaan alam dan kehadiran yang membawa kegembiraan bagi semua ekosistem dan komunitas didalamnya, maka saya memberanikan diri untuk menyatakan bahwa "Demong pe'eng beto yang rae koting bala pukeng, pagong pe;eng burak rae wato tonu lolong. Beto lali tanah haka burak lali ekang gere, beto na'ang ba'i eha'ang, burak na'ang beda soka toya" adalah wujud dari sebuah "kehadiran kembali" Bahwa ada figur anonim yang sebelumnya pernah hadir, dan pada waktunya ia kembali menghadirkan diri sebagai Demong Pagong di Tanah Beto. Mungkin khalayak menuduh saya sebagai orang gila, yang karena kegilaannya kabe labe seenaknya, tapi ketika anda membaca Sang Kuriang yang mencari Ibunya Dayang Sumbi, ternyata ia harus mengalami kehadiran berulang ulang kali ditempat yang berbeda, atau kalau anda membaca riwayat Syeh Sitie Djenar andapun termangu ternyata beliau harus hidup dan mati berkali kali. Mengapa.... ? karena mereka memiliki kelebihan yang luar biasa. Sang Demong Pagong yang di Tanah Beto juga luar biasa, karena logika normal kita tidak pernah menerima bahwa ada sel telur dan sperma yang tercecer didalam tanah, mengalami proses pembuahan menjadi zygot dan menjadi bayi Demong Pagong itu.

Bahwa kehadirannya sebagai bayi mempunyai alasan, bahwa dalam dirinya sang Demong Pagong memilki sikap dasar. Pertama; Sang Demong Pagong menyadari tempat dimana ia harus hadir adalah wilayah baru, dengan kosmologi serba baru. Maka yang dibutuhkan adalah adaptasi dan penerimaan untuk menjadi bagian dari keteraturan/kosmos yang ada. Kehadiran itu membutuhkan restu, kehadiran membutukan pengakuan tidak hanya terbatas pada manusia tetapi oleh keseluruhan ekosistem dan komunitas yang ada. Kedua; Bahwa untuk dapat diterima ia harus menyatu, menjadi bagian dari semesta, tanah adalah dirinya, tanah adalah hidupnya, tanah adalah segalanya bagi Sang demong Pagong. Tanah memberikan ia jadi diri, wato tonu mengukir karakternya dan tonuwuyo menjadikannya sebagai pemimpin. Ketiga ; Kehadirannya dari tanah menunjukan sang Demong Pagong adalah tanah ihike'ng, tanah ataha'ng, ana'ak nimun, matik sare. Sang Demong Pagong bukan populasi tena mao Keempat; Demong Pagong yang hadir di Tanah Beto adalah koting bala pukeng, bahwa ia adalah pemimpin. Menjadi pemimpin harus mendapatkan legitimasi, yang tidak hanya terbatas dari manusia tetapi dari alam semesta. Tanah dimana ia hadir mengenalnya, Kekuatan tanah menunjuknya, kedasyatan alam mendukungnya dan kedigdayaan semesta merestuinya menjadi pemimpin.

Penutup
Membuka tabir misteri kehadiran Gresiktuli adalah bagian yang tidak muda bagi anak generasi sekarang ini. Analisa lingguistik dan tafsir hermeneutik, melalui permenungan dan meditasi tetap saja meninggalkan misteri. Jangankan anak kontemporer hari ini, Ema Bota Bewa dan Bapak Nuho Rehingpun sampai pada hajat dikandung badan, tetap tidak mengenalnya secara utuh. Cukuplah kita mengenalnya sebagaiman ia telah memperkenalkan diri........sehingga dari keabadian alam baka, ia boleh tersenyum........
" bilarlah selimut misteriku tetap menjadi misteri, karena hidup itu sendiri adalah misteri.....

Mungkin menjadi lebih arif..... mari kita semua serahkan kepada Sang Pengatur...
cukuplah kita berserah pada Yang Kuasa dan memohon..............

eltada predonador los mas hermesos, nombres de Allah...

Salam Marsel Sani Kelen ................... Jakarta.

















Tidak ada komentar: