Sabtu, 13 Juni 2009

STATUS KEBELE'NG,Sebuah Refleksi Bagi Anak Suku Kebele'ng

Status kebele'ng yang ditempatkan didepan nama suku menunjukan sebuah perbedaan dengan suku suku yang lain. Fenomena kebele'ng lalu menjadi luar biasa ketika status itu diletakan pada tatanan adat dan budaya lewotanah. Istilah kebele'ng seringkali dimaknai sebagai pemegang kekuasaan adat dan budaya, hak atas newa nura, hak belohowe dll. Tapi bagi saya kebele'ng tidak terbatas pada hak hak sebagaimana disebut diatas. Makna kebele'ng lebih merupakan sebuah eksistensi dari tiga kekuasaan pokok yang tertanam dan dibentuk dari Lango Limpati, dan tiga kekuasaan itu menyangkut:

1. Uluwai Mati Sela
Uluwai Mati Sela merupakan sebuah hak dan kekuasaan untuk bertindak sebagai pembawa damai, pihak yang menjamin dan memberikan ketentraman bagi sebuah kehidupan di lewotanah. Dalam konteks ini pembawa uluwai mati sela adalah figur yang berwibawa, disegani dan dari seluruh nafas hidupnya beliau adalah figur yang patut ditiru.
Pada fase awal kehadiran Gresituli, hampir semua wilayah disekitar lewotanah dikuasai oleh Paji, yang memiliki kekuatan hitam, tidak ada ketenangan, tidak ada kedamaian karena Paji adalah kelompok masyarakat kanibal. Gresituli bersama anak cucunya, bersama sekutunya mengibarkan bendera peperangan. Perang yang dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan masyarakat damai dan tentram.
Pada fase berikutnya empat generasi sesudah Gresituli ( Gresituli -- Sani -- Boli--Dalu--Sani) yaitu Sani, Sani adalah cucu Boli yang pertama. Ketika kelompok Metinara dalam pembuangan( mengapa diusir .......? ada sejarahnya) ternyata sikap Sani yang memanggil pulang, untuk hidup bersama dilewotanah, memafafkan dan mengampuni mereka. Tidak haya hidup bersama tetapi juga diberikan kewenangan dan hak dalam status adat. Selama 5 generasi, peran adat dilakakukan oleh anak turunan Gresituli. Penerimaan dan pengampunan adalah tonggak baru yang menunjukan jiwa besar seorang pemimpin. Go korekeng bele limakeng blaha, abong aong gurung gawa.

Semua kekuatan suku dilewotanah tempo dulu sadar betul dengan kekuatan Gresituli dan turunannya. Tapi tidak ada setitik niatpun dari Gresituli dan anaknya untuk bersikap kasar dan menghancurkan suku yang lain. Suku suku yang tinggal tercerai berai dihimpun untuk menjadi kekuatan besar, hidup berdampingan secara damai, saling menghormati dan menghargai. Sewe nuki tuka lua gere ile lua watang, soga gahing koda gere ahi lewo.

2. Uluwai UluMado
Dari Lango Limpati ada hak Uluwai Ulu Mado, hak untuk berbicara dan memutuskan. Hak untuk menyampaikan segala sesuatu yang berhubungan dengan tatatertib dan aturan main dalam tatanan budaya lewotanah. Hak untuk mengambil berbagai keputusan penting menyangkut perang dan damai. Hak untuk memutuskan dan menetapkan tapal batas tanah terhadap setip pemegang hak newa nura. Yang pasti semua keputusan apaun tetap menjunjung tinggi nilai kebenaran dan keadilan.

3. Hak Dulipali dan Patibeda
Hak yang dimiliki dari dan oleh Lango Limpati untuk membagi. Membagi kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Membagi tidak hanya menetapkan secara pasti dan tegas kepada setiap suku apa yang menjadi haknya tetapi juga memberi kepada kunang kaya untuk mendapatkan hidup di lewotanah. Hak Patibeda dalam konteks peran adat ,menyangkut pengakuan atas suku dengan dengan segala kewenangan adat, jenis peran yang harus dijadikan warisan atas suku sekaligus penggunaan mantra (marang mukeng) yang betul betul ingin menjelaskan status, perjalanan sejarah dari setiap obyek yang ada. Bila upacara adat dilakukan di Lango Limpati maka mantra yang diucapkan wajib menceritrakan sejarah Lango Limpati, demikian juga ditempat lain. Hak atas newa nura, konteks membagi hanyalah istilah konotasi untuk menyatakan secara tegas tentang tapal batas newa nura yang menjadi hak setiap suku suku asli lewotanah bila mengalami konflik perbatasan. Kepada suku pendatang Lango Limpati nemberikan kepada mereka hak untuk tobo-turu, olah-here.

Dari tiga domain kewibawaan Lango Limpati ini, dapat disimpulkan bahwa Lango Limpati adalah lango kebele'ng, karena dari sanalah warisan kebele'ng itu dimulai. Catatan catatan sejarah Lango Limpati sesungguhnya menjadi catatan sejarah Lewoingu. Maka ketika ingin menulis sejarah Lewoingu maka Lango Limpati harus menjadi starting point bagi kita untuk menulis sejarah.

Bagi anak generasi Lango Limpati, menyandang status kebele'ng bukan hal yang mudah. Menyandang satus kebele'ng bukan hanya karena kita lahir dari rahim Lango Limpati. Menempatkan status kebele'ng dalam rangkaian nama, memiliki konsekwensi, artinya ada korelasi antara gelar dan kepribadian. Ingat gelar kebele'ng itu pengakuan kepada Lango Limpati karena penghuni rumahnya menunjukan diri sebagai pribadi yang pantas menerimanya.
Nilai nilai luhur dan ruh dari Lango Limpati adalah keluhuran martabat dari kebele'ng. Status Kebele'ng bukan hanya karena darah yang mengalir, tapi dari ruh yang mengalir melalui nafas kehidupan dan detak jatung, yang terwujud dari aktifitas hidup, pola laku dan pola sikap.
Kebele'ng itu pembawa damai, kebele'ng itu pembawa ketentraman, kebeleng itu pembawa terang dalam kegelapan. Kebele'ng adalah garam yang mampu menggarami, memberikan rasa dan warna dari kehidupan. Kita hanya akan bisa menjadi kebele'ng kalau ruh Lango Limpati mengalair dalam darah, dalam nafas dan dalam detak jatung kita. Menempatkan gelar kebele'ng pada nama kita kalau kita : Mengenal diri kita,jujur dengan diri kita sendiri, berdamai dengan diri kita sendiri, menjadi pemimpin bagi diri kita, karena dari diri kitalah pelita itu menjadi terang, garam itu bisa menggarami..............

Homo sacrare res hominie
Marsel Sani Kelen ...Jakarta.


















Tidak ada komentar: