Sabtu, 13 Juni 2009

TANGGAPAN UNTUK SEBUAH REKONSILIASI

Rekonsiliasi atau sebuah 'perdamaian' itu luhur, karena damai itu indah, damai itu menyenangkandan damai itu adalah harapan dari keutuhan dan kesempurnaan hidup. Tapi untuk mendapatkan fenomena perdamaian yang sejati seperti itu, akan sangat sulit ketika kita dihadapkan pada konflik di kampung halaman. Untuk menemukan sebuah rekonsiliasi maka input--- konversi-- output dari sebuah konflik harus jelas. Maka ada benarnya kalau Saudara Rafael Raga Maran menyampaikan syarat dari sebuah perdamaian itu. Tapi ketika satu persatu isi syarat itu dibacakan, maka harapan perdamaian itu menjadi utopia/harapan semu.

Berikut ini saya ingin menganalisa duduk persoalan masalah konflik di lewotanah.
Dari dulu ketika bapak saya masih jadi kepala kampung di Eputobi istilah pro-kontra sudah ada. Istilah itu berkebang terus sampai kematian saudara Yoakim Gresituli Maran dan muncul istilah baru Jawa Timur -Jawa Barat dan Jalur Gasa, jadi jangan dikira bahwa beni beni konflik itu baru muncul. Kalau dulu pola yang dipakai adalah merekayasa sejarah tentang newa nura sehingga banyak newa nura dari suku kelen yang diambil oleh pihak pihak tertentu (saya tahu betul newa yang mana). Pola yang berikut adalah dengan menjadi sutradara dalam sandiwara tentang peran adat lewotanah, dan ternyata juga berhasil. Terjadilah konflik newa nura dan hak belo howe antara Kumanireng dan Lamatukan disatu pihak, Ata maran dan Lewolein dipihak lain. Pola selanjutnya adalah menghilangkan hidup anak turunan Lango Limpati ( Yoakim Gresiktuli Maran) dan proses rekayasa selanjutnya adalah anak turunan Lango Limpati diadu dengan dituduh dan didakwanya saudara Mikael Torang Kelen dan kelompoknya sebagai pelaku. Vonis belum juga jatuh tapi sangsi sosial yang diterima sudah sangat luar biasa. Mereka ibarat mayat yang hidup, karena kampanye negatif terus disuarakan, mereka adalah penjahat, pembunuh dan sekian ribu istilah yang dianggap pantas. Dalam internal suku Kebele'ng kelen menjadi sangat dilematis, disini keleuarga , disanapun juga keluarga karena sama sama lahir dari rahim Lango Limpati. Yang terjadi kemudian adalah muncul pilihan pilihan pribadi untuk menjadi bagian dari salah satu blok. Saya yang jauh di rantau dan yang lahir dari rahim Lango Limpati bersyukur, kerana dengan begitu ruh dan spirit dari rumah kami Lango Limpati tidak luntur.
Pola lain yang mulai dilakukan adalah upaya penelusuran sejarah yang serta merta tidak mengajak suku suku yang berkompeten untuk terlibat dalam proses penelusuran sejarah itu.

Dari tahapan rekayasa ini saya berkesimpulan bahwa di lewotanah Eputobi ada politikus politikus murahan yang mencoba untuk melakukan rekayasa dengan tujuan
1. Menghilangkan dominasi kebele'ng dalam perang adat.
2. Menghancurkan trah Gresiktuli terutama dari anak turunan Lango Limpati.

Menjadi persoalan, kapan konflik yang ada bisa didamaikan ? dari mana dan bagaimana proses perdamaian itu kita mulai, ini menjadi harapan penting bagi kita semua anak Lewoingu.
Langkah pertama adalah: tite lango tou, tite koda taan paong-paong, tutu taan lere-lere. Dari lango Limpati kita bangunkan ruh dan sprit 'uluwai mati sela' kita perkuat semangat itu. Masih ada Besa Gena Maran dan bapak besa dari Ata Maran. Dari suku Kebele'ng Kelen ada Bapa Dominikus Deweng Kelen, ada Bapa Ignasius Kelen dll , kita masih bisa duduk bersama. Paji dengan segala kekuatan hitam bisa kita dihancurkan, masa'a persolanan kita, tidak bisa kita kendalikan. Jangan sampai orang lain mengatakan 'Kebeleng apa' 'Kebele'ng sontoloyo'. Mana ruh Gresituli'nya.............. ? mana ruh Sani'nya............... ? kalau memang ada kecurigaan terhadap saudara kita yang dianggap ' penjahat' untuk sementara kita posisikan dia sebagai kelompok 'outsiders' sambil menunggu proses hukum yang terus berjalan. Kalau perlu dihadapan semua anak turunan Lango Limpati kita angkat sumpah. Iku hege limang baa- Sing getang dading gai, tidak hanya berlaku untuk musuh luar, musuh didalampun akan musnah dengan sendirinya.

Menyangkut kematian saudara Yoakim Maran, yang dianggap sebagai tindakan pembunuhan maka menjadi wilayah hukum positif. Semua kita harus sadar bahwa segala bentuk tindakan kriminal adalah tindakan pidana dan jelas melawan hukum. Biarlah aparat hukum yang bertugas untuk mencari siapa pelaku yang sebenarnya. Tugas kita adalah perkuatlah bukti dan data, karena bukti dan data yang ada tidak memenuhi logika hukum. Ingat logika hukum berbicara tentang bukti dan fakta, sangat berbeda dengan persepsi dan analisa yang kita bangun.
Kita semua turut bersyukur bila pembunuhnya ditangkap dan dijebloskan dalam penjara, apalagi orang yang dicurigai selama ini adalah pelaku, karena mereka tidak hanya sebagai pelaku pembunuhan tetapi juga telah melakukan kebohongan publik selama ini.

Persoalan lain, ketika akhir dari semua proses hukum ini dilaksanakan oleh pihak penegak hukum dan ternyata bukan pihak yang dituduh selama ini, beranikah kita untuk mempertanggunjawabkan segala tuduhan, fitnahan, penghinaan, dan berbagai hukuman sosial,
yang terlanjur kita ciptakan. ...................
Angin yang meniup kencang pada layar tanpa ada kendali buritan .......... kemana haluan akan kita tuju ...................? kalau tidak tenggelam lalu apa kemungkinan lain ........ ?

Semua masalah ini akan menjadi tentram kalau kita kembali ke Lango Limpati. Tutu maring taang paong paong, koda khiring taang lere lere.


Salam ..........Marsel Sani Kelen ...................Kota Bumi 11 Jakarta Pusat





















Tidak ada komentar: