Sabtu, 20 Juni 2009

DUNGBATA JATIDIRIKU YANG TERABAIKAN

Bukanlah sikap pesimistis dan wujud kepasrahan saya, ketika meletakan kalimat ini sebagai judul bagi khalayak pembaca, tapi sebaliknya dalam hati saya ada dendam optimis yang luar biasa untuk mengantar refleksi anak generasi Lewoingu menuju perdamaian. Terutama meletakan hirarki, pola dan orientasi berpikir pada bingkai kehidupan lewotanah yang tentaram, lewotanah yang damai, lewotanah yang lohjinawi. Hirarki pemikiran untuk menempatkan eksistensi Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali tempo dulu, dan seharusnya hari ini sebagai kelompok masyarakat yang bermartabat, memiliki jati diri yang jelas, arif- bijak- cerdik dan pandai.

Dungbata Lewoingu Sarabiti Waihali adalah "kontrak sosial". Kontrak sosial yang dibangun dan diberi nama super heroik karena bermula dari hasil perjuangan. Berjuang untuk menempatkan diri sebagai kelompok masyarakat dengan jati diri, dengan keluhuran martabat ditengah kelompok kanibalis Paji dengan segala sekutunya. Dengan perjuangan dan sumpah (baya) mereka mengorbankan diri untuk mewujudkan sebuah cita cita bagi negeri impian "Dungbata". Apakah nilai dan spirit yang melandasi perjuangan tokoh-tokoh sebut saja Gresituli, Dalu (Doweng) Sedu, Sani, Boli, Werong Hegong dll. Pertama, Kemerdekaan adalah hak segala umat manusia. Maka kemerdekaan itu harus diperjuangkan, kebebasan itu harus dimiliki karena dari hak dasar inilah setiap insan manusia tanpa rasa takut melakukan berbagai aktifitas. Perjuangan untuk melepaskan diri dari kelompok masyarakat Paji yang tidak berperikemanusiaan. Kedua, Unity /kebersamaan. Bahwa demi kemerdekaan itu diperlukan kebersamaan, diperlukan kekuatan yang lebih besar. Berbagai sikap primordial, bingkai bingkai dan sekat kelompok (riang) ditinggalkan. Disanalah semangat demokrasi mereka letakan, dengan pola diferensiasi fungsi dan peran yang jelas dalam tatanan adat dan budaya. Hak dan kewajiban terhadap newa nura belohowe, edeng elang begitu tertata rapi, pola hubungan sosial, kakang aring dihormati dan dihargai. Ketiga, Religius dan berperikemanusiaan. Dunia lerawulang tanah ekang dalam setiap mantra lewotanah menjadi wujud rasa ketergantungan itu. Kesadaran akan adanya kekuatan super natural yang melampaui batas kemampuan, bahwa oleh karenanya segala proses usaha dan keberhasilan hanya berkat yang kuasa. Segala usaha dan jeripaya adalah aktifitas manusiawi untuk menggapai harapan tetapi segala proses dan hasil akhir diserahkan pada kehendak Sang Pengatur. Keempat, Keadilan, the people of dream masyarakat Dungbata adalah masyarakat yang berkeadilan. Masyarakat yang memiliki visi, cita cita dan harapan, harapan. Keadilan untuk memberi dan menerima apa yang menjadi hak bagi setiap pribadi, kelompok suku yang mendiami lewotanah. Demi keadilan itulah maka ada pembagian tugas dan peran, demi keadilan segala batas kewenangan dipastikan. Keadilan menjadi foundasi bagi perdamaian, ketenangan, ketentraman.

Ternyata spirit perjuangan itu telah memberikan jawaban bahwa para penggagas dan pendiri Dungbata memiliki keluhuran martabat, hatinurani, karena Dungbata tempo dulu sangat religius, menghormati kebebasan, menghormati kebersamaan dan demokrasi, menghormati keadilan dan perdamaian. Kita termangu, ternyata nenek moyang kita jauh lebih pinter, lebih bermartabat dan punya jati diri. Nenek moyang kita memiliki akal, budi dan nurani. Dari sinilah, generasi kontemporer Dungbata harus belajar, belajar untuk menemukan jati diri yang terabaikan bahkan hilang, sehingga dari keagungan paradiso surga, mereka boleh seyum bahagia, karena mereka tidak sia sia.

Kembali pada konflik di lewotanah, saya kira sudah saatnya kita menempatkan diri dengan aim (tujuan) jati diri dan chamistry pada bingkai yang sesungguhnya. Artinya kita berkonsentrasi pada pilihan tujuan bahwa konflik itu harus diselesaikan, disana... ditempat.... darah dan air mata tercurah...... harus ada perdamaian. Kita mulai untuk meninggalkan krikil krikil tajam yang kita ciptakan melalui tulisan untuk mempetahankan status quo konflik. Sikap dan cara pandang yang subyektif adalah sisi lain dari konflik yang sama. Sadar atau tidak, kita telah terprovokasi untuk menjadi pendukung dari polarisasi yang ada. Tanpa sadar energi kita terbuang sia-sia. Bahwa kebebasan adalah hak mutlak untuk menyampaikan pendapat, ide, gagasan dan harapan, tapi lebih bermartabat bila ide dan gagasan itu membawa khalayak pembaca terutama anak gerasi lewoingu masuk dalam nuansa penuh damai dan ketenangan.

Seruan para imam anak lewotanah, harus terus kita kumandangkan sehingga bergema dan menyentuh nurani. Pelita perdamaian itu terus kita jaga, biar menjadi obor yang mampu menerangi kehidupan lewotanah yang samar samar. Seruan itu seharusnya menjadi modal bagi kita untuk bersama mencari payung hukum yang berkeadilan. Payung hukum yang memberikan keadilan kepada kepada keluarga, terutama istri dan anak anak yang ditinggalkan. Payung hukum yang memberikan keadilan kepada keluarga, yang kepada mereka telah dituduh, ditahan, dan debebaskan karena alasan demi hukum. Disinilah tugas kita anak rantau untuk mencari solusi. Tawaran nong tuan Nard hayon ( maaf narang lengkap nong tuan go koi hala) untuk membentuk tim kebenaran dan keadilan perlu kita tindaklanjuti. Bahwa karena polarisasi yang begitu besar dan tim yang terbentuk harus memiliki tingkat legitimasi, maka perlu ada tangan lain yang terlibat. Maka berikut ini saya menawarkan beberapa pihak yang harus dilibatkan dalam tim tsb. Pertama; Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur. Dasar pertimbangan bahwa pemerintah memiliki tugas dan kewajiban untuk menciptakan dan memberikan keadilan bagi semua warga masyarakat. Pemerintah wajib memberikan perlindungan agar tidak terjadi pelanggaran atas hak setiap orang. Pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan publik sehingga ada kehidupan yang survive, tenang dan menyenangkan. Kedua; Polres Kabupaten Flores Timur; Bahwa kematian sdr Yoakim Maran, dengan melibatkan sdr Mikael Torang kelen selaku Kades bersama kelompoknya sebagai tertuduh dan ditahan, kemudian kemudian dibebaskan karena pertimbangan hukum yakni fakta dan dasar pembuktian tidak memenuhi logika hukum, seharus dipertanggujawbkan oleh pihak kepolisian. Kepolisian harus menjelaskan dasar dan proses hukum mulai mengapa pihak itu ditangkap, ditahan sampai akhirnya dibebaskan demi hukum. Ketiga; Gereja, Keuskupan Larantuka yang dianggap netral dan mempunyai kewibawaan Imamat. Tiga kelompok ini menjadi tim penegak kebenaran dan keadilan. Selain itu ada perwakilan yang terdiri dari para pemangku adat, suku suku rie matang, anak generasi Lewoingu yang dianggap netral. Setidaknya tim ini melahirkan memorandum sebagai tonggak awal bagaimana rekonsiliasi kita mulai, teknis pelaksanaan diserahkan pada bidang masing masing. Artinya menyangkut aspek hukum diselesaikan secara hukum, kalau behubungan dengan adat harus diselesaikan melalui proses adat. Saya kira perlu kita memulainya............................

Saya sadar melibatkan pihak lain dalam penyelesaian konflik di lewotanah hanya sebuah pola. Inti dari harapan perdamaian di lewotanah ada dalam pikiran dan hati, didukung oleh adanya kemauan untuk menyaksikan perdamaian itu atau tidak sama sekali. Janganlah seruan perdamaian itu menjadi redup karena kita membiarkan angin kecurigaan dan gelombang isu menerpanya. Jangan kita tergoda olehnya, karena isu dan kecurigaan itu lahir - besar dan pergi diantara gelap dan terang, 'mereka' adalah populasi abu abu, karena itulah dunianya. Saya yakin bahwa anak generasi Lewoingu adalah anak yang memiliki keluhuran martabat dan jati diri karena dalam hati mereka ada kebebasan, kebersamaan, keadilan, kedamaian.

Bolehlah semboyang ana' titeng Zeferinus Lewoema menjadi pegangan kita semua " Kalungkan kepercayaan dilehermu, selimutkanlah kasih dalam hatimu, lembutkanlah hatimu bagaikan kapas yang didalamnya penuh dengan kata maaf dan memaafkan.........



Jeritan anak rantau yang rindu akan perdamaian.....
Salam............................................................
Kota bumi 11 Jakarta Pusat.












Jangan kita biarkan konflik itu mengalam penyebaran difus / pembiasan yang tak arahnya.









Tidak ada komentar: