Minggu, 14 Juni 2009

BUKANKANH KITA ORANG BERPENDIDIKAN.......? Sebuah Refleksi Untuk Orang Eputobi Yang Mengaku Berpendidikan

Membaca semua tulisan baik di Eputobi net atau blog anak Lewoingu terutama tentang penanganan konflik lewotanah dll, ada kekeliruan untuk menempatkan diri sebagai kaum itelektual yang punya akal dan kahrisma untuk menyelesaikan konflik itu. Bahkan secara kasat mata, kelompok intelektual bertindak sebagai 'pelaku' (maaf) konflik yang dengan caranya sendiri membangun propaganda dan image melalui berbagai tulisan dan analisa. Membaca semua tulisan itu saya sering bertanya dalam hati dimana letak kedewasaan intelektual yang mereka dewakan selama ini. Bahwa secara emosional ada pertalian dan hubungan darah yang mengikat sang penulis untuk mengapresiasi segala beban emosi yang ada pada dirinya, itu normal dan manusiawi. Tetapi ketika kaum intelektual membuat analisa dengan dasar pijakan dangkal sehingga melahirkan polarisasi dalam kelompok masyarakat; ada kelompok Jawa Barat...ada kelompok Jawa Timur..... dan ada kelompok Jalur Gasa, bahkan dengan sterotipe sebagai masyarakat beradab dan masyarakat tidak beradab, itu sangat keterlaluan.........

Dalam tulisan tulisan terdahulu, saya sempat menggunakan itu, tetapi sesungguhnya dalam hati ,saya menolak istilah itu sebagai sebuah fenomena di lewotanah yang kita cintai. Saya sangat tidak yakin, istilah blok Jawa Barat.... Jawa Timur... dan Jalur Gasa, itu lahir dari masyarakat Eputobi yang di lewotanah. Sadar atau tidak, bahwa pengelompokan masyarakat semacam itu telah melanggengkan konflik yang ada. Kaum intelektual ini, telah membangun sebuah foundasi konflik yang begitu kuat. Generalisasi masalah dan sterotipe atas kelompok masyarakat di lewotanah menimbulkan kesan kuat, bahwa konflik itu berkembang dan dilanggengkan karena ulah kita kelompok anak lewoingu yang mengatakan diri sebagai kaum intelektual. Atau apa memang itu yang kita harapkan....?

Saya membuat analisa ini bukan karena saya mau mengajar saudara saudara kaum intelektual..... sekali lagi tidak ada niatan seperti itu, tapi lebih sebagai sebuah panggilan nurani untuk mengajak kita semua untuk mencari jalan terbaik bagi penyelesaian fenomena konflik di lewotanah.

Kemarin setelah keluar dari kantor, saya mampir ke tokoh buku Gramedia di Citra land Jakarta Barat untuk mencari buku buku, barangkali ada yang baru. Setelah bolak balik mencari ,saya menemukan satu buku karangan AndrewLeigh dengan judul 'Kharisma Effect'. Semalaman saya membaca buku itu dan saya berpikir adalah sebuah keberuntungan kalau buku ini menjadi sebuah dasar refleksi kita. Bagi Andrew Leigh ada tiga domain penting untuk membangun sebuah kharisma dalam diri seseorang, antara lain: Tujuan ( aim) Jati diri ( be your self) dan chemistry. Menurutnya ketika ketiga domain ini dipadukan dengan baik akan sangat mempengaruhi pribadi seseorang. Memadukan ketiga unsur itu memberikan pengaruh dan kewibawaan, memberikan kesan kuat tentang emosi, fisik, intelektual, sikap dan perilaku seseorang. Komunikasi yang baik menjamin tujuan komunikasi lebih efektif. Kejelasan tentang tujuan adalah hal mendasar yang harus dibangun dari awal. Tujuan menjadi mudah dicapai manakala didukung oleh be your self/ jati diri atau tujuan awal menyatu dengan tindak tanduk kita. Maka secara alamiah mempercepat gerak gerik kita untuk mencapai suatu tujuan. Semuanya akan menjadi lengkap kalau kita secara tulus memberikan perhatian dengan rasa emphaty yang tinggi.

Lalu dimana korelasi kaum intelektual eputobi harus menempatkan diri dalam refleksi ini sehingga bisa terlibat secara intelektual dengan aim, be your self dan chemistry yang dimiliki agar benar benar dianggap sebagai intelektual yang dewasa dan dapat dipertanggunjawabkan kemampuan intelektualnya. Persoalan sekarang adalah seberapa jauh kita ingin terlibat dalam menyelesaikan masalah kita di lewotanah. Apakah kita berniat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi atau akan terus bertindak sebagai agen dari perjalanan konflik ini.

Bila kita semua sepakat untuk menyelesaikan konflik ini, maka kita telah meletakan aim, bahwa konflik itu harus kita selesaikan. Kemudian apa yang menjadi tugas kita selanjutnya, seperti apa kita dan bagaimana kita menempatkan jati diri kita (be your self) ? seperti apa tingkat perhatian dan ketulusan ( chamistry) kita dalam persoalan ini ? Niat luhur yang kita punyai akan secara efektif dan mudah kita raih, bilamana kita benar menempatkan pola pikir, pola sikap demi tujuan dimaksud. Itu berarti kita mulai terlibat lebih dewasa untuk menempatkan berbagai persoalan secara proporsional. Berpikir dan berbicara secara tepat untuk menempatkan setiap kasus sebagai masalah pribadi, masalah kelompok atau masalah hukum adat, masalah hukum positif. Menguraikan setiap masalah untuk menemukan akar masalah, konstalasi dan eskalasi dari masalah yang ada, berbagai dampak sosial yang terjadi dan mungkin akan terjadi, sehingga pilihan solusi memiliki tingkat akurasi yang memadai dan efektif. Supaya bisa diakui sebagai ' etedikeng sekolaha'ng' maka posisi kita menempatkan diri, posisi dimana kita harus berada menjadi sangat penting. Itu artinya etedikeng selolaha'ng sadar akan medan dimana ia melakukan apresiasi dan kolaborasi intelektualnya. Memberikan analisa dan pendapat hukum tentang sebuah proses hukum adalah wajar, menjadi tidak wajar kalau apresiasi berisikan hukuman sosial dengan berbagai penghinaan dan fitnah, karena itu bukan ranah intelektualnya. Itu lebih tepat sebagai pelacuran intelektual. Kecurigaan terhadap seseorang itu normal tapi baru menjadi premis awal, diperlukan berbagai premis lanjutan sehingga dapat menjadi data awal. Bagaimana data awal ini berkembang menjadi sebuah data hukum dan memenuhi logika hukum itu baru medan 'etedikeng sekolaha'ng', disinilah letak be your self.

Menyangkut chamistry yakni perhatian dan ketulusan kita untuk terlibat dalam penyelesaian konflik di lewotanah, bukan dinilai dari kwantitas atau berapa banyak kita mempublikasikan semua aktifitas dengan melakukan monitoring pejalanan hidup orang yang dianggap sebagai pelaku kejahatan. Memonitor perjalan hidup mereka perlu, tapi masih ada tindakan yang jauh lebih penting untuk menyelesaikan kasus hukum yang ada.
Keteguhan hati dan kebulatan tekad untuk membawa berbagai bentuk pelanggaran hukum positif sampai pada penyelesaian hukum secara defenitif adalah wajib. Membela kebenaran dan mencari keadilan hukum adalah tugas kita semua. Menjadi sangat absurd ketika fokus perhatian, tertuju hanya kepada pihak yang dicurigai selama ini, tetapi dipihak lain logika hukum belum menempatkan mereka sebagai terdakwa atau sebagai pelaku pembunuhan. Kita semua terjebak untuk turut menghukum atau menjadi pembela, terjadilah polarisasi.

Chamistry pribadi yang disebut 'etedikeng sekolah'ang' harus berada diluar bahkan diatas polarisasi itu. Ia harus mampu menganalisa dan membaca berbagai fenomena yang ada. Dalam ranah intelektualnya, ia menarik kasus konflik ini pada titik awal, membaca serpihan serpihan yang merekam jejak konflik. Merangkai serpihan itu menjadi sebuah cermin sehingga khalayak bisa melihat siapa wajah wajah yang menjadi biang kerok selama ini. Merangkai serpihan serpihan ini bukan berarti memindahkan kasus, menuduh atau fitnah atau melemparkan persoalan pada orang lain ( meminjam istilah Bp. Kornelis Kelen ; mencari kambing hitam) tentu saja tidak, tapi kita lebih terbuka dan leluasa untuk membaca berbagai fenomena yang ada. Mengapa saya harus mengatakan seperti itu karena polarisasi yang terjadi di lewotanah sudah begitu para, sehingga orang tidak lagi mampu melihat secara jernih adil dan berimbang. Melihat masalah, secara hitam atau putih, bahkan tidak lagi mampu melihat dan membedakan mana benar dan mana yang salah, melihat setan sebagai benar benar setan dan malaikat sebagai benar benar malaekat.

Saya kira kita semua sadar, bahwa setiap orang, tidak hanya berhak untuk hidup, tetapi juga berhak untuk hidup lebih tenang, berhak untuk hidup secara lebih tentram. Menghilangkan hidup seseorang adalah kejahatan kemanusiaan, tetapi mempengaruhi publik dengan membuat citra negatif kepada orang lain sebagai penjahat, pembunuh, kelompok masyarakat biadab, juga adalah kejahatan kemanusiaan. Saya kira sudah saatnya 'etedikeng sekolaha'ng' harus mulai menyadari tugas dan tanggunjawabnya, melihat dan mengalisa konflik dari perspektif yang lebih dewasa dan lebih arif. Saya bukan pribadi yang arif, tetapi belajar menjadi lebih arif adalah hal baik. Dari ketidaktahuan kita belajar untuk percaya, dari keyakinan kita belajar untuk terus berharap. Semoga aim, be your self dan chamistry, kita jadikan foundasi bagi harapan akan sebuah perdamaian itu.

Salam ........................

























Tidak ada komentar: