Kamis, 20 Agustus 2009

SIAPAKAH RAGA ITU ?

Untuk sdr. Rafael Raga Maran

Laga ae niku kola
Huke kia baru buko
Balo kia baru napang
Wato pitang tanah bori

Saya mengawali tulisan ini dengan meletakan empat baris koda khiring sebagai bentuk nasihat yang semestinya dipegang teguh dalam kebersamaan hidup di lewotanah. Koda khiring dalam bahasa daerah yang ditulis dalam empat baris memiliki makna. Tiga baris pertama adalah bagian pengantar yang menyatakan bahwa dalam setiap penuturan atau penulisan sejarah perlu ada prioritas terhadap setiap tahapan sejarah, karena materi sejarah tersebut bernilai/bermanfaat, dipihak lain ada materi sejarah yang perlu ditempatkan pada prioritas kedua atau ketiga karena tidak bernilai/bermanfaat. Ketiga baris pertama mau menjelaskan berbagai momen sejarah mana yang diutamakan dan mana yang perlu dikesampingkan atau perlu dihilangkan karena berhubungan dengan nama baik atau demi keluhuran martabat pelaku sejarah itu. Sedangkan baris keempat adalah nasihat agar setiap aip atau perilaku para pelaku sejarah yang dinilai dan dianggap mengurangi hakikat dan keberadaannya sebagai pemimpin. Momen sejarah berupa aib itu, terus menerus ditutup-tutupi atau dirahasiakan karena menyangkut keberadaan diri para pelaku sejarah sebagai raja, penguasa atau kebele'ng dll.

Dari leluhur sampai pada orangtua kita, aip itu selalu ditutupi agar kebersamaan mereka terus berada dalam bingkai kehidupan yang satu sama lain saling menjaga harkat dan martabat sehingga disana ada sikap untuk saling menghormati. Waktu yang terus berjalan, ternyata ada pihak pihak tertentu, ingin menggunakan fenomena nasihat itu untuk menuturkan sejarah dengan versi yang berbeda. Dengan berlindung dibalik nasihat nan arif, pribadi pribadi seperti Rafael Raga Maran ingin memutar balik fakta sejarah dengan maksud agar mereka diakui sebagai penguasa adat dan kebele'ng raya'an. Tetapi mereka lupa bahwa aib yang dengan sengaja ditutupi oleh leluhur, diceritakan secara internal dalam keluarganya masing-masing sesungguhnya untuk menjaga nama baik keturunan bapak Gresiktuli terutama suku Ata maran. Tetapi sudahlah, nasihat yang semestinya harus kita jaga ternyata keturunan Bapak Raga sendiri ingin agar aib itu dibongkar dan diketahui publik, maka saya pun bersyukur karena tindakan saya dengan berbagai tulisan ini hanya membantu saudara saya Rafael Raga Maran untuk selalu ingat dan tahu diri.

Rafael Raga Maran begitu sibuk membela diri untuk mempertahankan dirinya sebagai kebele'eng rayaha'n atau sebagai Raya Lewowerang karena ia adalah keturunan bapak Raga. Bahwa Bapak Raga adalah anak kandung dan anak sulung dari bapak Sani, sehingga tak henti-hentinya ia mempertahankan diri sebagai weruing ( hak kesulungan). Melalui doktrin tentang sejarah palsu dari kakeknya Nuba Maran dan bapaknya Bapanya Sani Maran, Rafael Raga Maran seakan-akan berdiri diatas foundasi Raya Lewowerang dengan segala atribut sebagai kebele'ng. Ia tidak menyadari bahwa sejarah palsu yang diwariskan itu telah menempatkan dirinya sebagai Raya Lewowerang dan kebele'ng yang kering kerontang. Tidak ada dalam kamus masyarakat Lamaholot termasuk masyarakat Lewoingu mengenal Maran sebagai Kebele'ng rayaha'ng atau Raya Lewowerang, justru yang dikenal adalah "ATA MARAN".

Kembali pada judul ' Siapakah Raga Itu ?
Kali ini, saya tidak lagi ingin menulis sejarah tentang asal-usul Bapak Raga karena lewo gole roiro kae ( publik Lewoingu sudah mengetahuinya) apalagi pada tulisan tulisan terdahulu cerita itu sudah disampaikan. Dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan beberapa hal, sebagai bentuk tanggapan atas tulisannya dengan judul: Suara Siapakah Itu ?

Pertama, untuk mempertegas dan meyakinkan pembaca akan status dan posisi Bapak Raga, Rafael Raga Maran Mengajukan tiga buah pertanyaan:
Masa' kalau Raga itu anak Hule, dia bisa menjadi Raya Lewowerang ? Masa' dalam urusan yang berkaitan dengan kekuasaan pada masa itu, seorang adik yang memberi legitimasi tradisional bagi kekuasaan kakaknya ? Masa' dalam budaya patriarkat yang menekankan hak sulung (weruing) atas kekuasaan adat, seperti yang berlaku di Lamaholot termasuk di Lewoingu, seorang adik berhak mengatur-ngatur kakaknya dalam urusan adat yang demikian penting itu ? Untuk menjawab pertanyaan Rafael Raga Maran yang begitu sederhana ini. saya pun menjawabnya dengan tiga buah pertanyaan antara lain: Apakah seorang anak 'kenowa' bisa jadi Raya Lewowerang ? Apakah anak tiri dapat mewariskan kekuasaan seorang bapak (bukan bapak kandung) dan melupakan anak kandungnya sendiri ? Apakah budaya patriarkat menempatkan anak dari hasil perselingkuhan atau hasil dari 'titipan' orang lain dalam urusan adat istiadat yang demikian penting itu ?
Supaya Rafael Raga Maran bisa tahu diri, bahwa sejarah kelam yamg menghadirkan seorang Raga sudah menjadi milik publik. Apabila kita berbicara atau menulis dalam versi yang berbeda maka yang muncul adalah cemoohan dan celotehan. Bahkan menjadi sangat terhina apabila celotehan celotehan itu melekat pada diri kita karena dianggap sebagai penipu.

Kedua; Rafael Raga Maran yang terus mengingkari prahara ' nuhung teme' tewong, alo boleng boto' dengan mengandaikan ada prahara lain. Prahara versi Rafael Raga Maran adalah peperangan di antara Gresiktuli dan sekutunya melawan Paji dan adanya entitas dalam sekutu Gresiktuli saling mengadu kekuatan ilmu. Apabila kita telusuri dua prahara versi Rafael Raga Maran ini, maka kita akan menemukan alur dan pola berpikirnya yang tak terarah. Ketika ia menempatkan prahara pertama sebagai peperangan dengan Paji yang berati bahwa perlu ada kekuatan bersama dan utuh dari semua penghuni lewotanah, tetapi dipihak lain ia juga menyatakan bahwa dalam kebersamaan itu ada permusuhan. Logika analisanya dengan dua premis yang ada satu sama lain saling bertentangan, bahkan saling meniadakan. Menjadi nyata bahwa Rafael Raga Maran sedang bertempur dengan dirinya sendiri dan akhirnya luntur mejadi sebuah cerita dongeng belaka.

Ketiga
; dalam tulisan yang sama, lawan debat saya mengatakan '
..... dan disitu barulah mereka berpindah ketempat yang lebih ideal, tempat yang kemudian disebut Dungtana. Perkampungan yang dibangun disitu disebut Lewoingu tetapi dipihak lain dari penulisan itu ia juga mengatakan '... mereka yang tadinya bermukim di puncak Ile Hingangpun merasa perlu turun dan bergabung dengan para demong yang lainnya di Lewowerang-Lewoingu (Dungbata-Lewoingu). Bila kita telusuri isi cerita ini, ternyata Rafael menunjukan beberapa kekurangan dari pemahamannya tentang sejarah. Rafael Raga Maran serta merta merangkai istilah Dungtana sebagai padanan dengan Lewoingu tetapi pada sisi lain ia juga merangkai Lewoingu pada kata Dungbata sehingga menjadi Dungbata-Lewoingu. Fakta sejarah menyatakan pendirian dua koke bale itu, terlaksana pada fase yang berbeda. Kedua koke juga menjelaskan diferensiasi fungsi dan peran yang berbeda dari suku yang ada baik di Dungtana maupun Dungbata. Dalam kegelapan analisannya itu ia mengandaikan bahwa di Lewowerang sudah ada yang tinggal dan menetap disitu. Analisa yang begitu gelap, berakhir pada sebuah pengandaian.

Rafael Raga Maran yang bermaksud ingin meyakinkan publik tentang sebuah fakta sejarah, ternyata hanya sampai pada suatu sikapnya yang berupa pengandaian. Bila lawan debat saya ini mengandaikan besok matahari terbit itu adalah kepastian, tetapi kalau ia mengandaikan besok akan turun hujan, itu bernilai kemungkinan. Tentang peristiwa yang terjadi kemarin atau tentang sejarah yang terjadi pada masa lalu bukanlah sebuah pengandaian tetapi kepastian. Saya hanya ingin berpesan bahwa anda salah kalau anda berdebat dengan saya, apalagi tentang sejarah, karena anda bukan siapa-siapa. Perbanyaklah referensi anda dengan demikian anda bisa diterima sebagai teman diskusi yang sepadan.


Salam ...........dari Marselinus Sani Kelen .... buat saudaraku Rafael Raga Maran.









Tidak ada komentar: