Jumat, 12 Juni 2009

SIKAP SUKU KELEN TERHADAP KONFLIK DI KAMPUNG HALAMAN " DESA LEWOINGU"

Membaca tulisan di dinding Eputobi. net atau blog bapak Kornelis Kuda Kelen, beberapa kali pertanyaan muncul, dimana suku kelen, kok diam saja ? apa dan bagaimana sikapmu ? Menanggapi pertanyaan itu beberapa saudara saya menghubungi saya untuk menyampaikan pendapat dan sikap, saya pahami sikap mereka karena file tentang sejarah dan peran adat suku kebeleng kelen disimpan rapi oleh saya. Maka dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan beberapa catatan yang kemudian menjadi sikap dari suku Kebeleng Kelen.

Pertama, menyangkut sejarah Desa Lewoingu.

Bahwa ada upaya untuk menelusuri sejarah desa, yang ditulis dalam Eputobi net. saya menganggap itu lucu, karena siapa yang memberikan hak pada penulis untuk menulis sejarah Desa Lewoingu ? Apalagi tulisan tulisan itu tidak menyentu substansi sejarah desa Lewoingu. Ingat sejarah itu bukan cerita lepas tapi sebuah bagian kehidupan yang tidak terpisah dengan kehidupan hari ini. Jadi ketika kita ingin menulis sejarah Desa Lewoingu maka tahap pertama, adalah kita harus sepakat untuk menentukan siapa yang berhak untuk menulis sejarah itu. Saya tegaskan bahwa yang boleh menulis sejarah Desa Lewoingu adalah anak turunan dari Lango Limpati, terutama anak suku pemeggang rie limangwanang bersama dengan anak suku dari suku pemeggang rie dan atap dari rumah besar "Koke Dungbata". Tahap berikut adalah apa materi yang menjadi pokok dalam penulisan sejarah Desa Lewoingu. Ingat ........sejarah Desa Lewoingu adalah sejarah Boli karena dialah yang mampu menghimpun semua suku yang ada, Boli yang yang membagi semua hak dan peran dari semua suku yang ada. "uluwai mati sela- uluwai ulumado - patibeda" karena dari Boli ada kearifan untuk membagi "korokeng bele limakeng blaha abong aong gurung gawe". Saya yakin, semua suku terutama sembilan suku pemegang hak atas rie mempunyai sejarah sukunya, maka mari kita duduk bersama untuk sharing, kita diskusikan.

Kedua, menyangkut konflik adat.

Saya sangat tidak setuju dengan pernyataan itu. Bahwa perbedaan persepsi tentang newa nura dan hak belo howe antara Kumanireng dan Lamatukan, dengan pihak Atamaran dan Lewolein itu benar, tapi itu hanya bagian kecil dari teritorial newa nura masyarakat Desa Lewoingu yang begitu luas. Hak atas newa nura dan belo howe diluar dari wilayah itu tidak mengalami pergeseran. Kita juga harus sadar bahwa hak belo howe adalah hanya satu entitas dari unit tatanan adat dan budaya yang begitu kompleks. Jadi jangan kita berusaha menggeneralisasikan dan menyatakan bahwa keseluruhan tatanan adat dan budaya kita telah mengalami kerusakan yang para, terlalu naif.

Ketiga, menyangkut meninggalnya saudara Yoakim Gresiktuli Maran.
Pertama saya tegaskan bahwa kejahatan/ kriminal tidak bisa ditolerir, tidak ada ruang bagi para penjahat dalam kehidupan suku Kebeleng Kelen. Kedua, membunuh sebagai tindakan yang berada dalam wilayah hukum positif, maka proses hukum harus kita junjung tinggi, asas hukum praduga tak bersalah juga menjadi bagian yang harus kita hormati, ketika proses hukum berakhir dengan vonis dan ketukan palu juga harus kita terima apapun resikonya.

Dalam kondisi sepeti saat ini, menjadi sangat dilematis, menjadi sangat sulit setiap orang harus menempatkan diri. Bahwa fakta polarisasi yang dibentuk begitu mudah menyebar dan menjadi orang netral di kampung halaman Eputobi ibarat mencari sebiji jagung ditengah tumpukan gabah, bakan polarisasi itupun menyebar jauh, seolah olah mengikuti polarisasi yang terbentuk di kampung halaman. Yang terjadi selanjutnya adalah saling mencurigai.

Tapi sudalah ....... biarkanlah saya sebagai penonton yang netral karena itu hak saya. Karena dengan sikap seperti itu, saya bebas dan lebih lugas untuk menganalisanya.

Ada dongeng anak seribu pulau: Ketika monyet dan tupai tidur bersama keluarga tidur lelap, datanglah kelinci membangunkan mereka, mengajaknya untuk kepesta. Pestanya asik karena lagu dan musik yang didendangkan begitu sempurna. Makanan dan minuman yang dihidangkan tidak kekurangan. Monyet dan tupai bersama kelurganya begitu menikmati, mereka menyanyi bersama menabuh dan memainkan semua alat musik yang disediakan sampai mabuk mabukan. Malam yang panjang, aroma kenikmatan dan kegembiraan begitu menggoda dan akhirnya mabuk. Satu persatu angota keluarga monyet diantar untuk tidur ditempat tidur yang nyaman. Tapi tidak disangka ada serigala menunggu untuk menikmati hidangan segar. Semakin keras lantunan suara musik semakin asik. Merekapun semakin tidak menyadari bahwa ada serigala yang menghadang mereka satu persatu.

Ceritra ini, bukan ingin melibatkan diri dalam konflik yang ada tapi semata mata hanya ingin membantu untuk merefleksi diri. Kematian Saudara Yoakim Gresiktuli Maran lebih merupakan sebuah sandiwara, ada yang memainkan gitar menabuh gendrang dan yang lain menari. Kasihan para penari itu jadi korban, korban kehilangan nyawa dan korban fitnah.
Dalam model sandiwara seperti ini sebetulnya sangat mudah kita menemukan siapa pelakunya. Ada pola tertentu dalam strategi intelijen untuk melakukan analisa terhadap sandiwara seperti itu. Tapi jelas itu bukan wilayah saya, biarkan para penegak hukum melakukan tugasnya. Tugas kita adalah memberikan tekanan agar mereka melakukan tugas secara lebih profesional.

Hanya sebuah pesan terakhir, bahwa semakin kencang polarisasi itu diciptakan semakin kecil kemungkinan untuk mendapat pelaku kejahatan yang sesungguhnya.

Salam, Marsel Sani Kelen.













Tidak ada komentar: