Senin, 24 Agustus 2009

JUJURLAH MENJADI DIRI SENDIRI

Kalimat judul ' Jujurlah Menjadi Diri Sendiri' sengaja saya sajikan sebagai judul dari tulisan ini, dengan maksud mengajak lawan debat saya Rafael Raga Maran untuk tidak menghindari berbagai fakta sejarah untuk menjadi seorang figur lain, selain pribadinya sendiri. Rafael Raga Maran mulai gelagaban dan tidak mampu mempertahankan berbagai tesis dalam penulisan sejarah dan bertindak sebagai seorang ahli bahasa untuk mencari kesalahan dalam pengetikan. Pada posisi ini, saya tidak ingin berdebat dengannya karena saya dan lawan debat saya, bukan ahli bahasa. Lawan debat saya bukanlah seorang ahli bahasa sekelas Sutan Takdir Alisabana, atau Goris Geraf ataupun Mohamad Yamin sehingga dalam perdebatan itu dapat ditemukan letak dan cara penulisan yang dianggap paling tepat. Lawan debat saya hanyalah seorang Rafael Raga Maran sebagai seorang individu serba terbatas.

Dalam tulisannya yang berjudul ' Ngawurisme Diantara Dongeng dan Sejarah' ia berusaha dengan keterbatasan energi, dengan daya yang serba kurang, ingin memberikan tanggapan atas tulisan saya, tetap berada pada posisi yang tidak dapat dipertanggunjawabkan secara akademis. Ketidakmampuan itu terletak pada analisanya tentang sejarah hasil imajinasi dongengnya, berada diatas dongeng lain. Apabila cerita dongeng menjadi sebuah argumentasi untuk mempertahan tesis (dongeng yang ada), maka syllogisme dari analisa itu tetap pada posisi dongeng. Dengan kalimat yang lebih sederhana, apabila seseorang yang sering berbohong maka pribadi seperti itu harus disebut penipu atau pembohong.

Ada beberapa tulisan sebagai tanggapan atas tulisan Rafael Raga Maran dalam tulisannya Ngawurisme......antara lain:
Pertama; Rafael Raga Maran menyatakan : go gersik tana tawa, belia gere go gere, belia lesa go lesa sebagai gatak dari Gresiktuli sendiri. Tapi fakta bahwa gatak seperti itu begitu asing untuk masyarakat Lewoingu dari dahulu sampai hari ini. Lepas dari rasa keterasingan itu, saya sepakat bahwa bahasa gatak adalah gaya bahasa metafora. Tetapi menjadi kelemahan lawan debat saya ini, adalah ia mengatakan bahwa karena itu adalah gaya metafora maka tidak dapat diartikan. Ia tidak memahami bahwa penggunaan bahasa metafora sebagai satu cara untuk menjelaskan sesuatu, karena pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti sebenarnya melainkan sebagai lukisan dan konotasi yang berdasarkan pada persamaan atau perbandingan. Hal itu berarti gatak dengan gaya metafora atau personifikasi tetap dapat diartikan karena memiliki makna. Bung Rafael Raga Maran....tidak ada kata atau kelompok kata yang tidak memiliki makna. Tetapi pada tahapan inilah khalayak pembaca bisa mengukur kemampuan seorang Rafael Raga Maran. Bahwa untuk melengkapi dongeng yang ada, ia menempatkan gatak karangan atau versinya, tetapi ia sendiri tidak mampu memaknainya. Rafael Raga Maran begitu sibuk dan berambisi untuk menulis sejarah tetapi ia tidak mampu memaknai berbagai simbol dalam sejarah itu. Maksud hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai. Kasihan..................................................................................................

Kedua; Rafael Raga Maran yang berniat untuk mempertahankan tesisnya tentang kehadiran seorang pribadi yang anonim, dari koda khiring kiwaneng mo diamun'ng kae go mehaken hena, go pana tiro lera gere, dengan menyebut seseorang yang bernama Keropong Ema. Kali ini ia menyebutkan bahwa orang yang bernama Keropong Ema adalah adik Gresiktuli. Untuk mepertahankan tesis itu, ia mengajak saya melakukan penelitian dan verifikasi di Hewa. Baru kali ini, saya mendengar bahwa untuk mempertahankan sebuah tesis, pribadi yang bersangkutan menyuruh pihak lawan dalam perdebatan itu, membuktikan tesisnya. Bung Rafael Raga Maran..... yang benar itu adalah anda melakukan penelitian dan verifikasi, data dan hasil yang anda peroleh dikaji lebih jauh sehingga menjadi dasar dari tesis itu. Apabila anda yakin akan kebenaran itu, maka anda sampaikan dan pertanggunjawabkan kepada publik. Bung Rafael Raga Maran sebagai insan akademis
maka gunakan nalar dan cara berpikir yang sehat, jangan terbalik. Saya mengingatkan anda karena cara berpikir anda terbalik, karena cara berpikir seperti itu, sama seperti Alo Emar (alm) di Lewolaga dan Muku Gening (alm) di Riangduli.

Ketiga; untuk mempertahankan tesis ' go gresik tana tawa, belia gere go gere, belia lesa go lesa dan mo di amu'ung kae, go mehakeng hena, go pana tiro lera gere, lawan debat saya serta merta menghadirkan seorang yang bernama Keropong Ema.Pada fenomena ini Rafael Raga Maran telah membantah tulisannya sendiri, karena pada satu sisi ia mengatakan koda kiwaneng (kalimat bahasa daerah ) ini adalah gaya metafor dan tidak dapat diartikan. Tetapi dengan menempatkan pribadi anonim itu dengan sebuah nama Keropong Ema, Rafael Raga Maran bertempur melawan imajinasinya sendiri. Antara prmis yang pertama ' gatak tidak dapat diartikan' dan premis kedua ' mo diamu'ung kae...dst diartikan sebagai ada figur yang bernama Keropong Ema, mati dalam peperangan di Hewa, saling membantah bahkan saling meniadakan. Logika dan alur berpikir lawan debat saya ini sesungguhnya sedang bertempur dengan dirinya sendiri dan akhirnya terkapar tak berdaya.

Keempat
;diatas cerita tentang Gresiktuli yang berasal dari Jawa dan dalam perjalanannya menuju Lewokoli ia melalui beberapa tempat antara lain pulau Bali, pelabuhan Bajo, ile khue, Hewa, ia serta merta menempatkan Gresiktuli dan turunannya adalah Demong Pagong. Defacto istilah dan makna Demong Pagong, sangat bertentangan dengan dongeng versinya itu. Logika analisanya menjadi tambal sulam, kontrol akal yang sangat terbatas, sehingga setiap pernyataan sebagai premis, satu sama lain saling bertentangan dan saling meniadakan.

Kelima; ketika ia menanggapi rasa keterasingannya dengan daerah yang disebut lewopao yang berdekatan dengan daerah sumber mata air sedukokere'ng, ia serta merta menyatakan bahwa keluarganya adalah pihak yang paling berjasa dalam menghadirkan instalasi air bersih di kampung halaman. Lawan debat saya ini mengatakan : Bapanya Sani Maran adalah tokoh yang menanda-tangani proposal yang dikirim ke Belanda dalam upaya pencarian dana dan adiknya Yoakim Gresiktuli Maran adalah orang yang sering memperbaiki kerusakan pipa, dengan biaya perbaikan itu adalah hasil dari urunan Yoakim Gresiktuli Maran dan kawan-kawannya. Supaya kebohongan Rafael Raga Maran dapat kita saksikan maka berikut ini, saya ingin menceritakan sejarah adanya penyediaan air bersih sebagai komuditas vital di lewotanah Eputobi.

Kehadiran air bersih di lewotanah Lewoingu dimulai dari kehadiran awal Pastor Van de Burg SVD. Keberadaan Pastor Van Den Burg adalah untuk menggatikan Pastor Anton Stop SVD sebagai pastor paroki Lewolaga. Perhatian dan kepedulian tentang adanya air bersih menjadi hal utama. Ia mulai dengan membangun bak penampungan di gereja Eputobi. Pembuatan bak penampungan itu dilaksanakan oleh tukang dari missi Larantuka berjumlah 2 orang dan dibantu oleh masyarakat Eputobi selama 11 hari kerja. Pembuatan bak penampungan itu pertama tama untuk menampung air hujan. Karena ketersediaan air tidak cukup, maka ada upaya lain dengan mencari sumber mata air yang berpotensi untuk dialirkan sampai ke Eputobi. Pilihan ketika itu adalah mata air dari sedukokereng dekat areal lewopao di belakang ile ( gungung) Boleng. Untuk meyakinkan niat itu, Pastor Van Den Burg SVD. menghadirkan seorang tenaga ahli dari Belanda bernama Ir. Murrer. Berdasarkan analisa Ir. Murrer bahwa sumber mata air Sedukokere'ng mampu dialirkan sampai jauh ke Eputobi maka niat luhur itu mulai direncanakan. Perencanaan itu dilakukan bersama 4 desa yaitu Desa Leraboleng, Desa Tuakepa, Desa Tenawahang, dan Desa Lewoingu dibawa koordinasi Pastor Van Den BUrg SVD.

Pada waktu itu yang menjadi ketua stasi Eputobi adalah Bapak Gregorius Geroda Kwen (alm) dan yang menjadi kepala desa Lewoingu adalah Bapak Yohanes Ola Kumanireng, dibantu oleh sekertaris Dominikus Doweng Kelen dan Pamong Desa Bapak Yosep Torang Kelen (alm) dan Bapak Koli Koten. Karena kelima orang itu adalah tokoh lokal baik dari aspek pemerintah Desa Lewoingu dan Stasi Euptobi, maka mereka terlibat secara nyata. Kerjasama untuk mengadirkan air bersih ini, selalu dilaksanakan secara bersama dari keempat desa dibawah koordinasi Pastor Van Den Burg SVD. Untuk pembuatan proposal dibuat oleh Partor Van Den Burg dan dilengkapi dengan beberapa foto sebagai dokumen dan lampiran. Tokoh lokal yang mewakili masyarakat Lewoingu dalam penandatanganan proposal itu adalah Bapak Yohanes Ola Kumanireng selaku Kepada Desa. Bahkan untuk komunikasi dari Belanda lewat surat menyurat juga ditujukan kepada Bapak Yohanes Ola Kumanireng. Dana bantuan dari Belanda berjumlah Rp 24.000.000 ( dua puluh empat juta rupiah).

Partisipasi masyarakat dari keempat desa itu adalah tiap kepela keluarga diwajibkan mengumpulkan uang sebesar Rp. 5.000 ( lima ribu rupia) sehingga total terkumpul dari tiap desa sebesar Rp. 2.000.000.(duajuta rupiah) dikalikan dengan empat desa menjadi Rp. 8.000.0000 ( delapan juta rupiah). Partisipasi yang kedua adalah tiap kepala keluarga dari kepempat desa tersebut adalah mengumpulkan 2 blik gaba. Untuk pengumpulan uang di desa Lewoingu adalah Bapak Dominikus Doweng Kelen dan gabah dikumpulkan oleh Bapak Yosep Torang Kelen dan Bapak Koli Koten. Gabah yang terkumpul ditempatkan dibale desa, dari masing masing desa. Penanggunjawab dalam penerimaan instalasi air bersih berupa pipa di dermaga Larantuka adalah Bapak Yohanes Olah Kumanireng.

Ketika instalasi air bersih itu tiba di dermaga Larantuka, Bupati Larantuka Bapak Monteiro memanggil Bapak Yohanes Olah Kumanireng dan menanyakan proyek apa yang sedang dikerjakan. Penjelasan secara rinci disampaikan oleh Bapak Kepala Desa ketika itu membuat Bupati Larantuka ingin terlibat dalam memberikan dukungan. Dukungan dan bantuan Bapak Bupati Larantuka ketika itu adalah 110 batang pipa berukuan 31/2 din. Ketika bantuan instalasi air bersih itu tiba di Eputobi, maka gabah dan uang yang terkumpul dari keempat desa diserahkan kepada missi di Larantuka.

Tentang pemasangan pipa air bersih dari Sedukokere'ng sampai di tiap desa dilaksanakan oleh seorang teknisi yakni Bapak Aku Desantos ( Om Aku) dibantu masyarakat dari keempat desa dimaksud. Akhirnya niat luhur itu terwujud dan kita perlu bersyukur bahwa upaya dan perjuangan yang begitu besar membawa hasil dan sampai hari ini, kita semua terutama keempat desa itu bisa menikmati air bersih. Perjuangan untuk terus menjaga dan memelihara ketersediaan air bersih terus dilaksanakan. Untuk tugas pemeliharaan itu adalah tanggunjawab dari masyarakat keempat desa. Tanggunjawab itu dalam pelaksanaan dibagi secara adil oleh aparat desa masing masing. Apabila itu menjadi tanggunjawab masyarakat Desa Lewoingu, maka tanggunjawab itu akan dibagi menurut dusun atau berdasarkan kelompok kerja masing masing sampai hari ini. Apabila kerusakan itu parah dan membutuhkan biaya besar maka tanggunjawab pendanaan adalah pemerintah desa.

Sejarah pengadaan air bersih ini, dengan sengaja saya sampaikan dihadapan publik agar publik bisa menilai, siapa tokoh tokoh di Lewoingu harus dianggap sebagai pihak yang paling berjasa dalam hali ini. Sekaligus saya bermaksud untuk menjawab pernyataan Rafael Raga Maran yang mengatakan Bapaknya Sani Maran dan adiknya Yoakim Maran sebagai orang-orang yang sangat berjasa. Untuk membantu khalayak pembaca menilai apakah pernyataan Rafael Raga Maran itu sebagai sebuah kebenaran, maka ada beberapa pertanyaan penuntun berikut: Apa dasar Bapak Sani Maran membubuhkan tanda-tangan diatas materai dalam proporsal itu ? Apakah sebagai ketua stasi Eputobi ? Apakah sebagai kepala Desa Lewoingu ? Apakah betul hanya seorang Yoakim Maran yang sering memperbaiki kerusakan air itu ?

Kiranya jelas bahwa problem kejujuran seorang Rafael Raga Maran sedang dipertaruhkan. Semakin ia terlibat dalam diskusi ini, semakin nyata ia menunjukan kekuarangan dalam analisanya. Semakin sering ia berargumentasi untuk mempertahankan tesis dalam penulisan sejarah, ia semakin konyol, bahkan semakin sering ia berbohong. Dengan energi dan kemampuan yang serba terbatas ia bermegah diatas argumentasinya, tetapi akhirnya ia pun jatu oleh argumentasinya sendiri. Di dalam jurang keterbatasan itu, ia menangis karena dongeng sejarahnya tidak mampu mengubah pemahaman publik tentang sejarah Lewoingu.

Kini publik bisa mengiventarisasi kebohongannya:
Pertama; Kebohongannya tentang sejarah Gresiktuli yang berasal dari Jawa dan terdampar di Lewokoli, tetapi ia akhirnya membantahnya sendiri dengan mengatakan bahwa Gresiktuli dan keturunannya adalah Demong Pagong.
Kedua;Rafael sibuk membela dirinya dengan mengatakan bahwa Raga bukan anak Hule, tapi publik Lewoingu tidak pernah melupakan prahara nuhung teme tewong alo boleng boto.
Ketiga; Rafael Raga Maran yang menyatakan bahwa rie Limang wanang yang dimiliki oleh Bapak Boli dan keturunannya adalah bentuk pewarisan dari budaya masyarakat Lewotala. Tetapi ketika kebohongan itu dimentahkan, ia merubah pernyataanya menjadi 'rie limang wanang adalah pemberian Kesowari Bereamang. Ternyata Rafael Raga Maran begitu mudah memutarbalikan fakta. Tapi disitulah letak kebohongannya.
Keempat; Pengingkaran tentang kejadian di tahun 1974 yakni ketika dihadapan para pemuka adat Bapa Sani Maran ingin melecehkan kedua orangtua kami Yosep Gega Kelen dan Yosep Torang Kelen, sebagai sesuatu yang tidak pernah terjadi, padahal fakta itu masih teringat jelas dalam benak kita semua.
Kelima; kebohongan tentang peran orangtuanya dalam pengadaan instalasi air bersih dengan menandatangani proposal untuk dikirim ke Belanda dan adiknya Yoakim Maran sebagai orang yang sering memperbaiki pipa air dengan menihilkan peran orang lain, ternyata dapat dimentahkan begitu mudah.

Kini masih ada fakta lain yang kita harapkan dari kejujuran seorang Rafael Raga Maran !

1. Dimana meriam tempo dulu ( pesa) itu berada ?
Kembalikanlah artefac itu karena itu milik umum, bukan milik pribadi atau keluarga.
2. Ada peristiwa apa dengan masyarakat Tenawahang, terutama suku Open ?
Mengapa masyarakat Eputobi harus denda dengan satu gading ?
3. Siapa biang kerok, sehingga koke Dungbata dibakar oleh Belanda ?
Siapa penyebab Baleng Emar mati sia-sia karena dinjak oleh Kompeni ?
Siapa biang kerok yang berakibat Dalu Kumanireng cs. dipenjara di Kupang oleh Kompeni ?

Menjadi sangat arif, bila kita tetap dan terus menunggu, karena mungkin lawan debat saya ini lupa, tetapi bila dengan sengaja ia melupakannya, itu tidak menjadi masalah karena toh publik Lewoingu juga sudah mengetahuinya. Tetapi berpikir positif itu adalah kearifan, sehingga kita terus berharap semoga pada tulisannya yang akan datang, ia dapat mengatakannya dengan jujur, sehingga semua kebohongan yang telah dilakukannya bisa diampuni.


Biarkanlah pohon ara itu bertumbuh, karena dihari esok pohon ara itu masih bisa berbuah.

Salam...............................untuk Sdr Rafael Raga Maran

Dari Marselinus Sani Kelen......... Jakarta.








Tidak ada komentar: