Senin, 10 Agustus 2009

MERETAS BATAS DIANTARA TERSANGKA DAN TERPIDANA

Pengantar

Kasus kematian alm. Yoakim Gresiktuli Maran ( YGM) menjadi sebuah fenomena menarik untuk terus dikaji. Proses hukum yang terus berlanjut dengan membebaskan para tersangka, dan pemanggilan oknum lain menjadi satu fenomena baru dan menarik perhatian tidak hanya pihak para penegak hukum atau pihak keluarga tetapi juga pihak lain yang beremphaty atas kasus kematian tersebut. Emphaty itu muncul karena ada harapan bagi terlaksananya sebuah proses hukum yang berkeadilan, menganngkat harkat dan martabat manusia sebagai makluk Tuhan. Kondisi ini mengundang saya untuk turut terlibat dalam proses diskusi yang sedikit banyak berpijak pada aspek hukum, sehingga ada proses sharing diantara kita dalam mencari penyelesaian hukum yang benar benar menyentuh rasa dan nilai keadlan itu.

Ketika kita harus terlibat dalam diskusi tentang fenomena pidana dan tersangka, maka orientasi pemikiran kita akan diarahkan kepada aspek hukum pidana. Maka pemberlakuan hukum pidana seharusnya memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, harkat dan martabat manusia, sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Artinya acara pidana bertujuan agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing masing kerarah tegakmantapnya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum, demi tegaknya Republik Indonesia sebagai negara hukum sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Maka menjadi nyata pemberlakuan suatu hukum pidana kepada setiap orang mengandaikan adanya perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan hukum. Bahwa setiap orang yang disangka ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan hukum yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap (Asas praduga tak bersalah). Demikianpun kepada setiap orang yang ditangkap ditahan, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya, atau hukum yag diterapkan, wajib diberi ganti rugi dan rehabilitasi sejak ditingkat penyidikan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaian menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, maka wajib dituntut, dipidana, dan atau dikenakan hukum administrasi.

I. Fenomena Kematian YGM dan Para Tersangka.

Bila analisa kita diarahkan kepada kematian YGM dan para tersangka, maka ada fenomena yang harus dikaji lebih serius. Benarkah tindakan penangkapan dan penahanan kepada Mikhael Torang Kelen Cs ? Dalam UU No 8 tahun 1981 tentang kitab Hukum Acara Pidana pada pasal 1 butir 14 dinyatakan bahwa tersangka adalah orang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku. Pada pasal 17 Bukti permulaan yang dianggap cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindakan pidana ( sesuai pasal 1 butis 14). Bukti permulaan yang dipakai dalam penangkapan Mikhael Torang Kelen Cs adalah didasarkan pada karena keadaan hubungan konflik terbuka yang terjadi dalam prsoses pemilihan kepala desa. Keadaan itu kemudian diperkuat dengan sebuah kerasukan yang seolah olah menjelaskan tentang siapa sesungguhnya pelaku pembunuhan itu. Menjadi pertanyaan apakah penangkapan dengan bukti awal itu seperti itu dapat diterima dalam konteks negara hukum ? Dalam konteks hukum yang berlaku dalam negara hukum seperti Negara Republik Indonesia fenomena kerasukan bukanlah kategori bukti awal tetapi sebagai petunjuk awal. Karena masih sebatas petunjuk awal maka para penyidik tidak berhak untuk menangkap apalagi menahan dan menganggapnya sebagai tersangka. Dalam batasan itu penyidik berkewajiban mencari keterangan lanjutan sehingga menjadikannya sebagai bukti awal yang dianggap cukup. Pihak pihak yang kepadanya dianggap sebagai tersangka dan ditahan hanya apabila ada bukti awal dari keterangan saksi, keterangan tersangka, ada hasil fisum, ada hasil laboratorium, ada alat bukti, dan ada pengakuan tersangka yang semuanya mengarahkan penyidik pada pihak pihak yang harus ditangkap dan ditahan. Menjadi jelas bahwa penangkapan terhadap Mikhael Torang Kelen Cs menjadi salah satu kelalaian dan kekeliruan pihak penyidik yang semestinya perlu dipertangunjawabkan secara hukum.
Mengapa pihak Mikhael Torang Kelen Cs kemudian dibebaskan dan dikeluarkan dari tahanan ? Pasal 29 butir 6 UU No 8 Tahun 1981 menyatakan setelah waktu 60 hari walaupun perkara belum selesai diperiksa atau belum diputuskan tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Menjadi pertanyaan mengapa pihak penyidik menggunakan pasal undang undang ini sehingga mengeluarkan pihak Mikhael Torang Kelen Cs dari tahanan dan apakah status mereka tetap sebagai tersangka atau bebas demi hukum ? untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dipahami lebih dahulu syarat yang seharusnya ada bila seseorang harus dipidanakan: Pertama Unsur actus reus yaitu perbuatan pidana ( criminal act) yaitu tindakan yang melawan hukum. Kedua Unsur strafbaarfeit yakni telah terbukti yang dilakukan oleh pihak tersangka sebagai tindakan pidana. Ketiga; unsur strafbaarheid yakni ada kesimpulan dari proses penyidikan itu dipertimbangkan bahwa pihak tersangka itu bersalah. Keempat; Unsur Mens rea, menyangkut unsur pembuat delik hukum diberlakukan kepada pihak tersangka, antara lain kemampuan beranggujawab pembuat delik dan kesalahan melawan hukum sebagai niat, sadar / sengaja akan kepastian dari delik hukum yang ada, sengaja/sadar akan kemungkinan terjadinya perbuatan pidana.

Dari unsur unsur pemidaan ini, maka dapat dianalisa bahwa ketika kematian YGM sebagai tindakan pembunuhan maka telah ada perbuatan pidana. Menjadi persoalan siapa subyek pelakunya ? Proses penyidikan oleh aparat penegak hukum untuk mendapatkan bukti terhadap orang yang telah ditangkap dan ditahan telah berjalan dan dalam proses itu tidak tebukti bersalah. Kepada keempat tersangka tidak diketemukan unsur unsur perbuatan pidana oleh karena itu tidak patut untuk dipidanakan. Fakta bahwa pihak pengadilan menolak berkas perkara menunjukan bahwa pengadilan tidak mungkin akan membuktikan adanya kesalahan jika pihak pengadilan telah mengetahui dari berkas itu tidak ada perbuatan pidana dari para tersangka. Menjadi jelas tanpa kejahatan maka pidanapun tidak ada( nulla poena sine crimine) dalam diri tersangka. Maka menjadi jelas bahwa dibebaskannya keempat tersangka itu adalah bebas demi hukum

Fenomena hukuman sosial yang terus berlanjut dengan menyatakan Mikhael Torang Kelen Cs sebagai penjahat, pembunuh bagi saya adalah sikap kekanak-kanakan. Sifat yang keluar dari ketidakpahaman tentang hukum yang berlaku. Penafsiran tentang delik hukum pidana bukan milik umum, tetapi bersifat condition sine qua non artinya terbatas dan hanya dikuasai oleh para penyidik, penuntuk umum dan hakim. Penafsiran dalam kasus hukum pidana bukan rationale interpretatie yang dapat dilakukan oleh semua orang karena ia merasa bisa melakukan itu. Bahkan lebih tajam lagi Montesquieu dalam bukunya L' EspritDes Lois (1748) menyatakan bukan hakim dan para penegak hukum yang berwewenang menentukan suatu delik perkara, tetapi undang undang. Sehingga peradilan pidana menjadi une puissance is terible parmi les hommes yaitu tidak ada sikap sewenang wenang. Pengadilan dan semua aparat penegak hukum harus beregang secara ketat ( strict) pada undang undang yang berlaku. Dengan demikian keputusan semata mata harus un texte precis de la lois ( berdasarkan kepastian hukum). Pemikiran aparat penegak hukum harus tertuju pada satu syllogisme, artinya kaidah undang undang pidana menjadi premis major, peristiwa yang terbukti menjadi premis minor dan patut dihukum atau dipidananya seseorang menjadi kesimpulan. Maka menjadi sia sia kita menghujat orang karena kita akirnya terjebak dalam perbuatan dosa kaum farisi karena hanya bisa melihat orang lain tanpa melihat dan mengoreksi diri sendiri.

II. Analisa sebab - akibat ( causaliteit) kematian YGM.

Ada hal menarik yang perlu direspons positif, ketika pihak penyidik membuka proses penyidikan melebar, tidak terbatas pada pihak yang disangkakan selama ini. Tindakan penyidik semacam ini menjadi salah satu bentuk dari sebuah proses analisa causalitas terhadap delik hukum pidana, artinya demi penyelesaian proses hukum itu maka ruang lingkup penyidikan harus diperluas. Untuk terlibat dalam diskusi causalitas ini, ada beberapa teori mejadi dasar pijakan kita.

A. Teori Van Buri ( M. Van Buri 1873)
Bahwa semua syarat, semua faktor yang turut serta bersama sama menyebabkan suatu akibat dan tidak dapat dihilangkan begitu saja, dari rangkaian faktor yang bersangkutan adalah sebab dari akibat itu. Dari konsep teori yang ada, maka kasus kematian YGM perlu dilihat berbagai faktor yang menyebabkan akibat kehilangan nyawanya. Artinya berbagai fenomena yang telah dilalui oleh alm. YGM perlu diteliti dan diselidiki. Setiap kebersamaan dengan YGM enta hubungan yang bersifat konflik terbuka atau konflik tersebung bahkan hubungan pertemanan biasa sekalipun turut diselidiki. Atas dasar teori ini maka semua bentuk kebersamaan yang ada adalah faktor yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja, bahkan dari faktor yang secara kasat mata tidak ada konflik didalamnya terpacung konflik yang luar biasa.

B. Teori Mengindividualisir ( Birk Meijer 1885)
Inti teori ini menyatakan bahwa dari rangkaian faktor yang diterima sebagai causa (sebab) maka perlu dicari faktor yang dipandang paling berpengaruh atas terjadinya akibat yang ada. Berdasarkan teori ini maka orientasi penyidikan harus diarahkan kepada salah satu causa dari kebersamaan dengan alm. YGM, artinya kebersamaan itu lebih berpotensi terjadinya sebuah akibat. Dalam logika konflik sebab akibat, ketika konflik menyeret kelompok masyarakat, maka menjadi kecil kemungkinan untuk membangun kebencian antar pribadi, itu berarti menjadi sangat kecil kemungkinan untuk memberikan sebuah bentuk ancaman secara pribadi apalagi pada tindakan pembunuhan. Dalam konteks ini para penyidik mulai terlibat untuk menganalisa berbagai bentuk kerjasama ataupun bentuk usaha apapun yang melibatkan alm YGM yang didalamnya tersimpan konflik secara personal.

III. Yurisprodensi Hukum Pidana

Dalam Yurisprodensi hukum pidana ada tiga teori yang dapat dipakai dalam analisa tentang kematian YGM.

A. Teori Perbuatan Materil ( Leer van de lichamelijke daad)
Teori ini berfokus pada delik hukum ( locus delicti) adalah tempat pembuat melakukan segala sesuatu yang kemudian dapat mengakibatkan delik hukum. Artinya tempat dimana sebuah akibat dari sebab, berhubungan dengan faktor kebersamaan alm YGM dalam keseharian hidupnya. Atau faktor kebersamaan lain entah berupa kerjasama apapun yang berdekatan dengan akibat kematian tu.

B. Teori alat yang dipergunakan ( Leer van het instrument).
Teori ini menjelaskan sebuah delik hukum bermula dari alat yang dipergunakan dan telah menyelesaikan sebuah akibat. Dengan perkataan lain yang menjadi pusat penyidikan adalah alat yang dipergunakan ( uitwaking) itu ditemukan. Atas dasar teori ini maka penyidikan kasus kematian YGM dapat dimulai dari dimana alat itu ditemukan ? siapa yang menemukan ?, mengapa alat tersebut disebut alat bukti ? dan atas dasar apa alat bukti itu diyakini sebagai alat bukti ? Pertanyaan pertanyaan itu seharusnya menjadi pusat perhatian untuk mengarahkan penyidikan kepada subyek yang sesungguhnya.

C. Teori Akibat ( Leer van het gevolg)
Teori akibat memusatkan perhatian pada akibat dari perbuatan itu terjadi. Berdasarkan teori ini maka fokus perhatian penyidik tidak lagi terbatas pada informasi yang ada, tetapi mulai melebar membuka ruang penyidikan pada rangkaian faktor sebagai sebab dan berakibat berdekatan dengan kebersamaan dari faktor yang ada. Karena dari faktor yang ada, dengan akibat yang berdekatan secara teritorial, memiliki hubungan causalitas lebih bersifat langsung. Artinya konflik yang mungkin terpendam dalam setiap kerjasama antara alm YGM dengan siapun tidak bisa diabaikan begitu saja, justru dalam kerjasama yang bersifat personal itu memiliki sisi konflik dengan tingkat determinasi yang bersifat dominan dan sangat memungkinkan terjadinya akibat.

Penutup
Tulisan ini bukanlah pendapat hukum tapi lebih sebagai apresiasi terhadap sebuah proses hukum yang ada. Apresiasi ini juga bertujuan untuk memperkaya kasana kita dalam melihat dan membantu proses hukum dari kematian alm. YGM, dengan demikian proses hukum ini tidak mengalami kondisi yang stagnan, tetapi terus menerus berjalan secara jujur dan berkeadilan. Lebih dari itu tulisan sederhana ini juga sebagai persembahan doa buat alm YGM semoga jiwanya diterima disisi Tuhan. Sekaligus berharap agar para pelaku kejahatan yang menghabiskan hidup YGM. mendapat hukuman yaang berat, tidak hanya diakhirat tetapi juga di dunia yang fana ini.
Buat semua saudaraku yang selama ini menempatkan saya sebagai pembela Mikhael Torang Kelen, saya menitipkan salam............
Saya bukan bermaksud membela siapun, yang saya bela adalah kebenaran, dan pembelaan itu demi keadilan hukum bagi semua pihak.

Membela penjahat adalah penjahat juga..................
membangun opini publik sehingga orang lain yang tak bersalah dianggap sebagai penjahat adalah penjahat juga............
Dengan ratio dan nalar yang konyol, melakukan pembusukan karakter pribadi orang lain adalah sebuah kebusukan juga..................
Yang benar adalah.........................
Berikan kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan kepada ALLAH apa yang menjadi milik ALLAH...................
Yang benar adalah....................
Ketika itu delik hukum pidana maka semua penafsiran adalah condition sine qua non dan bukan rationale intrepretatie.....................

Salam .....................Marselinus Sani Kelen............................ Jakarta.






Tidak ada komentar: